Untuk
(Si)apa Penambahan Kursi DPR?
Sidik Pramono ;
Pengajar
di FISIP Universitas Budi Luhur;
Aktif di Election and Governance
Project
|
KORAN
SINDO, 22
Februari 2017
Pembahasan Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan
Pemilihan Umum memasuki babak berikutnya setelah fraksi-fraksi menyampaikan
daftar inventarisasi masalah (DIM). Isu
yang mencuat di antaranya adalah perubahan jumlah kursi DPR (assembly size). Dalam naskah Rancangan
Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu pada pasal 155, jumlah kursi DPR
ditetapkan sebanyak 560. Sebagaimana termuat pada bagian Lampiran naskah RUU
yang diajukan pemerintah tersebut, praktis tidak ada perubahan berarti
mengenai alokasi kursi DPR dibandingkan dengan ketentuan pada Pemilu 2014,
selain hanya alokasi tiga kursi DPR untuk Provinsi Kalimantan Utara dan
menjadikan alokasi Provinsi Kalimantan Timur berkurang menjadi lima kursi.
Merujuk DIM yang sudah disampaikan kepada pemerintah, hanya
empat dari sepuluh fraksi di DPR yang tegas berpandangan bahwa besaran DPR
tetap 560 kursi. Keempatnya adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
(PDI-P), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan
Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dua fraksi, yakni Partai Demokrat dan
Partai Hanura, tidak berpendapatyang bisa diartikan juga setuju dengan usul
pemerintah.
Partai Golkar dan Partai Nasdem membuka kemungkinan
penambahan, tanpa menyatakan berapa jumlah kursi DPR yang diusulkan. Partai
Gerindra membuka opsi yang relatif terbuka, jumlah kursi DPR berkisar
560-570. Sementara Partai Kebangkitan Bangsa secara eksplisit mengusulkan
penambahan menjadi 619 kursi DPR.
Di luar pendapat resmi dalam DIM, sejumlah politikus dari
berbagai partai politik juga mengemukakan usul perubahan yang beragam pula.
Misalnya saja, salah seorang pimpinan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa
menyebut penambahan 10 kursi DPR diperlukan untuk menutupi kekurangan kursi
di daerah pemilihan, yakni 3 kursi untuk Provinsi Kalimantan Utara yang
merupakan provinsi baru hasil pemekaran dari Provinsi Kalimantan Timur, 4
kursi untuk daerah pemilihan luar negeri, 2 kursi untuk Kepulauan Riau, dan 1
kursi untuk Madura (Jawa Timur).
Secara matematis, merujuk pada dalil matematika (cube law)
sebagaimana dipaparkan Rein Taagepera (2002), penambahan kursi parlemen
memang masih terbuka, bahkan bisa sampai mencapai 600 kursi jika merujuk data
penduduk Indonesia terbaru. Akan tetapi, tentu tidak serta-merta pertumbuhan
penduduk harus direspons dengan penambahan kursi parlemen.
Pengalaman negara lain memperlihatkan hal itu, sebut saja
kursi DPR Amerika Serikat yang masih bertahan dalam kurun 84 tahun sekalipun
jumlah penduduknya melonjak lebih dari dua kali lipat. Contoh lain, kursi
parlemen Belgia malah turun dari 212 pada tahun 1977 menjadi 150 kursi pada
tahun 2003. Dalam kasus Indonesia terkini, harus diperjelas terlebih dulu
alasan yang mendasari usul penambahan tersebut.
Setelah itu, pertanyaan berikutnya adalah ke mana kursi
tambahan tersebut akan dialokasikan? Apakah penambahan tersebut akan menjadi
jawaban atas alokasi kursi DPR yang tidak sepenuhnya taat pada prinsip utama
proporsionalitas, kesetaraan, dan derajat keterwakilan yang tinggi? Jika
tidak, alih-alih menegakkan prinsip one
person one vote one value (Opovov) dengan keharusan memperhitungkan
perolehan kursi yang seimbang dengan jumlah penduduk; bisa-bisa realokasi
tersebut hanya akan mengulang persoalan lama dan mempertajam ketimpangan
perwakilan-ideal sebagaimana diinginkan.
Dengan rujukan data penduduk tahun 2013, misalnya,
penambahan tiga kursi untuk Kalimantan Utara (yang berarti kursi Kalimantan
Timur tetap delapan kursi), misalnya, akan menjadikan ketimpangan besar di
wilayah Kalimantan. Harga kursi di Kalimantan Barat tetap menjadi yang
termahal, mencolok perbedaannya jika dibandingkan dengan kuota kursi
Kalimantan Selatan dan Kalimantan Utara.
Di kawasan Sumatera, jika hanya Kepulauan Riau yang
ditambah dua kursi, perbedaan kuota yang mencolok masih akan terjadi.
Provinsi Riau, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan menjadi wilayah dengan
harga kursi DPR yang relatif mahal. Sementara di wilayah Sulawesi, harga
kursi Sulawesi Selatan menjadi yang termurah, bahkan jauh di bawah Sulawesi
Barat yang menjadi provinsi baru hasil pemekarannya.
Di area ini, Sulawesi Tenggara potensial tetap menjadi
wilayah dengan harga kursi DPR termahal. Belum lagi jika benar keinginan
menjadikan pemilih di luar negeri sebagai daerah pemilihan sendiri dan tidak
lagi menjadi bagian dari daerah pemilihan DKI Jakarta II.
Dengan alokasi tiga kursi DPR untuk daerah pemilihan luar
negeri, siapkah menerima realitas murahnya harga kursi di daerah pemilihan
tersebut? Merujuk data Komisi Pemilihan Umum (KPU), sekadar contoh, pada
Pemilu Legislatif 2014 hanya 464.078 pemilih yang memberikan suaranya dari
total 2.025.005 pemilih yang tercantum dalam DPT luar negeri atau setara
dengan 22,92% saja. Artinya, kuota kursi DPR dari luar negeri hanya akan
berkisar 154.693 suara.
Jadi, apa sebenarnya argumentasi di balik usul penambahan
dan realokasi kursi DPR tersebut? Sekadar pemulihan atas pengalokasian kursi
DPR pada Pemilu 2004 dan 2009 yang dianggap tidak konsisten? Apakah ada
jaminan tidak akan terjadi perulangan persoalan lama soal representasi dan
proporsionalitas, termasuk “malpraktik” dalam alokasi kursi (malapportionment) DPR menjadikan
adanya provinsi yang tidak memperoleh kursi perwakilan semestinya (underrepresented) ataupun sebaliknya,
ada provinsi yang alokasi kursi DPRnya berlebih (over-represented)? Karenanya, DPR bersama pemerintah seyogianya
satu pikiran-satu tindakan terkait alokasi kursi DPR untuk Pemilu 2019.
Pertama, DPR bersama pemerintah mesti menyepakati jumlah
kursi DPR sejak awal, juga data kependudukan yang akan dijadikan rujukan.
Jumlah 560 kursi DPR sebenarnya masih ideal. Karenanya,
kalaupun kehendak menambah kursi DPR begitu kuat, harus dengan penjelasan
logis-termasuk soal kebutuhan anggaran dan bahkan sampai soal kecil semisal
penyediaan ruangan di Kompleks DPR. Antisipasi juga kemungkinan DPD akan meminta
penambahan jumlah kursi karena konstitusi kita memungkinkan bahwa jumlah
anggota DPD tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR.
Kedua, komitmen bahwa realokasi diperlukan untuk
mengoreksi kesalahan dalam pemilu sebelumnya.
Koreksi tersebut tentu saja bukan sekadar dengan
menambahkan kursi kepada provinsi yang dianggap “terambil” kursinya pada
pemilu sebelumnya. Kesalahan masa lalu harus dikoreksi demi menghindarkan
perulangan perdebatan yang tidak perlu dari pemilu ke pemilu. Prinsip Opovov
hendaknya ditegakkan, hitung ulang dengan data penduduk yang sama-sama
diyakini kesahihannya.
Ketiga, pembatas dalam realokasi kursi tersebut harus
disepakati sejak awal, misalnya, jaminan bahwa setiap provinsi mendapatkan
alokasi minimal tiga kursi DPR.
Kalaupun memang harga kursi tiap bisa berimbang di 34
provinsi, salah satu titik kompromi adalah memastikan harga kursi
antarprovinsi di tiap wilayah (pulau) tidak terlalu timpang. Konsekuensi
akhir yang harus diantisipasi dari realokasi kursi tersebut adalah
kemungkinan adanya daerah yang berkurang kursinya dibandingkan Pemilu 2014,
misalnya. Bukan hal yang menyenangkan, tentunya. Akan tetapi, itulah
tantangan menjadikan parlemen yang pas, baik jumlah maupun derajat
perwakilannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar