Pendidikan
Seks Anak
dan
Urgensi UU Sistem Perbukuan
Budiharjo ;
Mantan
Komisioner KPAI; Pemerhati Anak;
Wakil Dekan II FISIP Universitas
Prof Dr Moestopo (Beragama) Jakarta
|
KORAN
SINDO, 25
Februari 2017
Perlindungan anak menjadi sesuatu yang luas dan memiliki
irisan dengan banyak hal. Salah satunya adalah pornografi yang menjadi salah
satu bidang (kluster) perlindungan anak sesuai dengan UU Perlindungan Anak.
Pada prinsipnya, seks bukanlahsesuatuyangtidak boleh
dibicarakan, termasuk oleh mereka yang berusia di bawah 18 tahun. Justru
salah satu cara melindungi anak dan remaja dari pengetahuan tentang seks yang
menyesatkan adalah dengan memberikan pendidikan seksualitas yang benar.
Pendidikan seksualitas yang benar adalah pendidikan yang memberikan
pengetahuan tentang organ-organ seksual atau organ-organ reproduksi manusia,
bagaimana cara kerjanya, dan dampaknya bila disalahgunakan.
Biasanya seseorang, terutama remaja, setelah memperoleh
pendidikan seks yang benar akan cenderung menjaga kehormatannya dan
berhatihati dalam bergaul. Kekhawatirannya akan terjadi kehamilan di luar
nikah, terinfeksi penyakit menular seksual, atau bahkan HIV/AIDS, adalah
faktor antara lain yang menjadi bahan pertimbangan.
Ironisnya, banyak kalangan yang tidak mampu membedakan
antara pendidikan seksualitas dengan pornografi meski objek pembicaraan sama,
yakni organ reproduksi. Pada pendidikan seksualitas, organ reproduksi
diutarakan dengan menyajikan pertimbangan-pertimbangan atau konsekuensi bila
terjadi hubungan seks. Adapun pada pornografi, organ reproduksi dieksploitasi
sedemikian rupa tanpa peringatan akan dampak yang mungkin ditimbulkannya.
Buku menjadi instrumen pendidikan seksualitas terhadap
para pelajar yang notabene masuk dalam objek penyelenggaraan perlindungan
anak. Dalam praktiknya, materi ajar yang sarat dengan gambar vulgar kemudian
diklaim sebagai bagian dari pendidikan seks. Ini menjadi problem pendidikan
di usia anak karena dalam beberapa tahun belakangan, masyarakat dikagetkan
dengan materi pendidikan seks yang tidak ramah anak.
Problem semakin rumit karena materi pendidikan itu dimuat
dan disebarluaskan melalui buku-buku pendidikan di sekolah. Dengan kondisi
yang demikian, dibutuhkan kehadiran negara dengan mengesahkan RUU Sistem Perbukuan,
khususnya yang berkaitan dengan materi pendidikan seksual bagi anak.
Dalam RUU Sistem Perbukuan yang saat ini masih digodok,
ada dua hal penting, pertama, menghasilkan buku bermutu yang mampu
mencerdaskan dan membangun integritas kehidupan bangsa; kedua, memperkuat
rasa cinta tanah air dan terbangunnya karakter bangsa berdasarkan UUD 1945
dan Pancasila. Dengan adanya sistem perbukuan yang benar, penulis dan
penerbit memiliki rambu-rambu yang jelas tentang mana yang boleh dan tidak,
berkaitan dengan konten yang akan disuguhkan kepada masyarakat.
Perbedaan antara pendidikan seksual dengan pornografi
menjadi jelas. Masyarakat mendapat perlindungan dari konten buku yang sangat
tidak layak anak, yang mengajarkan seksualitas tidak tepat dan mendorong permisivitas
terhadap seks menyimpang. Dan yang paling penting, industri pornografi harus
senantiasa diwaspadai, jangan sampai dia berubah wujud melalui bukubuku ajar
yang sebenarnya di dalamnya ada ideologi liberalisme yang berbahaya.
Tujuannya adalah merusak generasi agar semakin rabun dengan nilai-nilai
kesusilaan dan agama.
Kewaspadaan harus ditingkatkan karena pornografi kemudian
diliterasi oleh kekuatan teknologi dengan mengemasnya ke dalambentukapapun,
termasuk buku. Selain itu kekuatan tersebut menjadikannya suatu bentuk
industri baru, melalui penerbit buku dan para penulisnya. Pornografi, yang
dikemas dengan pendidikan seksual, diproduksi dalam ragam bentuk yang
menjangkau segala lapisan masyarakat, khususnya remaja dan anak.
Semua pihak memahami bahwa pornografi adalah racun dengan
residu yang kemudian harus mendapatkan perhatian semua pihak agar membendung
anak-anak kita dari ideologi porno yang berbahaya bagi bangsa dan negara.
Negara telah memiliki landasan untuk melindungi anak dari segala ancaman
kekerasan seksual.
UU Nomor 35/2014 tentang Perlindungan Anak menegaskan
negara menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya untuk dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi. Pemerintah pun merasa perlu menambahkan ketentuan perlindungan
anak dalam Inpres Nomor 5/2014 tentang Gerakan Nasional Anti Kekerasan
Seksual Anak (GN AKSA).
Tujuannya adalah agar terjadi pengarusutamaan
(mainstreaming) perlindungan anak dari kekerasan seksual. Hal ini kemudian
juga diperkuat ketika Presiden Jokowi kemudian melahirkan Peraturan
Perundang-undangan Pengganti Undang-undang ( Perppu) Nomor1/2016 tentang
Perubahan Kedua atas UU Nomor 23/2002 tentang Perlindungan Anak.
Namun itu semua masih harus ditambah dengan peran serta
keluarga dan masyarakat untuk bersama-sama hadir memberi perlindungan optimal
terhadap anak. Materi pendidikan seksual yang tidak tepat akan membuka
peluang lebar bagi anak untuk menjadi korban pelecehan seksual. Pornografi
menjadi katalisis sekaligus bahan bakar mental bagi anak untuk menjadi pelaku
pelecehan seksual sesamanya.
Jika ini terjadi, paedofil dan predator seksual anak akan
menggunakan materi tersebut dengan dalih pendidikan seksual. Bukan tidak
mungkin, mereka akan memperlihatkan bagian-bagian vital seksual kepada anak
dan menanamkan pikiran bahwa anak juga bisa meniru yang demikian. Bahaya lain
adalah dengan mengganggu dan mengacaukan identitas kelamin. Pria dipandang
sebagai pribadi yang mendapat kepuasan seksual dan perempuan sebagai objek sensasinya.
Gambaran yang salah inilah yang ditangkap oleh anak dan
jika dibiarkan akan mengganggu perkembangan psikologis mereka. Pendidikan seksual
yang tidak tepat akan mendorong anak untuk menjadi pelaku kekerasan seksual.
Dalam hal ini anak bisa menjadi pelaku dan melakukannya dengan teman-
temannya. Ini sangat berbahaya secara fisik dan dampaknyaterlihat pulasecara
fisik. Dampaknya adalah mencakup kehamilan yang tidak diinginkan, penyakit
menular hubungan seksual hingga ketergantungan seks.
Pendidikan seks bukanlah memperagakan hubungan seks,
menjelaskan bagaimana hubungan itu dilakukan, atau memperlihatkan materi
(film/ gambar/audio) porno kepada anak. Sama sekali bukan. Walau demikian,
memang ada jenis pendidikan di negara maju yang sudah berani menggunakan
alat-alat peraga seperti film atau buku.
Namun, untuk di Indonesia, yang notabene negara timur
dengan asasnya yang mengangkat tinggi norma agama dan kesusilaan, cara
demikian dianggap menyimpang dan salah. Oleh sebab itu, kehadiran guru atau
orang tua untuk membimbing anak mutlak dibutuhkan. Mereka bisa mendampingi
anak untuk mendapatkan penjelasan tentang organ intim yang mulai berkembang
dan sebagainya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar