Ihwal
Seleksi Komisioner
Zainal Arifin Mochtar ;
Pengajar
Ilmu Hukum dan
Ketua Dewan Direksi Pukat Korupsi
FH UGM
|
KOMPAS, 25 Februari 2017
Jamak dipahami, lembaga negara independen di Indonesia
mengalami perkembangan bak cendawan di musim hujan. Ini tak khas Indonesia
saja, Eropa Barat dan Asia juga mengalami hal serupa, yang diawali di tahun
1990-an.
Fabrizio Gillardi (2012) dan Umit Somnez (2010), misalnya,
menuliskan secara terang dan detail hal itu. Berbagai alasan di baliknya—ketakpercayaan
atas lembaga lama, kebutuhan percepatan demokratisasi, hingga keinginan
memperbaiki kualitas layanan—menjadi alasan besar di balik kelahiran
lembaga-lembaga itu. Lembaga semisal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
Komnas HAM, Komisi Yudisial, Ombudsman, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan
berbagai lembaga negara independen lain di Indonesia contohnya.
Salah satu hal yang menarik diperbincangkan adalah
pengisian jabatan komisioner atau jabatan setingkat komisioner. Begitu banyak
komisi menjadikan begitu banyak proses seleksi. Saat ini terdapat tiga
panitia/tim seleksi yang tengah bekerja yakni untuk calon anggota
KPU/Bawaslu; Komnas HAM; dan OJK.
Ketiganya penting karena mengerjakan hal penting terkait
politik, hukum, dan ekonomi di republik ini. Sayangnya, semenjak hadirnya
lembaga negara independen, proses seleksi dan kelembagaannya masih mengalami
kelindan persoalan. Persoalan berawal dari kegagalan memahami secara utuh
konsep lembaga negara independen atau karena problem politisasi dalam pembentukannya.
Beberapa ciri
Lembaga negara independen, menurut Milakovich dan Gordon
(2001), memiliki perbedaan dengan lembaga pemerintah biasa. Perbedaannya,
pertama, komisi ini memiliki karakter kepemimpinan yang bersifat kolegial
sehingga keputusan-keputusannya diambil secara kolektif. Kedua, anggota atau
komisioner lembaga ini tak melayani apa yang menjadi keinginan presiden
sebagaimana jabatan yang dipilih presiden lainnya. Perihal independen ini,
Funk dan Seamon (2002) menjelaskannya dalam arti anggota bebas dari kontrol
presiden walaupun independensi itu sifatnya relatif, tak amat mutlak.
Ketiga, masa jabatan komisioner ini biasanya definitif dan
cukup panjang, misalnya 14 tahun untuk Federal Reserve Board di AS. Keempat,
periode jabatannya bersifat staggered. Artinya, setiap akhir masa periode
kepemimpinan tak semua komisioner diganti dengan yang baru, tetapi dilakukan
pergantian secara bertahap dan karena itu seorang presiden tak bisa menguasai
secara penuh kepemimpinan lembaga-lembaga terkait karena periodisasi jabatan
komisioner tidak mengikuti periodisasi politik kepresidenan.
Kelima, jumlah anggota atau komisioner bersifat ganjil dan
keputusan diambil secara mayoritas suara. Keenam, keanggotaan lembaga ini
biasanya menjaga keseimbangan perwakilan yang bersifat partisan. Dengan
karakter seperti itu, lembaga negara independen relatif memiliki posisi yang
leluasa dalam melakukan fungsinya karena tidak berada di bawah kontrol
kekuasaan mana pun secara mutlak.
Masih dalam hal yang sama, Funk dan Seamon (2002)
menjelaskan secara lebih rinci bahwa karakteristik lembaga independen ini,
pertama, dikepalai oleh multi-member groups, yang berbeda dari yang
mengepalai agency atau badan atau biro. Kedua, tak boleh dikuasai secara
simple majority oleh partai tertentu, yang artinya bebas dari penguasaan
partai tertentu.
Ketiga, para komisionernya punya masa jabatan yang fixed
dengan pergantian secara berjenjang (staggered terms), yang artinya mereka
tidak berhenti secara bersamaan. Keempat, para anggota hanya bisa
diberhentikan dari jabatan menurut apa yang ditentukan di dalam aturandan
tidak dengan cara yang ditentukan oleh presiden seperti di lembaga eksekutif.
Artinya, dalam kaitan proses seleksi yang ada saat ini,
ada beberapa catatan penting. Misalnya, tak satu pun lembaga negara
independen di Indonesia menggunakan model pergantian staggered. Hampir semua
lembaga ini dibuat seiring dengan masa jabatan politik lima tahunan. Hanya
KPK yang punya pola empat tahunan. Selebihnya, lebih dekat ke tahun durasi
politik lima tahunan. Tatkala para komisionernya diganti, maka diganti secara
keseluruhan dan bersamaan.
Kejadian itu telah menempatkan beberapa lembaga negara
independen mengalami masa gamang di awal pergantian komisioner. Proses
penyesuaian dan menemukan ritme kerja serta memahami pekerjaan butuh waktu
sehingga sering kali lembaga yang diganti secara keseluruhan komisionernya
mengalami set-up ulang yang memakan waktu cukup lama.
Sistem staggering dibuat dalam rangka kesinambungan kerja
lembaga negara independen. Apalagi untuk lembaga yang sangat penat dengan
proses administrasi dan substansi yang ketat sangat butuh kesinambungan
kerja. Dan, pergantian berjenjang ditujukan untuk itu. Sayangnya, hal penting
ini malah tak dianut di dalam UU dasar pendirian lembaga-lembaga negara
independen tersebut.
Belum lagi proses seleksi yang terlalu politis karena
seakan-akan semua wajib melibatkan kekuatan politik di DPR melalui uji
kelayakan dan kepatutan (fit and proper test). Padahal, jika jeli membaca UUD
1945, hanya ada beberapa lembaga yang diberi kewenangan untuk proses seleksi
via fit and proper test, yakni tiga hakim konstitusi, hakim agung, anggota
Badan Pemeriksa Keuangan, dan KY. Selebihnya tidak diatur. UU-lah, yang
notabene dibuat DPR, kemudian mencantumkan kewajiban seleksi via uji
kelayakan dan kepatutan di DPR.
Masa jabatan politik lima tahunan sesungguhnya juga
mengganggu karena lembaga negara independen biasanya diberi masa jabatan
relatif panjang. Tujuannya, mempermudah proses pergantian berjenjang dan agar
tak ada kekuatan politik yang bisa menguasai karena proses politik hanya
dalam periode empat atau lima tahunan sehingga masa jabatan panjang
membuatnya aman dari kemungkinan mengabdi pada kepentingan politik. Berbeda
dengan yang digunakan di Indonesia, sistem lima tahunan yang mengikuti tahun
politik sesungguhnya tak punya akar rasional karena malah memperbesar
kemungkinan pengaruh politik memasuki ranah yang diurusi lembaga ini.
Menutup kekurangan
Dalam konteks berpikir negara hukum yang rapi, maka tentunya
harus dikatakan bahwa proses perbaikan itu hanya dapat dilakukan tatkala
UU-nya diperbaiki. Politik hukum di balik pembentukan aturan lembaga negara
independen harus diperbaiki. Paradigma masa jabatan yang lama danstaggering
sebaiknya dipertimbangkan untuk masuk dalam menjaga independensi lembaga
negara independen.
Sekurang-kurangnya, panitia/tim seleksi harus memahami
kebutuhan masa jabatan dan pergantian berjenjang ini. Dalam konteks itu,
panitia/tim seleksi dapat memberikan ”perlakuan khusus” bagi kandidat yang
berasal dari para komisioner petahana, sepanjang mereka memiliki kapasitas
dan integritas yang tak tertawarkan serta memiliki prestasi kerja yang cukup
baik sebelumnya.
Perlakuan khusus ini tentu saja bukan prinsip
diskriminatif, tetapi harus merupakan bagian dari kebutuhan mengadopsi tujuan
besar dari sistem pergantian berjenjang yang biasanya dianut oleh lembaga
negara independen. Jika memang ada orang lama dari komisi yang mendaftar
kembali, maka sepanjang orang itu memiliki integritas dan kapabilitas sangat
baik selama menjadi bagian dari komisi dimaksud, maka menjadi penting untuk
diberi prioritas dalam memegang atau melanjutkan jabatan di lembaga tersebut.
Hal ini bukan hanya pada tingkatan panitia/tim seleksi,
melainkan juga dalam proses di DPR. Penting bagi DPR mempertimbangkan
mengadopsi model tersebut dan menjadikannya patokan unsur penting dalam fit
and proper test. Pada saat yang sama, harus ada upaya sistematis mengurangi
proses politis dalam pemilihan di fit and proper test. Harus ada jaminan agar
politisi tak bermain mata dengan kandidat. Untuk itu, proses fit and proper
test juga harus diperbaiki. Memperbaiki mekanisme pemilihan paket (satu orang
untuk sejumlah jabatan) sebaiknya dihindari karena hanya akan melahirkan
kemungkinan kesepakatan ”paket orang terpilih” dengan partai tertentu.
Memperhatikan benar hasil dari tim/panitia seleksi juga menjadi keharusan
karena melalui sebuah proses yang sangat merit dengan standar yang cukup
ketat.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar