Bola
Panas
M Subhan SD ;
Wartawan
Senior Kompas
|
KOMPAS, 23 Februari 2017
Pesta boleh usai, tetapi masalah belum selesai. Di
beberapa daerah, pemilihan kepala daerah yang digelar serentak pada 15
Februari lalu kemungkinan berujung ke Mahkamah Konstitusi. Pasalnya,
perolehan suara yang "beti" (beda tipis) memunculkan saling klaim.
Contohnya, di Banten atau Sulawesi Barat. Namun, tetap DKI Jakarta yang
membuat hati ketar-ketir. Bukan persoalan putaran keduanya, melainkan persoalan
Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Alhasil, seusai pesta pilkada, pentas politik tak lantas
sunyi. Pangkalnya, Ahok yang berstatus terdakwa kasus penodaan agama, yang
kini tengah disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, sudah aktif
kembali menduduki kursi Gubernur DKI Jakarta per 11 Februari lalu setelah
cuti tiga bulan. Sepuluh hari kemudian, muncul kembali gerakan massa ke DPR
atau "aksi 212" (mengacu tanggal aksi 21 Februari). Salah satu
tuntutannya adalah penonaktifan Ahok dari kursi gubernur.
Memang, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah Pasal 83 Ayat (1) menyebutkan, "Kepala daerah
dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan
DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, tindak pidana korupsi, tindak
pidana terorisme, makar, pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan
lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia".
Kali ini tekanan terhadap kasus Ahok itu tidak hanya lewat
gerakan massa, tetapi gerakan politik di parlemen. Rapat DPRD dengan Pemprov
DKI pun diboikot sejumlah politisi dari Fraksi PKS, Gerindra, PKB, PPP.
Bahkan, di DPR tengah bergulir hak angket yang diusulkan Fraksi PKS,
Gerindra, Demokrat, PAN. Pihak-pihak yang menginginkan pencopotan Ahok juga
mengacu pada asas "keadilan" bahwa kepala daerah yang bermasalah
langsung diberhentikan. Contohnya, pencopotan Atut Chosiyah tahun 2014 dari
posisi Gubernur Banten. Namun, bedanya, Atut terjerat kasus korupsi.
Karena itu, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo punya sikap
sendiri. Alasannya, Ahok didakwa dua pasal KUHP, yaitu Pasal 156 (a) dan alternatif Pasal 156. Di Pasal 156 (a), ancaman
hukumannya selama-lamanya 5 tahun penjara, sedangkan di Pasal 156, ancaman
hukumannya paling lama 4 tahun. KUHP menggunakan frase
"selama-lamanya", sedangkan UU No 23/2014 menggunakan frase
"paling singkat". Tafsir pun berbeda. Biarlah hukum yang
menyelesaikan kasus tersebut.
Bagaimanapun kasus Ahok ini adalah pertarungan politik
sangat alot. Panggung politik di Jakarta yang "panas-dingin" juga
karena faktor Ahok. Bermula karena persoalan perangai dan komunikasi Ahok, kemudian
melebar menjadi isu agama dan etnis di ajang pilkada. Kuatnya posisi Ahok,
sebagian publik menduga dilindungi pemerintah.
Semula Presiden Jokowi menunggu fatwa Mahkamah Agung soal
pengaktifan kembali Ahok. Namun, MA enggan memberikan fatwa. Sebab, ada dua
gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. MA tak ingin mengusik independensi
hakim. MA mengembalikan putusan kasus Ahok kepada Mendagri Tjahjo Kumolo. Di
DPR, Tjahjo mengklarifikasi, sikapnya itu bukan untuk membela Ahok, melainkan
membela Presiden Jokowi.
Bola panas pun kembali ke Istana. Pertarungan politik
memang belum usai. Sisa-sisa rivalitas Pilpres 2014 sepertinya bersemi
kembali. Namun, apakah pertarungan sengit berakhir seperti nasib dua politisi
Inggris, Viscount Castlereagh (Menteri Urusan Perang) dan George Canning
(Menteri Luar Negeri), yang harus duel pada 1809 gara-gara saling menyalahkan
dalam kekalahan perang melawan Napoleon. Tunggu saja apakah bola panas
mendingin atau malah semakin terbakar.... ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar