Freeport,
Apakah Harus Berujung ke Arbitrase?
Sampe L Purba ;
Praktisi
Energi, aktif di Asosiasi Masyarakat Energi
|
MEDIA
INDONESIA, 23 Februari 2017
KITA mengikuti pemberitaan di koran mengenai persoalan
Freeport yang utamanya dipicu perbedaan pendapat. Menurut PT Freeport
Indonesia (PTFI), ketentuan pada kontrak karya menjamin mereka dapat
mengekspor semua konsentrat tanpa harus dimurnikan smelter di Indonesia
terlebih dahulu. Sementara itu, pemerintah berpendapat apabila akan mendapatkan
izin ekspor, sesuai dengan Undang-undang 4 Tahun 2009 dan Peraturan
Pemerintah nomor 1 Tahun 2017, perusahaan tersebut harus mengubah kontrak
karya menjadi izin usaha pertambangan khusus, atau tetap sebagai kontrak
karya dengan harus membangun pabrik pemurnian (smelter, fasilitas pengolah
hasil tambang untuk meningkatkan kandungan logam seperti tembaga, emas, dan
perak).
Batas waktu yang diberikan Undang-undang 4 Tahun 2009
ialah 5 tahun sampai dengan 2014. Tidak kurang dari presiden dan CEO
Freeport-McMoran Inc Induk PTFI di Amerika Serikat, dalam konferensi pers
menyatakan bahwa sesuai pasal 21 Kontrak Karya, 120 hari sejak pengajuan
keberatan tanggal 17 Februari 2017 apabila tidak ditemukan jalan keluar,
mereka memiliki hak untuk menuntaskan sengketa ini lewat arbitrase. Tidak
kalah gertak, pemerintah menyatakan hak masing-masing pihak untuk membawa ke
arbitrase, dan pemerintah siap untuk menghadapinya. Namun, sebagai
perusahaan, yang kepentingannya bisnis dan bukan beperkara, tentu lebih bijak
apabila perbedaan pendapat diselesaikan dan dirundingkan.
Klausul penyelesaian sengketa
Klausul penyelesaian sengketa pada kontrak komersial
umumnya ialah ke lembaga arbitrase. Forum arbitrase dianggap lebih unggul
jika dibandingkan dengan pengadilan/litigasi karena beberapa hal. Seperti
agenda persidangan yang lebih fleksibel, ada kepastian tenggat penyelesaian,
diperiksa dan ditangani majelis arbiter yang memiliki latar belakang,
pengetahuan dan pengalaman di bidangnya, berdasarkan nominasi masing-masing pihak,
serta sidang-sidangnya bersifat tertutup. Dengan demikian, selama, setelah,
dan pascaputusan arbitrase yang mengikat para pihak, putusan diharapkan
dilaksanakan secara sukarela dan hubungan bisnis tetap berjalan tanpa heart
feeling.
Itu teorinya. Dalam kasus Freeport, yang mengemuka ialah
semacam megaphone tone teriakan fals dan mencekam semacam intimidasi dan
kontra intimidasi dari kedua belah pihak. Dalam kontrak karya Freeport
alternatif penyelesaian sengketa ada dua pilihan, yaitu konsiliasi atau arbitrase.
Konsiliasi mengacu ke UNCITRAL Conciliation Rules 1980, Arbitrase mengacu ke
UNICITRAL Arbitration Rules 1976, yang telah diadopsi Sidang Umum
Perserikatan Bangsa-bangsa. Konsiliasi pada umumnya ialah penyelesaian
sengketa secara bersahabat dengan membangun hubungan dan saling pengertian
yang positif, tidak bersifat adversarial (saling ngotot dengan bukti
masing-masing pihak), serta berusaha mendapatkan kesepahaman dan penyelesaian
yang dapat diterima kedua belah pihak.
Sesuai dengan pasal 16 UNCITRAL Conciliation Rules, selama
proses konsiliasi, tidak boleh satu pihak pun mengajukan perkara ke arbitrase
atau pengadilan kecuali dianggap perlu untuk mempertahankan hak-hak
masing-masing. Apabila pilihannya ialah arbitrase, dalam UNCITRAL Arbitration
Rules (ada 41 pasal), berdasarkan model arbitration clause proceedings,
penyelesaian sengketanya akan melalui empat tahap yang panjang dan
melelahkan.
Pertama, Introductory Rules. Dalam tahapan ini para pihak
perlu menyepakati otoritas yang memberi mandat, jumlah arbitrator, tempat
melaksanakan arbitrase, dan bahasa yang disepakati.
Arbitration rules juga tunduk kepada hukum domestik.
Misalnya, pembatasan dan ketentuan kualifikasi arbiter dan lain-lain. Dalam
kontrak karya Freeport, dinyatakan bahwa tempat pelaksanaan persidangan ialah
Jakarta, atau di tempat lain yang disepakati. Sementara itu, arbitration
rules menyerahkan kesepakatannya kepada kedua belah pihak. Kedua, Komposisi
Arbiter di persidangan/ tribunal. Arbiter dapat disepakati hanya satu orang,
atau masing-masing pihak akan menunjuk satu orang, dan keduanya menunjuk satu
orang lagi. Dalam hal tidak sepakat, akan diserahkan kepada otoritas yang
disepakati untuk menunjuk. Dalam hal tidak ada otoritas tersebut, akan
diserahkan kepada Sekretaris Jenderal Permanent Court of Arbitration untuk
menunjuk hanya satu arbiter.
Namun, setiap waktu apabila menurut pendapat satu pihak,
ada arbiter kelihatan memihak dan tidak independen (asas impartiality and independence), dapat diminta untuk diganti. Ini
dapat menjadi taktik untuk mengganggu dan memperlambat proses. Ketiga, proses
pemeriksaan/ persidangan/proceedings.
Ini pun tidak mudah. Dalam persidangan dapat saja satu pihak mempertanyakan
validitas dan cakupan arbitrase. Dalam kasus Freeport misalnya, dapat saja
pihak Indonesia menyatakan bahwa yang menjadi subject dispute ialah peraturan
perundang-undangan yang merupakan cerminan kedaulatan Indonesia dan harus
dihormati pihak mana pun, termasuk Freeport, karena hal itu berada di luar
hukum kontrak.
Keempat, award atau putusan. Implementasi award atau
putusan di dalam yurisdiksi negara dengan objek sengketa ada, tidak mudah.
Sesuai dengan article V Konvensi New York 1958 (New York Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign
Arbitral Awards), apabila putusan arbitrase bertentangan dengan
kepentingan umum negara pihak, tidak akan diakui atau enforceable (dapat
dilaksanakan). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, pada pasal 65 dinyatakan yang
berwenang menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase
internasional ialah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Dengan uraian itu dan dengan sejarah dan kepentingan kedua
belah pihak, lebih baik apabila persoalan tersebut diselesaikan dengan
perundingan daripada dibawa ke arbitrase. Laporan Keuangan Konsolidasi Induk
Perusahaan PTFI, yang tercatat di bursa NYSE dengan kode FCX dalam 2015
mencatat 98% emas yang dihasilkan korporasi berasal dari Indonesia, sedangkan
cadangan tembaganya 28% ada di Indonesia. Persoalan arbitrase akan sensitif
ke pergerakan harga saham. Di sisi lain, Indonesia berkepentingan dengan
stabilitas politik, regional dan investasi, peningkatan nilai tambah ekonomi,
konsistensi penghormatan kepada kontrak dan perjanjian, serta reputasi tata
pergaulan hukum Internasional yang baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar