Waspadai
Potensi Krisis Perbankan Italia-Eropa
Firmanzah ;
Rektor
Universitas Paramadina;
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan
Bisnis UI
|
KORAN
SINDO, 21
Februari 2017
Stabilitas sistem keuangan dan perbankan dunia saat ini
diuji oleh potensi krisis perbankan di Italia. Bank tertua dunia dan terbesar
ke-3 di Italia, yaitu Monte dei Paschi di Siena (MPS), mengalami kesulitan
likuiditas dan mengajukan proposal injeksi dana untuk memperkuat struktur
permodalan dalam jumlah cukup besar ke Bank Sentral Eropa (ECB) yang
diperkirakan mencapai 8,8 miliar euro. Hilangnya kepercayaan dari deposan
yang menarik dananya secara besar-besaran di tengah melonjaknya kredit
bermasalah (nonperforming loans/NPL)
yang mencapai 28,5 miliar euro telah membuat neraca keuangan MPS bermasalah.
Situasi yang dialami oleh MPS memunculkan kekhawatiran
baru akan potensi risiko dampak sistemiknya terhadap stabilitas sistem
keuangan, tidak hanya di Eropa, tetapi juga di dunia seperti 2008. Tentu kita
tidak perlu merasa cemas berlebihan, namun yang terpenting, otoritas moneter
perlu terus memonitor pola dan magnitudo dampaknya terhadap stabilitas sistem
keuangan global apabila penanganan MPS tidak menemukan solusi yang mampu
menenangkan pasar.
Hal ini beralasan mengingat Italia sebagai kekuatan
ekonomi ke-3 di Eropa memiliki NPL dalam jumlah yang sangat besar, yaitu
senilai 360 miliar euro. Paling tidak terdapat dua factor mengapa sistem
perbankan Italia memiliki NPL yang sangat besar. Pertama, rendahnya
pertumbuhan ekonomi, dan yang kedua ketidakhati-hatian dalam proses
penyaluran kredit perbankan.
Pemerintah Italia saat ini menganggarkan tidak kurang 20
miliar euro untuk memperkuat sistem perbankan di negara tersebut. Sementara
itu menurut KPMG, kawasan Eropa memiliki kredit bermasalah yang sangat besar,
senilai 1,2 triliun euro atau hampir tiga kali dari NPL di Amerika Serikat.
Kasus yang menimpa MPS di Italia tidak menutup kemungkinan akan terjadi di
bank-bank lainnya di kawasan Eropa.
Perlambatan pertumbuhan ekonomi akibat lesunya
perekonomian setelah krisis fiskal di Eropa ditengarai berkontribusi cukup
besar terhadap membengkaknya kredit bermasalah di Eropa. Persoalan terbesar
perbankan Eropa saat ini adalah membengkaknya kredit bermasalah. Menurut IMF,
rata-rata rasio NPL di zona Eropa mencapai puncaknya pada 2013 yang berada di
angka 8%. Meskipun di beberapa negara di Eropa rasio NPL berada di bawah 3%,
di sejumlah negara kredit bermasalah melonjak.
Posisi September 2016, empat negara Eropa seperti Italia,
Irlandia, Portugal, dan Slovenia rata-rata NPL berada di level 20%. Bahkan
dua negara Eropa, yaitu Siprus dan Yunani memiliki exposure kredit bermasalah
yang sangat parah, di mana setengah dari total pinjaman perbankan
dikategorikan sebagai kredit bermasalah.
Melihat hal ini, banyak pihak yang mulai waswas bahwa
persoalan yang terjadi di MPS berisiko akan tertransmisi tidak hanya bagi
bank di negara lain di Eropa, tetapi juga cerminan krisis ekonomi yang lebih
dalam di kawasan Eropa, di mana melonjaknya kredit bermasalah salah satunya
disebabkan oleh kinerja sektor riil yang memburuk dan membuat konsumen maupun
korporasi mengalami kesulitan membayar kewajiban ke perbankan.
Sentimen negatif dari kawasan Eropa sebenarnya tidak hanya
bersumber dari krisis perbankan seperti yang dialami oleh MPS, tetapi juga
meningkatnya sentimen anti-Uni Eropa yang semakin menguat. Pemilihan presiden
di Prancis, misalnya, di mana kandidat dari Partai Sayap Kanan yaitu Marie Le
Pen sudah menyatakan akan mengeluarkan Prancis dari Uni Eropa apabila
terpilih sebagai presiden.
Apabila skenario ini terjadi, ketidakpastian politik akan
semakin meningkat pascakeluarnya Inggris dari Uni Eropa atau yang kita kenal
sebagai Brexit. Sementara itu, gelombang mengkritisi Uni Eropa juga dirasakan
semakin menguat di sejumlah negara seperti di Belanda yang tahun ini juga
akan menyelenggarakan pemilihan umum. Kombinasi antara stagnasi ekonomi Zona
Eropa, potensi krisis perbankan, Brexit, dan sejumlah agenda politik telah
menjadikan Zona Eropa sebagai episentrum baru externalshock bagi perekonomian
dunia, tidak terkecuali Indonesia.
Dengan semakin terintegrasinya sistem perbankan, setiap
guncangan eksternal akan berdampak langsung ataupun tidak langsung ke
stabilitas sistem keuangan nasional. Besarkecilnya magnitudo dari dampak akan
sangat ditentukan oleh daya tahan sistem keuangan nasional.
Aspek ini akan sangat ditentukan oleh berbagai faktor
antara lain praktik goodgovernance di perbankan, fungsi pengawasan yang
berjalan baik, efisiensi sistem perbankan nasional, dan kondisi kesehatan
perbankan domestik. Pola transmisi dari setiap gejolak eksternal yang paling
memungkinkan bilamana terjadi krisis perbankan di Eropa salah satunya melalui
transmisi sentimen-psikologis.
Ketika terjadi krisis perbankan di luar negeri, biasanya
baik investor maupun deposan akan mulai mempertanyakan risiko terjadinya hal
serupa di dalam negeri. Namun ketika kesehatan perbankan terjaga, hal
tersebut akan menjadi bantalan dari efek domino yang diakibatkan krisis yang
bersumber dari eksternal.
Dunia perbankan di Indonesia sebenarnya telah belajar dari
pengalaman berharga krisis ekonomi 1998 dan dampak krisis subprime mortgage
2008. Belajar dari dua pengalaman tersebut, menjaga dan terus meningkatkan
kepercayaan (trust) terhadap institusi keuangan nasional adalah hal yang
sangat penting. Mismanagement baik di tingkat makro-pengawasan maupun
mikro-pengelolaan akan menurunkan level kepercayaan masyarakat terhadap
institusi perbankan.
Inilah sebenarnya yang terjadi saat ini dalam kasus MPS di
Italia. Pembenahan melalui kelengkapan tata aturan perundang- undangan telah
dilakukan untuk memperkuat level kepercayaan publik terhadap institusi
keuangan nasional, penerapan standar global terhadap perbankan nasional,
serta menyinergikan kebijakan antarotoritas.
Belajar dari kasus MSP di Italia dan membengkaknya kredit
bermasalah di Eropa, otoritas serta regulator pengawasan perbankan dan sistem
keuangan di Tanah Air perlu terus memastikan, praktik-praktik perbankan
sesuai dengan tata aturan yang berlaku. Kita bersyukur, meskipun meningkat,
rasio kredit bermasalah di Indonesia sangat terkendali. Menurut data Otoritas
Jasa Keuangan (OJK), per November 2016 tercatat kredit bermasalah sebesar
3,18%.
Kombinasi antara pengawasan dan membaiknya governance
penyaluran kredit di perbankan membuat rasio kredit bermasalah relatif terjaga
di tengah tekanan harga komoditas dunia yang sangat rendah sepanjang
2014-2016. Makro prudensial perlu terus menjadi fokus pengambil kebijakan.
Komitmen untuk terus mengembangkan pasar keuangan perlu diimbangi dengan
prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan industri keuangan nasional.
Melalui hal inilah sistem keuangan nasional tidak hanya
memiliki daya tahan terhadap gejolak eksternal, tetapi juga mampu tumbuh
secara berkelanjutan. Di tengah semakin tingginya ketidakpastian perekonomian
global dan risiko munculnya gejolak eksternal, kesigapan dan kewaspadaan
regulator dan para pelaku pasar untuk merespons setiap potensi gejolak dan
risiko dari eksternal semakin dibutuhkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar