Ancaman
Arbitrase Freeport
Hikmahanto Juwana ;
Guru
Besar Hukum Internasional UI, Depok
|
KOMPAS, 28 Februari 2017
Freeport McMoran telah memukul genderang untuk membawa
pemerintah ke arbitrase. Pemerintah dituduh telah melanggar kontrak karya
dengan mewajibkan Freeport untuk mengubah bentuk usaha pertambangan dari KK
menjadi izin usaha pertambangan khusus. Menurut Freeport. ini niat sepihak
pemerintah untuk mengakhiri KK.
Tuduhan Freeport bahwa pemerintah memaksa dirinya untuk
mengubah bentuk usaha pertambangan KK menjadi IUPK adalah tidak benar.
Pemerintah justru telah mencoba memahami kesulitan yang akan dihadapi oleh
Freeport saat relaksasi yang diberikan kepada para pemegang KK berakhir pada
11 Januari 2017.
Tidak berdasar
Pangkal masalah
yang memunculkan kegaduhan terletak pada Pasal 170 Undang-Undang Mineral dan
Batubara (UU Minerba). Pasal 170 menentukan pemegang KK yang telah
berproduksi mempunyai kewajiban untuk melakukan pemurnian di dalam negeri
selambat-lambatnya lima tahun sejak berlakunya UU Minerba tahun 2009. Ini berarti pada tahun 2014 semua pemegang
KK sudah tidak lagi diperbolehkan untuk melakukan penjualan ke luar negeri.
Namun, pada 2014 ternyata banyak pemegang KK tak mampu melakukan pemurnian di
dalam negeri. Untuk mengatasi
permasalahan ini, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1
Tahun 2014 dan peraturan pelaksanaannya yang memungkinkan pemegang KK
melakukan ekspor dengan membayar bea keluar, tetapi tetap berkomitmen
membangun smelter dalam jangka waktu tiga tahun.
Menjelang
berakhirnya tiga tahun pada akhir 2016, ternyata sejumlah pemegang KK masih
belum membangun smelter. Freeport salah satunya meski telah mengalokasikan
dana untuk pembangunan smelter. Freeport tak kunjung membangun smelter karena
ingin mendapat kepastian perpanjangan KK yang akan berakhir 2021. Dalam
perhitungan Freeport, tanpa kepastian perpanjangan pembangunan smelter tak
akan ekonomis.
Menghadapi kondisi
belum terbangunnya smelter sementara terhadap Pasal 170 UU Minerba tak
dilakukan perubahan, pemerintah pun harus mencari jalan keluar bagi pemegang
KK yang belum mampu melakukan pemurnian di dalam negeri. Di sinilah kemudian
diterbitkan PP Nomor 1 Tahun 2017 dan sejumlah peraturan menteri (permen)
ESDM. Dalam Pasal 17 Permen ESDM Nomor
5 Tahun 2017 disebutkan, pemegang KK dapat melakukan penjualan hasil
pengolahan ke luar negeri dalam jumlah tertentu paling lama lima tahun dengan
ketentuan mengubah bentuk pengusahaan pertambangannya menjadi IUPK dan
membayar bea keluar.
Apabila mencermati
ketentuan tersebut, tak ada keharusan bagi pemegang KK untuk mengubah dirinya
menjadi IUPK. Freeport, misalnya, bisa saja tetap mempertahankan KK. Hanya
saja sesuai Pasal 170 UU Minerba, Freeport tidak dapat lagi melakukan penjualan
ke luar negeri. Namun, jika Freeport
ingin tetap melakukan penjualan ke luar negeri, Freeport harus mengubah diri
dari KK ke IUPK. Pilihan ini ada di tangan Freeport dan pemerintah tidak
sedikitpun melakukan pemaksaan.
Oleh karena itu,
tuduhan Freeport bahwa pemerintah hendak mengakhiri KK sebelum 2021 adalah
tidak benar. Justru pemerintah telah memberi jalan keluar bagi pemegang KK di
tengah keinginan publik agar pemerintah tegas menjalankan Pasal 170 UU
Minerba. Pemerintah menuai kritik. Bahkan, Permen ESDM No 5/2017 pun dibawa
ke Mahkamah Agung untuk dilakukan uji materi.
Dalam konteks demikian, betapa tidak adilnya Freeport yang mengancam
pemerintah ke arbitrase. Tak heran
jika Menteri ESDM Ignasius Jonan menyebut Freeport rewel. Pemegang KK lain
seperti Vale tetap mempertahankan KK telah menunaikan kewajibannya dengan
membangun smelter. Sementara PT Amman
Mineral Nusa Tenggara (dahulu dimiliki oleh Newmont) telah mengubah bentuk
menjadi IUPK agar tetap dapat melakukan penjualan ke luar negeri.
Arbitrase
Melihat kenyataan
di atas menjadi pertanyaan apakah Freeport memiliki dasar yang kuat untuk
menggugat pemerintah ke arbitrase? Atau ancaman membawa pemerintah ke
arbitrase hanya gertakan belaka. Gertakan ini pernah dilakukan Freeport pada
2014 saat bea keluar ekspor diberlakukan. Ujungnya, Freeport membatalkan
gugatannya. Ancaman Freeport terhadap
Pemerintah Indonesia merupakan bentuk arogansi. Arogansi karena Freeport
merasa sejajar dengan pemerintah. Penyebabnya, dengan KK pemerintah didudukkan
sejajar dengan Freeport.
Secara hukum ini
tidak masuk logika. Mana mungkin sebuah negara yang berdaulat dengan jumlah
penduduk 250 juta diposisikan sejajar dengan pelaku usaha? Freeport sejak lama telah membangun
persepsi yang salah dengan memosisikan Pemerintah Indonesia secara sejajar.
Atas dasar itu, berbagai peraturan perundangundangan yang dikeluarkan
pemerintah diminta untuk tidak diberlakukan atas dasar kesucian kontrak
(sanctity of contract) atau ketentuan yang khusus akan mengenyampingkan
ketentuan yang umum (lex specialis derogat legi generali).
Padahal, ketentuan
khusus akan mengenyampingkan ketentuan umum jika produk hukumnya serupa. Jika
perjanjian yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, berdasarkan
Pasal 1337 KUH Perdata, perjanjian yang akan gugur. Argumentasi Freeport bahwa pemerintah
sejajar dengan dirinya karena Freeport mengabaikan dua dimensi dari
pemerintah yang harus dibedakan.
Dimensi pertama, pemerintah sebagai subyek hukum perdata.
Sebagai subyek hukum perdata pemerintah melakukan perjanjian dengan subyek
hukum perdata lain. Semisal dalam rangka pengadaan barang dan jasa. Dalam
kapasitas sebagai subyek hukum perdata, kedudukan pemerintah memang sejajar
dengan pelaku usaha. Namun, ada
dimensi lain dari pemerintah, yaitu subyek hukum publik. Sebagai subyek hukum
publik, posisi pemerintah berada di atas pelaku usaha dan rakyat. Fiksi hukum
yang berlaku: ketika pemerintah membuat aturan, semua orang dianggap tahu
tanpa perlu mendapat persetujuan. Pemerintah dapat memaksakan aturan yang
dibuatnya dengan melakukan penegakan hukum.
Apabila rakyat atau
pelaku usaha keberatan dengan aturan yang dibuat pemerintah sebagai subyek
hukum publik, mereka dapat memanfaatkan proses uji materi, baik di Mahkamah
Konstitusi maupun Mahkamah Agung, bergantung pada produk hukumnya. Dua dimensi ini yang dinafikan Freeport.
Tak heran jika Freeport hendak membelenggu kedaulatan hukum negara Indonesia
dengan KK. Apabila demikian apa bedanya Freeport dengan VOC di zaman Belanda?
Perlu dipahami pemerintah sebagai subyek hukum perdata tetap harus tunduk
pada aturan yang dibuat pemerintah sebagai subyek hukum publik, semisal di
bidang perpajakan.
Nasionalisme
Ancaman Freeport
membawa pemerintah ke arbitrase justru telah membangkitkan rasa nasionalisme
publik Indonesia. Publik marah. Saat
ini pemerintah mendapat dukungan dari publik untuk bertindak tegas terhadap
Freeport. Publik tak rela jika pemerintah mundur, bahkan berkompromi, karena
ancaman Freeport. Freeport tak
seharusnya memainkan tenaga kerjanya yang dirumahkan dengan alasan efisiensi
untuk menekan pemerintah. Ini karena bola untuk tetap melakukan kegiatan
operasi berada di tangan Freeport. Freeport bisa bertahan dengan KK asalkan
melakukan pemurnian di dalam negeri atau tetap ekspor dengan mengubah status
menjadi IUPK.
Freeport juga tidak
seharusnya memainkan isu Papua, bahkan kehadiran pasukan marinir AS di
Australia. Ada tiga alasan untuk ini.
Pertama, dalam kisruh kali ini, pemerintah sudah bijak untuk memberi
jalan keluar bagi Freeport yang ingin menang sendiri dan menuntut pemerintah
tunduk pada KK dengan mengabaikan Pasal 170 UU Minerba. Sesuatu yang tak
mungkin dilakukan pemerintah di era Indonesia yang demokratis. Kedua, saat
ini pemerintahan di Indonesia dipimpin seorang yang berlatar belakang
pengusaha seperti juga Presiden AS Donald Trump. Presiden Jokowi seperti
Trump dalam membuat kebijakannya bisa sangat tegas dengan mengedepankan
kepentingan nasional atau Indonesia first.
Ketiga, Freeport
tidak bisa menggunakan tangan pemerintahnya untuk melakukan intervensi karena
memang posisi Freeport tidak terlalu baik. Mana mungkin Pemerintah AS
melakukan pembelaan terhadap pelaku usahanya dengan melakukan intervensi,
bahkan menggunakan kekerasan padahal tindakan pelaku usaha itu salah.
Pemerintah Indonesia tidak sedang menzalimi Freeport. Seharusnya Freeport
paham negeri ini sudah mengalami pahitnya penjajahan di masa lalu dan
pemerintah tidak dapat mengambil keputusan tanpa memperhatikan suara rakyat.
Pendekatan dengan ancaman ataupun mendikte, bahkan merongrong kedaulatan,
bukanlah pendekatan yang tepat jika Freeport ingin tetap berbisnis di
Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar