Ruang
Kaca Hakim
Abdul Ghoffar ; Peneliti Mahkamah Konstitusi;
Pernah jadi kuli pasar di
Victoria Market, Melbourne (2015-2016)
|
DETIKNEWS, 21 Februari 2017
Sejarah tidak pernah berhenti. Tetapi juga tak pernah bisa
diputar ulang. Pagi itu langit begitu cerah. Udara sejuk menyelinap di antara
pakaian yang saya kenakan. Di atas ketinggian 1.800 meter di atas permukaan
laut, di lereng pegunungan Gede-Pangrango suhu berkisar 16 derajat celcius.
Lumayan dingin. Hampir mirip dengan suhu Melbourne pada musim semi—kota yang
sekitar 2 bulan lalu saya tinggalkan.
Dalam cuaca cerah itu, bertempat di Gedung Pusat Studi
Pancasila dan Konstitusi Mahkamah Konstitusi (MK), Cisarua, saya dan seluruh
pegawai bersiap melakukan rapat kerja sampai 3 hari kemudian. Rapat kerja ini
menjadi penting untuk merumuskan agenda setahun ke depan. Terutama tahun ini,
MK harus menyiapkan diri menghadapi sengketa Pemilukada yang dihelat di 101
daerah.
Sekitar pukul 09.00 WIB, kami sudah berada di ruang aula
pertemuan. Tatapan para pegawai tertuju ke satu titik: podium, tempat
pembukaan acara. Sesuai dengan jadwal yang kami terima, tepat pukul 09.00,
Wakil Ketua MK, akan membuka acara tersebut. Namun, sampai 30 menit kemudian,
tidak ada tanda-tanda acara akan segera dimulai. Tidak seperti biasanya yang
tepat waktu. Berbagai pertanyaan dalam hati sempat menyeruak.
Sebelum pertanyaan-pertanyaan itu terjawab, tiba-tiba
karib saya, yang juru bicara MK, terkaget-kaget saat membuka handphone-nya.
"Masya Allah, Pak Patrialis ditangkap KPK," serunya. Sambil terus
melototin telepon pintarnya, ia masih tidak percaya.
Kabar tersebut, tentu bukan hanya mengagetkan satu-dua
orang pegawai. Semua pegawai saat itu merasakan hal sama. Rasa linglung,
tanpa tahu harus melakukan apa di rasakan oleh hampir seluruh pegawai.
Padahal sebelumnya, dengan semangat '45 para pegawai sudah menyiapkan diri
untuk menyatukan ide dan gagasan guna membangun MK lebih baik lagi.
Semangat ini tentu wajar, sebab kurang dari 3 tahun yang
lalu, tepatnya pada akhir 2013, Akil Mochtar, Ketua MK saat itu juga
ditangkap KPK. Penangkapan ini membuat rontok wibawa MK. Tindak pidana yang
disangkakan sama, korupsi dan/atau memperjualbelikan perkara.
Bagi saya, tragedi Akil sejatinya seperti 'kiamat sugra'.
Tragedi itu telah meluluh-lantakkan pencapaian MK yang sejak berdirinya
beritu brilian. Dari berbagai survei, MK selalu nonggol diurutan pertama.
Namun dengan kejadian tersebut, semua berbalik.
Tragedi ini mendapat perhatian secara luas. Berbagai surat
kabar nasional maupun internasional memberitakan hal tersebut. Dalam catatan
sejarah dunia, belum ada ketua lembaga peradilan di sebuah negara yang
ketua-nya ditangkap pada saat masih menjabat dalam kasus korupsi. Tragedi
ini, jelas pengkhianatan paling keji yang pernah dirasakan oleh MK.
Lalu, apa yang salah? Mengapa tragedi Akil—dengan
mengedepankan asas praduga tak bersalah—harus berulang kembali saat ini.
Bukankah setelah reformasi lembaga peradilan jauh lebih independen dari
sebelumnya?
Juan Carlos Donoso (2009), menyatakan bahwa independensi
saja tidak cukup untuk membangun lembaga peradilan. Hal yang harus dilakukan
adalah menyeimbangkan antara independensi dan akuntabilitas. Sebab kedua hal
tersebut sejatinya layaknya dua sisi dari mata uang yang sama. Kemerdekaan,
dipahami sebagai kemungkinan hakim untuk memerintah sesuai dengan norma-norma
negara tanpa pengaruh dari pihak ketiga. Sedangkan akuntabilitas dipahami
sebagai kewajiban hakim untuk mematuhi fungsinya, dengan penerapan hukuman
jika terjadi pelanggaran.
Dengan demikian, independensi saja tidak cukup. Lembaga
peradilan masa reformasi juga harus mengendepankan prinsip akuntabilitas.
Agar berjalan efektif, menurut Ramos Rollon, dkk. (2003), prinsip ini
membutuhkan adanya lembaga pengawasan yang otonom untuk bertindak cepat dan
tanpa gangguan. Selain itu, juga dibutuhkan sebuah peradilan yang baik,
otonom, dengan anggaran yang independen, keputusan sehingga dapat menegakkan
putusan lembaga pengawas tersebut.
Dalam konteks MK Indonesia, saya melihat setidaknya ada
dua hal yang harus segera dilakukan dalam waktu dekat, yaitu terkait seleksi
hakim dan penguatan pengawasan.
Seleksi Hakim
Secara konstitutional, MK tidak mempunyai kewenangan untuk
menolak 'pemberian' hakim konstitusi yang dipilih oleh lembaga pengusul
(Presiden, DPR, dan MA), yang masing-masing mempunyai kewenangan mengusulkan
3 hakim konstitusi. Artinya, siapapun orangnya, harus diterima. Nerimo ing
pandum.
Pada mulanya ide bahwa hakim kontitusi diusulkan oleh tiga
cabang kekuasaan, diharapkan agar ada checks and balances antar-cabang
kekuasaan. Namun, model seperti ini juga bisa disalahgunakan. Misalnya (dalam
contoh yang ekstrem), dalam hal ketiga lembaga pengusul tersebut tidak suka
dengan putusan-putusan MK— yang mana putusan-putusan MK hampir bisa
dipastikan akan bersinggungan dengan ketiga lembaga tersebut, atau setidaknya
dengan dua lembaga pengusul yaitu Presiden dan DPR— maka sangat dimungkinkan,
atau setidaknya ada potensi, lembaga pengusul mengusulkan hakim-hakim yang
kenegarawanannya belum teruji.
Untuk menjaga agar hal tersebut tidak terjadi, maka
masyarakat harus mengawal proses seleksi pemilihan tersebut. Selain
masyarakat, internal MK juga harus memberi masukan kepada lembaga pengusul
terkait calon-calon yang akan diusulkan. Saya menyadari bahwa mekanisme
seperti ini tidak diatur di dalam peraturan perundang-undangan. Saya juga
menyadari bahwa kalau itu dilakukan, bisa saja MK dianggap mencampuri urusan
lembaga lain.
Namun demikian, akan menjadi sangat elegan kalau masukan
tersebut disampaikan oleh para pegawai MK. Langkah pertama yang harus
dilakukan yakni membentuk serikat pekerja, forum pegawai, atau apapun
namanya, yang mana organisasi ini bisa menyuarakan suara pegawai dalam
berbagai hal. Termasuk dalam hal ini, proses seleksi hakim. Organisasi ini
bisa memberikan berbagai masukan yang dibutuhkan oleh lembaga pegusul sebagai
bagian dari upaya mencari sosok hakim yang paripurna.
Penguatan Pengawasan
Pada mulanya, MK tidak mempunyai lembaga khusus yang
mengawasi hakim. Namun sejak tertangkapnya Akil Mochtar pada akhir 2003, MK
langsung membentuk Dewan Etik yang bertugas mengawasi hakim day-to-day. Namun
dengan tertangkapnya Patrialis Akbar —atas sangkaan melakukan tindak pidana
korupsi—lembaga ini harus memikirkan ulang sistem pengawasan yang lebih
komprehensif.
Banyak pihak yang mengusulkan agar Komisi Yudisial (KY)
diberi kewenangan untuk mengawasi MK, namun menurut saya usulan tersebut
jelas melanggar konstitusi sebagaimana termuat dalam putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006
yang pada pokoknya dinyatakan bahwa hakim konstitusi bukan obyek pengawasan
KY. Selain alasan konstitutionalitas, dengan masih banyaknya hakim maupun
pejabat di lingkungan peradilan di bawah MA yang ditangkap oleh lembaga
penegak hukum dalam kasus korupsi, maka sudah cukup menjawab bahwa KY
bukan-lah solusi yang tepat saat ini.
Lalu model pengawasan seperti apa yang seharusnya
dilakukan? Belajar dari pengalaman tertangkapnya dua hakim MK sebelumnya,
yang informasi awal didapat dari proses penyadapan, maka kewenangan
penyadapan tersebut harus diberikan juga kepada Dewan Etik yang selama ini
sudah ada. Kewenangan ini bisa dimasukkan dalam Rancangan Undang-Undang MK
yang saat ini sedang berjalan di DPR. Dengan adanya kewenangan tersebut, maka
para hakim seolah hidup dalam 'ruangan kaca' yang tindak-lakunya akan terus
terpantau oleh Dewan Etik.
Dengan demikian, diharapkan kasus korupsi yang terjadi di
MK tidak akan berulang dikemudian hari. Kita biarkan sejarah itu tidak pernah
berhenti. Tetapi juga kita pastikan tak memutar-ulang tragedi korupsi di
Lembaga Pengawal Konstitusi dan Demokrasi di Republik ini. Semoga! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar