Upaya
Menyelamatkan MK
Saldi Isra ;
Profesor Hukum Tata Negara dan
Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas,
Padang
|
KOMPAS, 03 Februari 2017
Di
tengah upaya serius memulihkan kepercayaan masyarakat, Mahkamah Konstitusi
kembali dihantam gelombang dahsyat. Kamis (26/1), Hakim Konstitusi Patrialis
Akbar ditangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Patrialis diduga
menerima suap terkait dengan pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014
tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Peristiwa
ini mengulang kembali kegetiran teramat sangat dan luka mendalam atas operasi
tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap mantan Ketua
Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar. Ketika itu (2/10/2013), di rumah
dinasnya, Kompleks Widya Chandra, Akil ditangkap KPK karena menerima suap
penanganan sengketa hasil pemilihan bupati Gunung Mas, Kalimantan Tengah.
Imbas penangkapan Akil, masyarakat tersentak dan sadar, tak ada lagi
institusi negara yang bebas dari perilaku koruptif.
Sekalipun
telah lebih dari tiga tahun, penangkapan Patrialis dan Akil terasa tak begitu
berjarak. Ketiadaan jarak tersebut dapat dirasakan dari kekecewaan masyarakat
yang amat mendalam dikarenakan perilaku koruptif kembali menerobos dinding
salah satu pemegang kekuasaan kehakiman yang terlahir dari rahim reformasi.
Padahal, jauh sebelum peristiwa penangkapan Patrialis dan Akil, MK sangat
dipercaya masyarakat.
Karena
itu, kegalauan masyarakat, sebagaimana diekspresikan Presiden Joko Widodo,
"Seluruh negeri pasti kecewa" (Kompas, 29/1), tidak mungkin
dilepaskan dari gagasan awal pembentukan MK sebagai pengawal konstitusi.
Bagaimana mungkin masyarakat tidak kecewa ketika lembaga yang diposisikan
begitu terhormat dan begitu tinggi, yaitu sebagai pengawal konstitusi,
hakimnya mampu diterobos praktik korupsi. Berkaca dari kasus pertama,
ganjaran seumur hidup yang dijatuhkan kepada Akil tidak cukup menyembuhkan
kekecewaan dan kepercayaan masyarakat.
Dalam
batas penalaran yang wajar, hakim konstitusi semestinya kebal dari praktik
penyalahgunaan kuasa dan perilaku koruptif karena persyaratannya jauh lebih
ketat dibandingkan dengan jabatan publik lain. Apabila dibaca Undang-Undang
Dasar Negara RI 1945 (UUD 1945) dan peraturan perundang-undangan lainnya,
hanya hakim konstitusi yang secara eksplisit dicantumkan syarat negarawan.
Nyatanya, status negarawan tak cukup bagi Akil dan Patrialis untuk tidak
terjebak dalam praktik menyimpang.
Sebagai
sebuah institusi, sikap darurat Medan Merdeka Barat Nomor 6, terutama hakim
MK, menunjukkan bahwa kejadian yang menimpa Patrialis adalah perilaku
pribadi. Paling tidak, sikap terbuka hakim MK akan memberikan akses
seluas-luasnya bagi KPK mengungkap kasus ini merupakan upaya membuat
demarkasi antara perilaku personal dan sikap institusi. Dengan demikian,
kejadian yang menimpa Patrialis tidak terlalu jauh menggerus MK.
Namun,
dalam konteks yang lebih komprehensif, dengan operasi tangkap tangan KPK bagi
hakim MK, upaya perbaikan total diperlukan demi menyelamatkan salah satu
pemegang kekuasaan kehakiman. Banyak kalangan percaya, tanpa perbaikan
mendasar, bukan tidak mungkin kejadian yang menimpa Akil dan Patrialis
terulang kembali.
Menemukan negarawan
Berdasarkan
Pasal 24 UUD 1945, meski sama-sama pemegang kekuasaan kehakiman, syarat menjadi hakim MK lebih berat
dibandingkan dengan syarat menjadi hakim agung. Pasal 24C Ayat (5) UUD 1945
menyatakan bahwa hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian
yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan
ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara. Sementara itu,
Pasal 24A Ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa hakim agung harus memiliki
integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan
berpengalaman di bidang hukum.
Selama
ini, perdebatan di sekitar syarat "negarawan" sulit memberikan
definisi secara konkret. Sebagian pihak berpandangan, negarawan adalah orang
yang mampu menempatkan kepentingan negara di atas segalanya. Salah satu
rujukan adalah Manuel L Quezon, Presiden Filipina (1935-1944) menyatakan, "my loyalty to my party ends when my
loyalty to my country begins". Sementara itu, sebagiannya memberikan
pandangan lebih sederhana, negarawan adalah orang yang selesai dengan urusan
dunianya.
Tanpa
harus berdebat panjang, makna negarawan sebagai salah satu persyaratan hakim MK harus dibaca secara lebih utuh "negarawan yang menguasai konstitusi
dan ketatanegaraan". Kemudian, syarat itu dihubungkan dengan tujuan
pembentukan kekuasaan kehakiman dalam Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945, yaitu
menegakkan hukum dan keadilan. Karena itu, negarawan seorang hakim MK dapat
dilacak dari kemampuan menjaga integritas dalam menegakkan hukum dan
keadilan.
Karena
tidak mudah menemukan "negarawan", perkembangan selama menjadi
hakim akan menjadi bukti apakah seseorang pantas menjadi hakim MK. Misalnya,
ketika pengisian hakim MK periode pertama (2003-2008), selain jauh dari
proses terbuka dan partisipatif, masyarakat pun tidak sempat membahas syarat
negarawan. Namun, dalam kenyataan, hampir tidak terdengar pendapat yang
menyatakan hakim MK periode awal tidak memenuhi syarat negarawan tersebut.
Secara
sederhana, hakim MK harus sosok yang mampu menjaga dan meletakkan arti
penting kehadiran dan keberadaan MK dalam desain besar kekuasaan kehakiman.
Sebagai penjaga konstitusi (the
guardian of the constitution), hakim MK haruslah sosok yang memiliki
keinginan tak terbatas untuk menjaga marwah MK. Hakim MK harus bisa menjaga
diri dari segala godaan, baik materi maupun dengan kepentingan poros politik
tertentu. Begitu mulai tergoda, hakim MK tidak saja sedang melangkah
mempertaruhkan posisi dan kredibilitas institusi MK, tetapi sekaligus
mempertaruhkan keberlangsungan kewibawaan konstitusi.
Proses seleksi
Berkaca
dari pengalaman Akil dan Patrialis, proses seleksi calon hakim MK merupakan
salah satu titik bidikan. Sebagaimana diketahui, sejak awal Undang- Undang MK
(UU No 24/2003 jo UU No 8/2011) mengatur bahwa proses seleksi calon hakim MK
dilakukan secara transparan dan partisipatif.
Tidak hanya itu, proses pemilihannya juga dilaksanakan secara obyektif
dan akuntabel.
Masalahnya,
tiga instansi yang memiliki otoritas untuk mengajukan calon tidak memiliki
standar dan proses yang sama dalam menyeleksi hakim MK. Misalnya, sebagai
salah satu lembaga yang memiliki otoritas mengajukan hakim MK, proses seleksi
calon hakim MK di Mahkamah Agung masih tertutup. Padahal, proses transparan
dan partisipatif menjadi kewajiban bagi semua lembaga yang memiliki otoritas
mengajukan hakim MK. Begitu pula calon yang diajukan presiden, merujuk
sejumlah pengalaman, proses seleksi dilakukan dengan standar yang berbeda.
Contoh
yang sering dikemukakan, era Presiden Yudhoyono, Patrialis merupakan hakim MK
yang diajukan tanpa proses yang transparan dan partisipatif. Padahal, tahun
2008, di bawah anggota Dewan Pertimbangan Presiden Adnan Buyung Nasution,
hakim MK yang diajukan berasal dari proses transparan dan partisipatif. Karena proses yang demikian,
dasar hukum pengangkatan Patrialis digugat sejumlah elemen masyarakat ke
PTUN. Terakhir, Presiden Jokowi melakukan perbaikan dalam proses seleksi
hakim MK I Dewa Gede Palguna.
Sebagai
salah satu lembaga yang juga memiliki otoritas mengajukan hakim MK, DPR
berupaya memperbaiki proses dari waktu ke waktu. Terakhir, tahun 2014,
DPR menunjuk beberapa pakar untuk
melakukan seleksi terhadap calon hakim MK. Sebagai sebuah terobosan, langkah
DPR cukup menarik. Meski demikian, karena proses panel pakar tersebut belum
merupakan model atau cara yang baku, sangat mungkin polanya berubah kembali.
Sekiranya terus dipertahankan, DPR baiknya memperbaiki, terutama kriteria
penunjukan pakar yang akan melakukan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test calon hakim MK).
Apabila
diletakkan dalam konteks yang lebih mendasar, terutama posisi sentral hakim
MK, amanat UU MK untuk dilakukan proses secara transparan dan partisipatif
tidak terlepas dari upaya memenuhi syarat hakim sebagaimana diatur Pasal 24C
Ayat (5) UUD 1945. Bisa jadi, pembentuk undang-undang menyadari, syarat berat
bagi calon hakim MK hanya mungkin dipenuhi jika proses seleksi dilakukan
secara transparan dan partisipatif. Bahkan, dengan proses demikian pun tidak
ada jaminan hakim MK bisa memenuhi syarat di atas, termasuk syarat
"negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan".
Karena
proses seleksi merupakan salah satu langkah nyata untuk mewujudkan semua
syarat hakim MK, semua lembaga yang memiliki wewenang (DPR, presiden, dan MA)
mengajukan hakim MK harus bersungguh-sungguh memperbaiki proses seleksi.
Selain itu, karena UU MK menjadi salah satu prioritas dalam Program Legislasi
Nasional 2017, pembentuk undang-undang seharusnya mengatur secara detail
proses dan tata cara pengisian hakim MK.
Menjaga perilaku hakim
Berkaca
dari dua hakim MK terperosok ke dalam perilaku penyalahgunaan wewenang,
kebenaran postulat klasik: kuasa cenderung disalahgunakan (power tends to corrupt and absolute power
corrupts absolutely). Apabila dikaitkan dengan posisi sentral MK dan
putusannya yang bersifat final, pemikiran harus dicurahkan bagaimana proses
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Belajar
kejadian yang menimpa Akil, MK telah membentuk dewan etik. Namun, begitu
kejadian serupa diulangi Patrialis, model dewan etik yang ada dapat dikatakan
jauh dari memadai untuk menjaga keluhuran martabat dan perilaku hakim MK.
Karena itu, perlu dipikirkan kembali model dewan etik yang berbeda sehingga
mampu menjadi semacam sistem peringatan dini (early warning system) bagi hakim MK. Tak hanya itu, keberadaan
dewan etik harus mampu mengoptimalkan partisipasi masyarakat dalam menjaga
perilaku hakim.
Dalam
konteks itu, banyak pihak berpikir, bukan masanya lagi mempertentangkan diksi
antara "mengawasi hakim" dan "menjaga hakim". Keduanya
seharusnya dimaknai sebagai upaya mencegah hakim untuk menyalahgunakan
kekuasaan. Selama bertahan dengan pandangan hakim tidak boleh diawasi,
perilaku menyimpang sangat mungkin makin tumbuh subur. Bagaimanapun, bagi
sebagian kalangan, mengawasi merupakan cara untuk menjaga perilaku hakim.
Karena itu, MK tak perlu alergi dengan terminologi mengawasi hakim.
Agar
tidak terjerumus ke lubang yang sama untuk ketiga kalinya, semua langkah dan
upaya harus dilakukan untuk menyelamatkan MK. Tanpa terobosan mendasar dan langkah
berani, MK berpotensi berubah menjadi lembaga minus kewibawaan. Padahal,
dalam posisi sebagai the guardian of
the constitution, wibawa MK akan menjadi sangat penting dalam menegakkan
kewibawaan konstitusi. Karena itu, semua elemen harus membantu MK agar segera
kembali ke masa gemilang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar