Perjanjian
Batal karena Bahasa
Huala Adolf ;
Guru
Besar pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran
|
KOMPAS, 22 Februari 2017
Bahasa adalah sarana untuk berkomunikasi. Bahasa juga
adalah sarana untuk menyampaikan hasrat, pendapat, dan argumentasi kepada
pihak lainnya. Karena itu, bahasa memiliki peran sosial penting di dalam
hubungan bermasyarakat.
Akan tetapi, jika bahasa dikaitkan dengan hukum berupa
perjanjian atau kontrak, bahasa bisa jadi petaka. Petaka timbul karena di
negeri ini jika perjanjian dengan pihak asing tidak menggunakan bahasa
Indonesia, perjanjian itu menjadi batal. Itulah esensi dari putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Barat tahun lalu dalam sengketa antara pihak swasta
Indonesia dan swasta asing.
Kedua pengusaha mengadakan kerja sama yang dituangkan
dalam perjanjian yang ditulis dalam bahasa Inggris. Dalam pelaksanaannya,
kerja sama melahirkan sengketa. Pihak swasta nasional membawa keabsahan
perjanjian berbahasa asing ini ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Putusan pengadilan
cukup mengejutkan. Pengadilan membatalkan perjanjian tersebut karena
melanggar UU.
Dasar hukum pengadilan adalah UU Nomor 24 Tahun 2009
tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan (UU
Bahasa). UU Bahasa ini mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia dalam
perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah, lembaga
swasta, atau perseorangan WNI (Pasal 31).
Putusan pengadilan tinggi (PT) dan Mahkamah Agung (putusan
nomor 601 K/PDT/2015) menguatkan putusan PN Jakarta Barat. Menyusul putusan
ini, menurut seorang pejabat pengadilan, terdapat dua kasus serupa yang
memintakan pembatalan perjanjian dagang berbahasa asing ini ke PN Jakarta
Pusat. Dikhawatirkan akan muncul pula permintaan serupa di PN lainnya di
Tanah Air. Jika keadaan ini terus berkembang, ketidakpastian hukum dan usaha
di Tanah Air akan sangat terganggu.
Ketentuan Pasal 31 UU Bahasa cukup kontroversial. Putusan
pengadilan mengenai keabsahan perjanjian berbahasa asing menimbulkan rasa
waswas di kalangan pengusaha, termasuk investor asing. Juga di kalangan
masyarakat, ketentuan yang mewajibkan bahasa Indonesia dalam perjanjian
melahirkan pro dan kontra cukup panas.
Menabrak prinsip hukum
Posisi tulisan ini adalah kontra terhadap pasal tersebut.
Alasannya, terdapat prinsip-prinsip hukum yang tertabrak. Pertama, prinsip
sahnya perjanjian. Pandangan umum mengenai syarat sahnya perjanjian tidak
bergantung pada syarat bahasa. Sahnya perjanjian selama ini mengacu pada
ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu: (1) adanya kesepakatan para pihak;
(2) syarat kecakapan para pihak; (3) obyek tertentu; dan (4) kausa atau obyek
perjanjian yang halal.
Kedua, hukum perdagangan atau hukum perjanjian mengakui
prinsip kebebasan berkontrak. Termasuk di dalam prinsip ini adalah kebebasan
para pihak memilih hukum yang berlaku untuk perjanjian, memilih forum yang
menyelesaikan sengketa, atau memilih bahasa yang digunakan dalam perjanjian.
Prinsip kebebasan memilih bahasa mencakup apakah bahasa yang akan digunakan
dan apakah kesepakatan bahasa yang ini diwujudkan secara tertulis atau lisan.
Ketiga, dalam transaksi dagang atau investasi, bahasa
Inggris sudah dipandang sebagai lingua franca, suatu bahasa pergaulan atau
pengantar di dunia. Bahasa Inggris sudah diakui sebagai salah satu bahasa
resmi PBB. ASEAN telah menetapkan bahasa Inggris sebagai bahasa yang
digunakan di antara anggota ASEAN.
Bahasa Inggris juga sudah diterima sebagai bahasa
perdagangan. Suatu bahasa yang sudah dipandang lingua franca, berlaku umum,
tidaklah tepat jika dibatalkan karena adanya persyaratan bahasa nasional
tertentu.
Untuk menghindari atau meredam keresahan yang lahir karena
adanya kewajiban penggunaan bahasa Indonesia, peran pengadilan jadi penting.
Sistem hukum kita tidak mengenal preseden. Hal ini ada baiknya untuk isu
sekarang ini. Mahkamah Agung dapat membuat petunjuk teknis kepada jajaran
pengadilan di bawahnya mengenai tidak dikenal lembaga preseden ini.
MA dapat pula membuat petunjuk teknis mengenai syarat
bahasa ini sebagai suatu syarat wajib yang soft-law. Dalam UU Bahasa tidak
disebutkan sanksi apa akan dijatuhkan jika syarat bahasa ini tidak
dilaksanakan.
Soft law dalam arti kewajiban yang sifatnya tidak memaksa
terdapat dalam norma hukum lainnya. Contoh ketentuan seperti ini adalah Pasal
12 UU No 24/2000 tentang Perjanjian Internasional. Pasal 12 mensyaratkan
adanya terjemahan teks perjanjian internasional ke dalam bahasa Indonesia.
Namun, dalam praktik cukup banyak perjanjian internasional yang belum
diterjemahkan secara resmi ke dalam bahasa Indonesia.
Tidak dilaksanakannya terjemahan ini tidak menjadi alasan
terlanggarnya perjanjian internasional. Tidak ada atau belum adanya
terjemahan tidak menyebabkan cacat hukum bagi perjanjian internasional yang
pemerintah ratifikasi.
Karena terkait dengan pelaksanaan UU, peran MA sangat
penting. MA tidak perlu segan mengeluarkan petunjuk teknis tentang sifat soft
law ini. Peran pemerintah dan DPR juga sangat penting. Kedua lembaga tinggi
negara ini dapat bersama-sama mengamandemen bunyi ketentuan Pasal 31 UU
Bahasa. Kata wajib dalam pasal tersebut perlu dicabut.
Bantuan MA, presiden, dan DPR sangat dinantikan.
Masyarakat dan dunia usaha sangat menantikan peran ketiga lembaga tinggi
negara ini agar suasana ketidakpastian hukum mengenai bahasa perjanjian dapat
segera terobati. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar