Piknik
sebagai Gizi di Masa Pertumbuhan
Iqbal Aji Daryono ;
Praktisi
Media Sosial; Penulis; Kini ia tinggal sementara di Perth, Australia, dan
bekerja sebagai buruh transportasi
|
DETIKNEWS, 21 Februari 2017
Siang itu panas menyengat. Sekeluar dari Dolphin Discovery
Centre, kami buru-buru masuk mobil. Saking buru-burunya, anak kami Hayun
membuka pintu terlalu lebar, dan... dhuakk! Pintu mobil yang ia buka
membentur mobil lain yang parkir di sebelah.
Segera saya menengoknya. Ya ampun, cat merah bagian
samping Mazda mulus itu mengelupas agak dalam. Saya dan istri pun sebentar
berbantahan. Mau langsung jalan saja, apa gimana? Toh sebenarnya, mobil kami
sendiri pun beberapa kali menjadi korban kasus serupa, dan kami biarkan saja
karena tak parah amat.
Tapi saya kira ini beda. Mobil kami tua, sedangkan Mazda
di sebelah itu masih kinclong. Andai kami yang punya mobil kinclong, dan
dihantam sampai nglotok gitu, gimana rasanya? Itu satu. Kedua, kami sedang
berjalan-jalan, jauh dari Perth. Sementara, kami menempatkan jalan-jalan
sebagai sarana untuk belajar banyak hal. Maka, semestinya kecelakaan kecil
barusan pun disikapi dalam kerangka belajar.
Segeralah saya mengambil kertas dan bolpen, lalu saya
tuliskan di sana permintaan maaf pendek, pernyataan kesiapan mengganti biaya
perbaikan, berikut nomor HP kami agar si empunya mobil bisa mengontak buat
minta transferan.
Sembari itu, ini yang lebih penting. Hayun kami nasihati
ini-itu. Agar lain kali lebih berhati-hati, itu pasti. Namun di atas itu, anak
kami harus belajar menjadi manusia. Harus menumbuhkan rasa bersalah di
hatinya karena telah merugikan orang lain, yang tentu saja disusul dengan
kesiapan untuk bertanggung jawab. Tak lupa, kami juga memberikan penekanan,
semacam "Sebenarnya yang punya mobil nggak lihat kita, Nak. Nggak tahu
siapa yang bikin mobilnya rusak, nggak tahu juga kita tinggal di mana. Tapi
kita tetap harus bertanggung jawab, karena kita memang salah. Ini kertas kita
tempel di kaca mobil orang itu ya, biar nanti dia bisa nelpon kita..."
Dan seterusnya.
Tersesat adalah bagian dari perjalanan, kata Agustinus
Wibowo, traveler kondang itu. Saya kira, kecelakaan (asal yang kecil-kecil
saja lho ya hehehe) pun bisa kita sikapi sebagai bagian perjalanan. Dari
perjalanan kita bisa mengambil banyak pelajaran, sekaligus mentransfer
pelajaran itu kepada anak-anak yang karakternya sedang kita tumbuh
kembangkan.
Entah mulai kapan, belakangan ini banyak orang
tergila-gila dengan jalan-jalan. Akun-akun Instagram penuh dengan foto orang
bepergian. Tempat-tempat indah yang selama ini tak cukup diketahui orang,
kini ramai dikenal. Badai media sosial membuat orang kecanduan selfie, dan
dari kebiasaan selfie-selfie itu mereka bersemangat menunjukkan tempat-tempat
jauh yang berhasil dijelajahi. Lantas terjadilah saling bertukar kabar,
hingga di mana-mana merebak virus jalan-jalan.
Tentu ini baik untuk industri wisata. Namun yang tak kalah
baiknya, hobi yang mewabah ini menjadi satu lagi alternatif dalam menyediakan
ruang-ruang pendidikan untuk anak-anak kita.
Keluarga kecil kami pun termasuk penggila jalan-jalan.
Berkali-kali nasihat datang dari orangtua maupun saudara agar saya menabung,
menginvestasikannya untuk aset ini dan itu. Tapi, ya Tuhan, kalau sudah
membayangkan membelanjakan hasil tabungan buat jalan-jalan, dada ini rasanya
berdentam-dentam hahaha.
Tidak harus biaya tinggi untuk jalan-jalan, sebenarnya.
Kami ingat, cukup dengan hasil tabungan 4 juta rupiah, kami bertiga sudah
bisa keliling Kuala Lumpur dan Melaka saat Hayun masih berumur 3 tahun.
Dengan anggaran yang cekak, justru itu bisa menjadi sarana mengajarkan
nilai-nilai kepada anak-anak. Agar anak belajar berhemat dan bekerja keras,
misalnya. Menginap di penginapan murah, makan tak perlu mewah, bahkan kalau
perlu menghemat ongkos transportasi jika destinasi yang dituju bisa
terjangkau dengan berjalan kaki. Dengan begitu, selain langsung paham artinya
berhemat, anak pun secara 'instan' akan langsung mengerti betapa kerja keras
bisa membuahkan hasil yang menyenangkan. Coba lihat bagaimana ekspresi
mereka, saat menemukan tempat bermain yang mengasyikkan, setelah mengayunkan
langkah selama berjam-jam.
Selama di Perth sini kami menemukan varian lain lagi dalam
aktivitas jalan-jalan, sebab ada banyak tempat berkemah dan caravan park.
Kalau biasanya untuk perjalanan ke sebuah tempat kami menginap di hotel yang
menyedot biaya 100 dolar permalam, maka di camp site kami cukup keluar ongkos
45 dolar. Itu sudah lengkap dengan air, toilet umum, dan colokan listrik.
Berhemat sudah pasti, apalagi kami membawa bekal makanan hingga beras dan
penanak nasi. Namun selain itu, anak kami belajar berkompromi dengan kondisi.
Tidur di tempat seadanya, kalau hujan ya kena rembesan air, kalau pas badai
ya kena bocoran embusan angin.
Jalan-jalan juga bisa menjadi ruang untuk mengajari anak
dalam mencintai alam. Bukan sekadar agar anak mengenali makhluk hidup, dan
mengenali bentangan gunung, pantai, serta sungai-sungai. Anak juga sangat
bisa diajak berkontribusi dalam menjaga kelestarian lingkungan.
Saya ambil satu contohnya. Sehari setelah kejadian
benturan pintu mobil di parkiran Dolphin Discovery Centre, kami tiba di Canal
Rocks. Itu adalah bukit batu di tepian pantai, sekitar 250 km sebelah selatan
Perth. Hayun sangat suka mengumpulkan cangkang-cangkang kerang. Di mana pun
ia lihat benda-benda itu, beberapa sampelnya pasti ia kumpulkan.
Di pantai ini, ternyata ia menemukan cangkang yang masih
ada isinya. Nah, di momen seperti inilah kami jadi punya kesempatan untuk
menjelaskan, bahwa kerang hidup harus dikembalikan ke habitatnya. Hayun cuma
butuh cangkangnya, untuk membikin aneka kerajinan tangan. Ia tidak butuh
makhluk di dalamnya. Ia harus paham bahwa tak perlu kita membunuh makhluk
hidup jika hanya untuk bersenang-senang.
Setelah melemparkan kembali kerang hidup itu ke pantai,
Hayun kami ajak mengurusi cangkang-cangkang lain. Tapi kali ini bukan
cangkang kerang, melainkan cangkang alias kaleng bekas minuman. Di sela
gundukan bebatuan di pantai yang cantik, kaleng-kaleng tergeletak dibuang sembarangan.
Lekas kami ajak ia mengumpulkan beberapa sampah kaleng, agar dibawa ke tempat
yang sebenarnya telah disediakan.
Sepele, tampaknya. Tapi coba, ada berapa nilai yang bisa
dipelajari dan dipraktikkan anak kami di Canal Rocks? Mencintai alam, itu
sudah jelas. Sadar kebersihan, itu kemudian. Selain itu, Hayun juga belajar
menyayangi makhluk hidup, menjaga keseimbangan alam, dan yang paling saya
sukai dari kejadian itu adalah ia melatih diri berbuat kebaikan tanpa
imbalan.
Masih ada deretan panjang peluang lain untuk menjalankan
pendidikan karakter bagi anak-anak lewat jalan-jalan. Cobalah, misalnya,
menginap di rumah warga lokal lewat Airbnb. Dari situ lagi-lagi bukan cuma
pengiritan yang bisa didapat, namun juga pengalaman anak dalam mengenali
perbedaan budaya, belajar memahami bahwa banyak orang tak sama selera
makanannya dengan kita, bahkan banyak orang tak sama keyakinannya dengan
keyakinan kita.
Dalam masyarakat kita, banyak orangtua memilih
menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah yang murid-muridnya seagama saja.
Mereka pun tinggal di kompleks 'tematik' yang warganya juga satu agama saja.
Lalu bagaimana anak-anak akan bisa memahami bahwa diri mereka tak hidup
sendirian saja di dunia?
Maka, ajaklah anak berjalan-jalan. Pendidikan karakter
tidak bisa kita limpahkan semata kepada sekolah, pengajian Jumat sore di
masjid kampung, atau tempat kursus renang dan piano. Orangtualah pemegang
kuncinya. Persoalannya, kesempatan untuk menemukan peristiwa demi peristiwa
bakalan sangat terbatas manakala interaksi anak dan orangtua hanya berjalan
di rumah saja, apalagi dengan nilai-nilai yang diajarkan sebatas bibir
belaka.
Maka, sekali lagi, ajaklah anak-anak berjalan-jalan.
Mereka harus dibawa keluar, menjelajah, menjauh dari cangkang. Tak cuma agar
anak-anak mengenal tempat-tempat yang indah dan berbeda. Namun yang lebih
penting lagi adalah menanamkan sikap mental, agar mereka lebih mencintai
pengetahuan dan pengalaman, daripada sekadar barang-barang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar