Soekarno
dan Masjid Istiqlal
Eko Sulistyo ;
Deputi
Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi,
Kantor Staf Presiden
|
KORAN
SINDO, 22
Februari 2017
Tanggal 22 Februari 2017 akan diselenggarakan Milad
Istiqlal yang menandai peringatan peresmian masjid terbesar di Asia Tenggara.
Masjid Istiqlal adalah masjid kebangsaan, yang menjadi
simbol nasional dan kebanggaan seluruh umat Islam dan rakyat Indonesia.
Sejarah Masjid Istiqlal tidak bisa dipisahkan dari nama Presiden RI pertama,
Soekarno. Karena, pemberian nama “Istiqlal” berasal dari Soekarno. Soekarno
adalah seorang nasionalis yang selalu menempatkan agama Islam sebagai bagian
penting dalam sejarah bangsanya.
Sejak era pergerakan di tahun 1920-an, Soekarno mencoba
memajukan sebuah pandangan Islam yang modern, rasional, dan berpikiran maju.
Islam bagi Soekarno bersifat dinamis untuk menyesuaikan diri dengan
perkembangan modern sebagai agama kemajuan. (Ridwan Lubis, 2008: 285).
Pandangan Soekarno tentang Islam juga mempunyai titik temu dengan ilmu
arsitektur yang dia pelajari selama kuliah di Bandung.
Soekarno adalah arsitektur lulusan Technische Hoogeschool
(kini ITB) tahun 1926. Sebagai insinyur dan aktivis pergerakan nasionalis,
Soekarno menjadikan arsitektur sebagai penyampai pesan politik perjuangan
tentang bangsa baru yang maju dan bebas dari dominasi kolonialisme Belanda.
Sebagai arsitek dan seorang muslim, Soekarno pernah merancang sebuah masjid
besar yang akan menjadi pusat Islam di Jawa dan simbol Islam berhadapan
dengan Barat dan agamanya.
Saat masih berkuliah di Bandung (1925), Soekarno juga
pernah membuat desain sebuah masjid di Bandung yang akan direalisasikan pada
tahun 1950 ketika Kementerian Agama mendukung sebuah komite untuk membangun
masjid ini oleh Sekretariat Panitia Masjid Quatal Islam (Bernhard Dahm,
1987:217). Membangun masjid juga dilakukan oleh Soekarno sewaktu diasingkan
oleh pemerintah kolonial di Bengkulu tahun 1939-1942.
Saat itu, Soekarno membuat desain renovasi Masjid Jamik
Padang Tengah (Surau Gedang) yang dibangun pada pertengahan abad ke-18.
Kebetulan masjid itu menjadi pusat kelompok Islam yang disebut Soekarno
sebagai kaum fanatik kolot yang menjadi sasaran kritiknya sebagai seorang
modernis. Soekarno akhirnya berhasil meyakinkan merenovasi masjid tersebut
dengan desainnya.
Kemudian masjid dibangun secara gotong-royong dengan
mengerahkan muridmurid Taman Siswa dan Muhammadiyah (Ali Chanafiah, 2004).
Setelah pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda tahun 1949, gagasan untuk
membangun masjid yang megah kembali muncul setelah mendiskusikan dengan
beberapa tokoh Islam. Saat gagasan Masjid Istiqlal sedang digodok, ada dua
peristiwa yang mendorongnya segera mewujudkan masjid megah bagi umat Islam
tersebut.
Peristiwa pertama adalah kunjungan Presiden Soekarno pada
tahun 1951 ke Sumatera Utara melihat kemegahan Masjid Maimun dan saat
meninjau pembangunan Masjid Suhada di Yogyakarta. Arsitek Masjid Maimun
adalah orang Belanda dan dibangun oleh Asosiasi Perusahaan Perkebunan asing
di Sumatera Timur. Demikian juga Masjid Suhada dirancang oleh arsitek
Indonesia Supono, namun konstruksinya dikerjakan oleh perusahaan Belanda.
Soekarno melihat kenyataan bahwa kedua masjid terbesar di
Indonesia saat itu dibangun dengan campur tangan Belanda. Kenyataan ini
semakin mendorong Soekarno membangun masjid megah kebanggaan umat Islam dan
rakyat Indonesia sesuai dengan karakter bangsa, didesain dan dibangun oleh
bangsa Indonesia sendiri. Sebuah masjid yang menyimbolkan bangsa yang merdeka
dan bukan warisan atau buatan kolonial Belanda.
Simbol Kemajuan Peradaban
Soekarno mengatakan jika candi Borobudur dapat berdiri
ratusan tahun, Masjid Istiqlal akan berdiri kokoh hingga ribuan tahun. Soekarno
mengambil perumpamaan Borobudur sebagai simbol kemajuan peradaban Indonesia
di masa lalu. Soekarno hendak menyatakan bahwa peradaban Indonesia sudah maju
di masa silam. Peradaban maju itu mandek dan dihancurkan oleh kolonialisme.
Peradaban yang maju tersebut akan lahir kembali setelah
Indonesia merdeka. Karena itu, Soekarno membangun monument-monumen untuk
menunjukkan jati diri Indonesia sebagai bangsa yang besar. Seperti dikatakan
oleh Indonesianis Ben Anderson, monumen-monumen yang dibangun di era Soekarno
selain untuk memperingati peristiwa dan pengalaman masa silam, juga
dimaksudkan untuk generasi anak-cucu (masa depan).
Monumen adalah suatu cara untuk menghubungkan antara masa
lalu dan masa depan. Untuk itu kemegahan sebuah monumen adalah simbol yang
menunjukkan peradaban besar sebuah bangsa (Benedict R.OG Anderson, 2000).
Ide untuk mendirikan Masjid Istiqlal awalnya dibicarakan
oleh Soekarno dengan beberapa ulama besar pada tahun 1950 seperti KH Wahid
Hasyim sebagai Menteri Agama RI, H Agus Salim, tokoh per-gerakan Islam
senior, KH Anwar Tjokroaminoto, Ir Sofwan, dan KH Taufiqurrahman. Rencana
pembangunan masjid ini dapat dianggap sebagai rasa syukur umat Islam atas
kemerdekaan yang telah diraih, di mana umat Islam menjadi bagian penting dari
perjuangan kemerdekaan bangsa.
Pada tahun 1953 dibentuklah panitia persiapan yang diberi
nama Yayasan Masjid Istiqlal. Pada 7 Desember 1954 diadakan pertemuan besar
yang diikuti sekitar 200 tokohtokoh Islam di Gedung Pertemuan Deca Park,
Medan Merdeka Utara. Hasilnya, terbentuk Yayasan Masjid Istiqlal yang
diketuai H Anwar Tjokroaminoto. Saat penentuan lokasi, terjadi perdebatan
antara Soekarno dan Mohamad Hatta.
Soekarno menginginkan dibangun di Lapangan Wilhelmina di
mana terletak bangunan Benteng Prince Frederik yang tidak terurus. Lokasinya
di sekitar Lapangan Banteng, tidak jauh dari Istana Merdeka. Letak itu sesuai
dengan konsep tata kota tradisional pada masa kerajaan Islam, terutama di
Jawa, di mana pusat kekuasaan politik dan agama saling berdekatan.
Namun, penafsiran berbeda menganggap Taman Wilhelmina
sebagai representasi kolonialisme Belanda di Indonesia. Sementara Wakil
Presiden RI saat itu, Mohammad Hatta, mengusulkan Jalan Mohammad Husni
Thamrin sebagai lokasi pembangunan Masjid Istiqlal. Dengan pertimbangan dekat
dengan lingkungan masyarakat muslim di Tanah Abang dan sekitarnya. Pada
akhirnya, usulan lokasi Soekarno yang terpilih. Pada tanggal 24 Agustus 1961,
bertepatan dengan peringatan Maulid Nabi, tiang pancang pertama pembangunan
Mesjid Istiqlal dimulai.
Simbol Kebhinekaan dan Toleransi
Pemberian nama Masjid Istiqlal diambil dari bahasa Arab
yang berarti “merdeka”. Bagi bangsa Indonesia, kata merdeka adalah sebuah
antitesa dari pengalaman kolektif masa lalu sebagai bangsa yang pernah
dijajah kolonialisme Belanda. Merdeka dalam konsepsi Soekarno juga berarti
membebaskan bangsa dari penjajahan gaya baru dalam bentuk “Neokolim” (Neo
kolonialisme & Imperialisme).
Dengan penamaan ini maka Soekarno ingin menyampaikan pesan
bahwa umat Islam di Indonesia adalah fondasi penting dalam mewujudkan
cita-cita kemerdekaan. Lokasi Masjid Istiqlal juga sengaja dipilih oleh
Soekarno di depan Gereja Katedral yang sudah lebih dahulu berdiri di Lapangan
Banteng sejak 1828.
Berdirinya monumen dua agama yang bersebelahan untuk
menunjukkan Indonesia sebagai negeri Bhineka Tunggal Ika di mana sesama
pemeluk agama dapat hidup berdampingan dan saling toleransi. Kehidupan
toleransi beragama juga ditunjukkan dengan pemilihan desain masjid yang
dibuat arsitek Protestan bernama Friedrich Silaban, salah satu lulusan
terbaik dari Academie van Bouwkunst, Amsterdam, 1950.
Setelah sempat terhenti akibat pergolakan politik 1965,
akhirnya pembangunan Masjid Istiqlal dilanjutkan kembali dengan membentuk
panitia baru yang dipimpin ulama NU KH Idham Chalied sebagai koordinator
Panitia Nasional Masjid Istiqlal yang baru. Bangunan utama masjid selesai
pada 24 September 1967 dan sudah dapat digunakan. Akhirnya seluruh bangunan
Masjid Istiqlal rampung dan diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 22
Februari 1978. Selamat Milad Masjid Istiqlal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar