Kontrol
Korupsi dan
Meningkatkan
Kesejahteraan ala Selandia Baru
Rudy M Harahap ;
Pegawai Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP); PhD (Candidate)
pada Auckland University of Technology (AUT),
yang tinggal di Auckland,
Selandia Baru
|
DETIKNEWS, 02 Februari 2017
Baru
saja Transparency International (TI) yang bermarkas di Jerman mengumumkan
kembali indeks persepsi korupsi global. Sayangnya, pengumuman tersebut kalah
hot dibandingkan dengan berita Pilkada DKI. Berita nasional juga masih
diramaikan dengan isu perlakuan diskriminatif yang semakin tajam di
Indonesia. Padahal, banyak hal yang menarik dari indeks tersebut. Mari kita
tengok sebentar.
Pertama,
skor Indonesia baru saja mengalami kenaikan dari 36 pada tahun sebelumnya menjadi
37 tahun 2016. Memang, kalau dilihat dari keseluruhan negara yang diukur,
Indonesia mengalami penurunan, dari yang sebelumnya urutan ke-88 tahun
sebelumnya menjadi urutan ke-90 tahun 2016. Namun, hal itu tidak terlalu
mengganggu. Sebab, hanya 167 negara yang diukur pada tahun 2015, sementara
pada tahun 2016 ada 176 negara yang diukur.
Kedua,
yang membuat kita semakin optimis adalah ketika melihat trend skor tersebut
dari waktu ke waktu, terutama setelah Indonesia memasuki era pemilihan
presiden dan kepala daerah secara langsung. Sebelum tahun 2008, skor
Indonesia masih di bawah 23. Kemudian, tahun 2008 Indonesia pelan-pelan
berhasil meraih skor 26, berikutnya tahun 2009 dan 2010 meraih skor 28, tahun
2011 meraih skor 30, tahun 2012 dan 2013 meraih skor 32, tahun 2014 meraih
skor 34, dan terakhir tahun 2015 dan 2016 meraih skor masing-masing 36 dan
37.
Skor
tahun 2016 itu juga bisa mengukur sekilas keberhasilan pemerintahan Jokowi
setelah melewati dua tahun pemerintahan. Sekedar melihat perubahan dari 2014
ke 2015, yaitu dari skor 34 ke 36, tentu kurang tepat karena pemerintahan
Jokowi masih dalam tahap awal pada waktu itu. Setelah melewati dua tahun
barulah layak kita melihat keberhasilannya. Kita melihat adanya keberhasilan
itu, walaupun memang tidak terlalu signifikan. Artinya, kita perlu mencari
strategi baru untuk memperbaiki skor persepsi korupsi dan menurunkan tingkat
korupsi di Indonesia.
Untuk
kepentingan stratejik tersebut, saya akan berbagi pengalaman dari Selandia
Baru di mana selama hampir tiga tahun saya tinggal di sini. Tentu, pandangan
ini adalah subjektif dari pengamatan saya. Argumentasi kritis yang muncul
biasanya adalah karena Selandia Baru negara kecil tidak tepat Indonesia
belajar dari Selandia Baru.
Namun,
argumentasi tersebut bisa dibantah karena banyak juga negara kecil yang
ternyata skor persepsi korupsinya buruk. Republik Kongo, misalnya. Jumlah
penduduknya hampir sama dengan Selandia Baru sekitar 5 juta orang, tetapi
hanya mampu mencapai skor 22. Atau bisa juga melihat Gambia yang penduduknya
hanya sekitar 2 juta orang, tetapi berada pada urutan ke-123 (dengan skor
28).
Menariknya,
pada dasarnya Selandia Baru memiliki kesamaan dengan Indonesia dari segi
keberagaman etnik. Lagi pula, perlakuan diskriminatif beberapa pihak di sini
bukan tidaklah bermasalah. Ia masih menjadi isu penting. Namun, perlakuan
diskriminatif itu bisa dikendalikan dengan baik sehingga harmoni tetap
terjaga.
Hal
ini mungkin yang membedakan dengan bagaimana Indonesia mengendalikan
perlakuan diskriminatif belakangan ini. Keberagaman yang mestinya dilihat
sebagai potensi, belakangan ini di Indonesia oleh beberapa kalangan malah
dianggap sebagai ancaman nasional.
Dari
segi skor persepsi korupsi, tahun 2016 Selandia Baru kembali berada pada
urutan nomor 1 bersama dengan Denmark. Yang menarik, skor mereka sempat
anjlok dari yang biasanya selalu di urutan teratas malah turun pada urutan
ke-4 tahun 2015. Skor mereka yang tahun-tahun sebelumnya berada antara 90 dan
92, pada tahun 2015 turun menjadi 88. Namun, mereka ternyata berhasil
memulihkannya kembali dalam satu tahun. Pada tahun 2016 mereka kembali
menjadi urutan teratas dengan skor 90. Apakah rahasianya?
Padahal,
situasi politik bukanlah tidak rentan di sini. Hampir setiap hari terjadi
perdebatan antar para politisi. Kemudian, terjadi perbedaan pandangan yang
tajam antar partai politik dan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Namun, hal itu tidak membuat skor persepsi korupsi mereka menjadi semakin
buruk, tetapi malah berhasil memperbaikinya kembali.
Saya
melihat ada beberapa hal yang bisa dicatat. Pertama, Selandia Baru menganut
sistem parlementer. Dengan demikian, menteri otomatis menjadi anggota
parlemen. Keuntungannya, kebijakan nasional bisa dirumuskan melalui
perdebatan politik langsung di parlemen antara menteri yang memimpin
kementerian/lembaga berhadapan langsung dengan politisi dari partai oposisi.
Sekeluarnya
mereka dari perdebatan di parlemen, tugas para profesional birokrasi di
kementerian/lembagalah yang mengimplementasikan kebijakan tersebut. Dengan
demikian, tidak dimungkinkan bagi menteri atau anggota parlemen
mengintervensi langsung proses eksekusi kebijakan politik ke
kementerian/lembaga. Keseluruhannya diserahkan ke chief executive officer
(CEO) (atau semacam sekretaris jenderal kementerian/lembaga kalau di
Indonesia) yang dipilih langsung oleh Komite Aparatur Sipil Negara (KASN)
atau civil service commission.
Sementara
itu, kalau kita bandingkan dengan Indonesia, menteri bukanlah anggota
parlemen. Karenanya, menteri tidak melakukan perdebatan langsung dengan
anggota parlemen. Karena itu, keputusan yang dihasilkan oleh parlemen tidak
bisa langsung diimplementasikan oleh kementerian/lembaga. Keputusan parlemen
dapat dikoreksi secara informal oleh menteri atau bisa juga seorang anggota
parlemen secara informal mengintervensi kementerian/lembaga di luar sesi
formal.
Hal
inilah salah satu penyebab kecenderungan belakangan ini setelah era reformasi
banyak anggota parlemen di Indonesia terlibat dalam kasus tindak pidana
korupsi. Aparat kementerian/lembaga pun sering mengalami kegamangan karena di
satu sisi harus mengikuti arahan menteri, tetapi di sisi lain juga harus
mempertimbangkan kepentingan politisi, terutama anggota parlemen.
Kadang,
malah aparat kementerian/lembaga mengambil keuntungan dari situasi tersebut.
Misalnya, mereka merasa hubungan dengan partai politik melalui anggota
parlemen penting untuk menopang karirnya di masa depan. Kita bisa amati,
jelasnya, beberapa pejabat karir yang memimpin organisasi publik belakangan
ini mengalami kecenderungan mempunyai hubungan yang kental dengan partai
politik yang berkuasa. Mereka pun sudah sejak lama berkolaborasi dengan
partai politik itu secara diam-diam atau informal, walaupun secara formal
mereka dilarang terafiliasi dengan partai politik.
Kedua,
yang menarik lagi di jabatan menteri Selandia Baru, kepentingan pribadi
seorang menteri dikendalikan dengan suatu sistem saling kontrol. Saya tidak
melihat hal ini terjadi di banyak negara. Sebagai contoh, Nikki Kaye selain
menjabat Menteri Kepemudaan juga adalah wakil menteri (associate minister) di
Kementerian Pendidikan. Artinya, ia memegang dua portofolio, yaitu
Kementerian Kepemudaan dan Kementerian Pendidikan. Karena itu, jika Menteri
Pendidikan berhalangan, perdana menteri tidak perlu lagi menunjuk pejabat ad
interim. Otomatis wakil menteri tadi yang berperan sebagai pejabat ad
interim.
Menariknya
lagi, dengan pola ini, seorang menteri tidak bisa bersikap individualistik
karena ada wakil menteri yang sebenarnya selevel menteri juga berada di
sampingnya. Seorang menteri mesti mau berbagi peran ke wakil menteri dan
wakil menteri akan menjadi pengendali terhadap menteri. Dari sini bisa
dilihat, walaupun Selandia Baru masyarakatnya adalah individualistik, tetapi
mereka mendorong kerja sama antar menteri dengan pendekatan kolektif
kolegial.
Bandingkan
dengan Indonesia. Indonesia tidak mengenal konsep ini. Seorang menteri hanya
memegang satu portofolio. Bisa dibilang, ia menjadi pemimpin dominan pada
suatu kementerian/lembaga. Walaupun seorang menteri didampingi oleh wakil
menteri, biasanya peran wakil menteri adalah hanya sebagai pakar yang
mengimbangi keterbatasan teknis seorang menteri. Keputusan akhir tentu ada di
menteri. Akhirnya, kolektif kolegial tidak terbentuk.
Artinya,
kita bisa melihat walaupun masyarakat Indonesia itu pada dasarnya kolektif,
tetapi secara sistem manajemen kabinet ternyata memiliki pendekatan
individualistik. Itulah mungkin salah satu sebab kenapa banyak keputusan
menteri yang tidak diimplementasikan karena bukan dihasilkan dari proses
kolektif yang sesuai dengan nilai masyarakat Indonesia (atau nilai
kementerian/lembaga) yang kolektif. Keputusan menteri belum dianggap sebagai
keputusan bersama yang mesti diimplementasikan.
Ketiga,
politisi tidak bisa lagi menjadikan isu-isu yang menyangkut kesejahteraan
dasar sebagai isu populer untuk mengambil suara pemilih. Hal ini karena
isu-isu tersebut sudah diatur oleh negara. Artinya, isu-isu kesejahteraan
dasar sudah dianggap sebagai kewajiban minimum negara siapapun nanti partai
politik yang berkuasa atau siapapun pemimpin yang terpilih.
Sebagai
contoh, pada sistem social-safety net (semacam program keluarga harapan di
Kementerian Sosial di Indonesia), sudah menjadi otomatis di Selandia Baru
seorang yang pendapatannya rendah atau sedang menganggur negara yang akan
menanggungnya (sepanjang mereka menganggur bukan karena faktor malas).
Mereka
tinggal melapor ke Kementerian Sosial untuk dibayarkan tunjangannya selama
tidak bekerja. Mereka juga bisa dengan mudah mengklaim pajaknya kalau pajak
yang pernah dibayarnya di atas standar. Kalau sakit, sudah menjadi kewajiban
negara memberikan layanan kesehatan gratis ke mereka. Begitu juga pendidikan.
Bandingkan
dengan Indonesia. Isu kesejahteraan dasar seperti ini masih menjadi komoditas
politik untuk meraih suara pemilih. Sebagai contoh, kartu orang miskin, kartu
sehat, dan kartu pintar selalu menjadi komoditas para politisi, tentu dengan
berbagai kemasannya. Lihat perdebatan hal ini dalam Pilkada DKI. Seolah-olah,
para politisi masih dianggap sinterklas dengan isu kemiskinan itu. Para
pemilih tidak sadar bahwa apa yang dijanjikan oleh para politisi itu pada
dasarnya sudah hak mereka dan kewajiban negara.
Keempat,
skor itu menunjukkan rendahnya korupsi tidak saja di pemerintah pusat
Selandia Baru, tetapi juga di pemerintahan daerah. Layanan publik di
pemerintah daerah sudah begitu mudahnya. Namun, ini bukan berarti tidak
pernah ada perbedaan pandangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
yang membuat program pemerintah pusat tidak berjalan di pemerintah daerah.
Perbedaan pandangan itu selalu ada, tetapi mereka bisa menyelesaikannya
dengan baik.
Hal
keempat ini masih menjadi isu utama di Indonesia. Walaupun pemerintah pusat
telah banyak mengalami perbaikan, nyatanya prilaku korup di daerah masih
marak. Bahkan, korupsi di daerah sekarang bergeser menggunakan tangan-tangan
perantara, seperti pegawai honorer. Karena itu, tidak aneh dalam beberapa operasi
tangkap tangan oleh Tim Pemberantasan Pungutan Liar bukan pegawai negeri
sipil yang ditangkap, tetapi malah pegawai honorer di pemerintahan daerah.
Lemahnya
layanan publik di daerah dan masih maraknya praktik korup terjadi karena
Indonesia tidak berani melakukan reformasi total. Di satu sisi Indonesia
telah melakukan reformasi sektor publik, tetapi masih banyak layanan publik
yang ditangani sendiri oleh instansi sektor publik tanpa bekerja sama dengan
sektor swasta. Karena adanya batasan pegawai negeri yang bisa direkrut,
mereka pun merekrut pegawai honorer (pegawai pemerintah dengan perjanjian
kerja).
Kita
bandingkan dengan Selandia Baru. Setelah persyaratan utama seperti social
safety net dibenahi, Selandia Baru melakukan reformasi total sehingga kementerian/lembaga
dan dinas pemerintah daerah tidak lagi sebagai pelaku langsung (implementor),
tetapi lebih kepada perencana dan pemantau kebijakan.
Pihak
yang menjadi pelaksana layanan publik ditangani melalui kontrak dengan
lembaga swasta atau masyarakat sipil. Karena layanan dipindahkan ke pihak
swasta dan setiap pegawai merasa terlindungi dengan social safety net, banyak
para pegawai akhirnya berpindah menjadi pegawai lembaga swasta atau
masyarakat sipil. Mereka dilatih kembali agar dapat memberikan pelayanan
berkualitas melalui berbagai program sertifikasi.
Sebagai
contoh, dokter-dokter perorangan (general practitioners) dikontrak langsung
oleh pemerintah Selandia Baru sehingga masyarakat bisa langsung menggunakan
mereka (di Indonesia dikenal sebagai dokter praktik sendiri atau klinik
bersama). Karenanya, masyarakat tidak perlu antre di rumah sakit pemerintah.
Mereka cukup berhubungan dengan dokter-dokter perorangan itu. Hanya atas hal
yang tidak bisa ditangani oleh dokter-dokter perorangan barulah masyarakat ke
rumah sakit pemerintah. Itu pun setelah mendapat rujukan dari dokter
perorangan tersebut.
Contoh
lain adalah pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur. Kementerian/lembaga
atau dinas pemerintah daerah tidak lagi menjadi pelaku langsung yang
membangun atau memelihara jalan. Mereka mengadakan kontrak ke swasta dan
lebih banyak bertugas mengawasi apakah hasil kerja pihak swasta mengikuti
standar mutu yang ditetapkan pemerintah.
Di
Indonesia, kementerian/lembaga atau dinas pemerintah daerah masih enggan
melepaskan diri sebagai pelaku langsung. Mereka masih ingin berinteraksi
langsung dengan publik. Karena itu, sering terjadi bias antara posisi mereka
selaku implementor dan juga mereka selaku pihak yang merencanakan dan
mengawasi. Akhirnya, seberapa banyak pun Tim Pemberantasan Pungutan Liar
dibentuk di Indonesia tidak akan memperbaiki skor korupsi Indonesia kalau
reform total ini tidak pernah berani dilakukan.
Jika
Indonesia ingin mengalami perubahan radikal pada aspek layanan publik dan
memperbaiki skor persepsi korupsi agar meroket semakin baik, Indonesia harus
berani melakukan perubahan sistem pelayanan publik secara radikal. Sebagai
contoh, kepolisian mestinya tidak lagi berurusan dengan layanan STNK dan
pengecekan fisik. Kepolisian mestinya fokus terhadap aspek keamanan
(security) nasional.
Layanan
STNK mestinya diserahkan ke Kementerian Perhubungan (Kemenhub) yang bekerja
sama dengan kantor pos untuk pembayaran online. Tidak perlu lagi masyakat
antre berhadapan langsung dengan aparat kepolisian yang sering memperburuk
citra kepolisian karena prilaku korup beberapa oknum. Pengecekan fisik juga
mestinya bisa dikerjasamakan dengan bengkel-bengkel swasta. Tugas Kemenhub
mensertifikasi mereka yang memberikan uji kelayakan kendaraan tersebut.
Selain
perubahan radikal di sisi pelayan publik, Indonesia juga mesti berani
mengubah masyarakatnya untuk mau berpartisipasi membiayai negara melalui
pembayaran pajak. Layanan yang lebih baik baik tentu membutuhkan anggaran
negara. Berbagai jenis pembayaran yang saat ini menjadi beban masyarakat,
seperti ketika sedang mengurus perizinan, mestinya bisa diintegrasikan dalam
sistem pembayaran pajak. Saat ini masyarakat masih harus membayar beragam
pungutan atau iuran untuk mendapatkan layanan dasar kesehatan dan pendidikan.
Lihat misalnya adanya BPJS Kesehatan.
Mestinya
layanan dasar tersebut dibiayai secara penuh oleh anggaran negara yang
dipungut dari pajak. Hal itu dimungkinkan jika semua masyaratkat Indonesia
mau membayar pajak. Jika disandingkan dengan persentase pendapatan domestik
bruto, menurut data WorldBank, ternyata pada tahun 2014 Indonesia baru 10,8%
yang membayar pajak. Sementara itu, Selandia Baru berada pada angka 26,7%.
Artinya, saat ini terlalu banyak penunggang gelap (free riders) yang menikmati
layanan publik di Indonesia, tetapi tidak pernah mau membayar pajak.
Cara-cara
pemerintah dengan memperluas basis penerimaan melalui penerimaan negara bukan
pajak dan iuran belakangan ini bisa mengakibatkan organisasi sektor publik
lebih sibuk mengurus bagaimana mengumpulkan penerimaan daripada meningkatkan
kualitas layanan. Hal ini bisa dihindari jika masyarakat sadar bahwa mereka
mesti membayar pajak dan juga pemerintah mengintegrasikan berbagai pungutan
itu melalui satu pungutan pajak. Artinya, pemerintah mesti menerapkan prinsip
"one payment for all services" bagi warga negaranya.
Dengan
adanya pungutan pajak dan berbagai iuran yang terintegrasi, maka negara akan
mudah memberikan pengembalian pajak terhadap mereka yang secara standar
dianggap telah lebih membayar pajak. Sistem online antara majikan selaku
pemotong pajak dengan sistem informasi Direktorat Jenderal Pajak mesti
dibangun. Sistem ini mestinya juga terintegrasi dengan social safety net yang
ada di Kementerian Sosial dan pemerintah daerah.
Dengan
demikian, duplikasi penerimaan tunjangan oleh orang miskin atau yang berpendapatan
rendah dapat dicegah. Sistem ini juga mestinya diintegrasikan dengan sistem
pendidikan. Beasiswa Bidik Misi yang ada di Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan mesti diintegrasian dengan sistem pajak sehingga dari awal
mahasiswa miskin yang mendapat beasiswa akan terdeteksi apakah terjadi
perubahan pendapatan pada keluarganya.
Saat
ini diasumsikan mahasiswa penerima Beasiswa Bidik Misi selalu dalam keadaan
miskin sampai mereka lulus sehingga berhak mendapatkan beasiswa ini. Padahal,
bisa terjadi pada tahun berikutnya mereka sudah mendapatkan penghasilan yang
tidak bisa dianggap sebagai orang miskin lagi. Dengan adanya sistem
terintegrasi ini, para mahasiswa juga sudah mulai dilatih tertib membayar
pajaknya dan dalam jangka panjang pajak tidak dianggap lagi sebagai beban,
tetapi bagian dari peran warga negara dalam menciptakan layanan publik yang
berkualitas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar