Urgensi
Pencabutan Hak Politik
Reza Syawawi ;
Peneliti
Hukum dan Kebijakan
Transparency International
Indonesia
|
MEDIA
INDONESIA, 25 Februari 2017
PUTUSAN Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta
yang memutuskan untuk mencabut hak politik Irman Gusman (IG) patut mendapat
apresiasi. Putusan itu dianggap sebagai terobosan bagi pengadilan tingkat
pertama yang menjatuhkan putusan untuk mencabut hak-hak tertentu (hak
politik) sebagaimana diatur dalam Pasal 35 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (Media Indonesia, 23/2).
Pencabutan hak politik sebetulnya bisa menjadi instrumen
baru bagi penegak hukum untuk memberikan efek jera bagi pelaku korupsi. Harus
diakui, penjatuhan pidana selama ini dinilai tidak efektif mengurangi pelaku
korupsi, khususnya yang menduduki jabatan publik.
Pidana badan (penjara) ataupun denda/uang pengganti tidak
sepenuhnya mencerminkan kerugian yang ditimbulkan pelaku korupsi. Dari sisi
pelaku, adakalanya pemidanaan itu dinilai setimpal karena yang bersangkutan
mendapatkan keuntungan tertentu yang tidak mampu disentuh penegak hukum
sehingga ketika selesai menjalani pidana, keuntungan tersebut masih bisa
dinikmati pelaku.
Menyatukan persepsi
Kejahatan korupsi harus dilihat sebagai kejahatan yang merugikan
kepentingan publik, bukan hanya sebagai perbuatan yang hanya merugikan
negara, sehingga publik seharusnya juga menjadi pihak yang dapat
berkontribusi dalam memberikan hukuman sosial kepada pelaku korupsi.
Namun, persepsi publik terhadap pelaku korupsi justru
berbeda. Ada banyak pelaku korupsi yang masih diterima dan begitu dihormati
di tengah masyarakat sehingga penghukuman kepada pelaku korupsi hanya
ditumpangkan kepada penegak hukum, mulai polisi, jaksa, KPK, hingga
pengadilan.
Dari sudut pandang ini, pencabutan hak politik mencoba
menyandingkan penghukuman terhadap pelaku kejahatan korupsi sekaligus
perlindungan terhadap publik dari hadirnya pelaku korupsi dalam jabatan
publik pascamenjalani pidana.
Ada tiga hal yang harus ditelaah didalam pencabutan hak
politik itu. Pertama mengenai subjek pelaku tindak pidana. Ada pendapat yang
mengemukakan pencabutan hak politik lebih relevan jika diberikan kepada
pelaku yang menduduki jabatan publik dari hasil pemilihan umum (pemilu).
Jabatan yang digunakan pelaku untuk melakukan tindak pidana korupsi
berkorelasi dengan hak politik yang dicabut tersebut sehingga hal ini
dimaksudkan agar pelaku tidak lagi menduduki jabatan yang sama, sebab telah
terbukti menyalahgunakan kekuasaannya.
Jika menggunakan perspektif yang lebih luas, pencabutan
hak politik seharusnya dapat dijatuhkan terhadap seluruh pejabat publik yang
terbukti melakukan kejahatan korupsi. Perluasan semacam ini sebetulnya sudah
pernah dilakukan terhadap posisi jabatan publik yang tidak dipilih melalui
pemilu, misalnya dalam kasus korupsi yang melibatkan bekas Kepala Korlantas
Polri Djoko Susilo (DS).
Perpektif terakhir ialah seluruh pelaku tindak pidana
korupsi dapat dijatuhi sanksi pencabutan hak politik. Seseorang yang telah
terbukti di pengadilan melakukan kejahatan korupsi sudah pasti memiliki
pengalaman untuk menyalahgunakan jabatan baik sebagai pejabat publik atau
sebagai pihak ketiga yang memengaruhi pejabat publik untuk menyalahgunakan
jabatannya. Misalnya terhadap pelaku korupsi dari pihak swasta yang menyuap
pejabat publik sudah tentu memiliki potensi lebih besar untuk menyalahgunakan
jabatannya ketika menduduki jabatan publik.
Kedua, pembatasan waktu pencabutan hak politik. Dalam
beberapa putusan yang telah ada, pencabutan hak politik masih bervariasi baik
tanpa dibatasi waktu ataupun dibatasi dalam waktu tertentu.
Idealnya pencabutan hak politik memang dilakukan tanpa
batas waktu, sebab ini akan menjadi pembelajaran dan penjeraan baik bagi
pelaku maupun masyarakat secara umum. Bahkan perlu ada perluasan terhadap
jabatan yang tidak boleh diberikan kepada bekas terpidana korupsi, yaitu
seluruh jabatan yang memperoleh dana dari negara ataupun dari perusahaan
negara (BUMN/BUMD).
Pelaku korupsi juga tidak akan diperbolehkan menduduki
jabatan strategis di partai politik, sebab mendapatkan bantuan keuangan dari
negara secara periodik. Penegasan ini diperlukan agar di kemudian hari para
pelaku korupsi sekalipun tidak menduduki jabatan publik tetapi mampu
mengendalikan partai politik yang notabene memiliki kekuasaan yang besar.
Di lain pihak, jika pencabutan hak politik dilakukan
berbatas waktu, pembatasannya perlu mempertimbangkan masa pemilu/pemilukada,
bukan dibatasi berdasarkan hitungan tahun secara linier. Misalnya pelaku
tindak pidana korupsi dicabut hak politik selama tiga periode pemilu/pilkada,
bukan justru dicabut hak politik selama tiga tahun.
Ketiga, perlu ada acuan bagi penegak hukum untuk
memaksimalkan penggunaan pidana pencabutan hak politik dalam kasus korupsi.
Minimal di setiap instansi penegak hukum perlu ada pedoman atau minimal
arahan tentang urgensi pidana pencabutan hak politik. Termasuk bagi para
hakim tipikor, perlu ada penguatan tentang pemahaman pemidanaan khusus bagi
pelaku korupsi. Hal itu bisa dimulai dari proses seleksi hakim hingga
pelatihan periodik bagi hakim tipikor mengenai perkembangan pemidanaan yang
perlu diterapkan bagi pelaku tindak pidana korupsi, salah satunya tentang
urgensi pencabutan hak politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar