Quo
Vadis Otoritas Jasa Keuangan
Haryo Kuncoro ;
Direktur Riset SEEBI (The
Socio-Economic & Educational Business Institute) Jakarta; Dosen FE Universitas Negeri Jakarta Doktor
Ilmu Ekonomi Alumnus PPs UGM Yogyakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 03 Februari 2017
PENDAFTARAN
calon anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah ditutup
kemarin. Ada ratusan kandidat yang masuk dari berbagai kalangan. Panitia
seleksi diharapkan memperoleh figur yang berkualitas, profesional, kompeten,
dan berintegritas tinggi untuk masa lima tahun ke depan. Harapan tersebut
masuk akal. Sesuai UU No 21/2011, Dewan Komisioner OJK bertanggung jawab atas
kebijakan mikroprudensial, khususnya di bidang lembaga keuangan (LK) yang
menjalankan fungsi intermediasi. Fungsi intermediasi LK menjembatani antara
pemilik dana dan pihak yang butuh dana. Pemilik dana sejatinya dapat langsung
menyalurkan dananya ke pihak kedua tanpa lembaga perantara.
Sayangnya,
kebutuhan dana pihak kedua jauh lebih besar daripada dana yang dimiliki pihak
pertama. LK berperan dalam mengumpulkan dana dari para nasabah. Hasil dana
terhimpun diharapkan mampu memenuhi kebutuhan dana para debitur. Jika
kebutuhan debitur lebih besar daripada dana yang terhimpun, LK menyertakan
modal sendiri dan/atau mencari sumber pembiayaan lain. Sebagai lembaga
bisnis, LK tendensinya akan menyalurkan semua dana yang berhasil dihimpun
kepada debitur. Semakin besar dana yang disalurkan, semakin tinggi pula
pendapatan yang diperoleh sehingga ekspektasi imbal hasilnya juga akan
semakin tinggi. Hasrat (bahkan nafsu) ekspansi penyaluran dana didukung pula
oleh informasi yang tidak simetri (asymmetric
information) antara pemilik dana dan LK. Nasabah sangat minim informasi
sehingga tidak bisa mengontrol ke mana alokasi penyaluran dananya yang
disimpan di LK.
Problem
informasi asimetri juga eksis antara LK dan debitur. Debitur lebih paham akan
kondisi perusahaannya. Pengetahuan LK atas calon debiturnya terbatas hanya
dari dokumen proposal yang diajukan. Pengecekan ke lapangan untuk memvalidasi
data pun sering tidak optimal. Informasi asimetri semacam ini potensial
memunculkan perilaku ceroboh (moral
hazard). Indikasinya, LK semakin berani menanggung risiko guna mengejar
imbal hasil yang tinggi pula dengan menyampingkan kepentingan nasabah. Solusi
untuk menekan moral hazard ialah pengawasan. Dengan alur logika ini, secara
individual nasabah semestinya menjadi pengawas atas dana yang disimpan di LK.
Kalaupun
hal ini bisa dilakukan, biayanya sangat mahal. Akibatnya tidak satu pun
nasabah yang mau melakukannya. Keengganan nasabah mengawasi LK juga
disebabkan oleh 'penebeng gratis' (free
rider). Nasabah lain yang tidak mengeluarkan biaya pengawasan bisa ikut
menikmati manfaat. Alhasil, pengawasan menjadi kebutuhan kolektif semua
nasabah dan menjelma jadi masalah bersama (common pool problem). Eksistensi
'penebeng gratis' dan 'masalah bersama' menunjukkan gejala kegagalan pasar (market failure). Permintaan akan
pengawasan ada, tetapi pemasoknya tidak ada. Artinya, pengawasan terhadap LK
ialah barang publik yang menghendaki campur tangan pemerintah.
Dalam
konteks ini, OJK diinisiasi untuk menjalankan fungsi dasar supervisi. Sadar
atau tidak, nasabah mendelegasikan pengawasannya kepada OJK agar tercapai
skala efisiensi. Alhasil, OJK ialah lembaga yang bertugas mengawasi agar LK
bekerja sesuai dengan koridor fungsinya. Lingkup LK di Indonesia yang agak
spesifik menuntut peran OJK yang lebih besar. Arsitektur keuangan masih
bertumpu pada perbankan. Risiko paling berbahaya ketika perbankan mengalami
masalah internal, risiko sistemik akan berimbas pada kelumpuhan seluruh mata
rantai kegiatan ekonomi. Sumber petaka krisis 2008 datang dari sektor
keuangan. Begitu pula, krisis 1997/98 adalah ekses dari beban yang terlalu
bertumpu pada industri perbankan. Artinya, OJK tidak hanya dituntut menjadi
pengawas kesehatan LK, tetapi juga pada proteksi atas efek yang ditimbulkan
dari keterkaitan antara LK dan sektor riil.
Bertumpunya
beban LK pada perbankan dikondisikan pula oleh tingkat pengetahuan masyarakat
yang masih rendah. Awam masih menganggap LK identik dengan bank. Akibatnya,
masyarakat nyaman menjadi investor pasif dalam bentuk simpanan atau deposito
di bank alih-alih menanamkan dananya di berbagai instrumen finansial lain.
Minimnya pengetahuan membuat masyarakat mudah terperangkap pada penipuan
berkedok investasi yang menjanjikan imbal hasil tinggi. Karena itu, literasi
keuangan agar masyarakat 'melek' finansial menjadi tantangan tersendiri bagi
OJK. Dengan membangun kesadaran atas setiap risiko finansial, masyarakat bisa
berubah menjadi penabung aktif. Di dalam lingkup domestik, persaingan
antar-LK juga tidak kalah sengit. Perbankan harus bersaing dengan pasar
modal, industri keuangan nonbank, dan bahkan dengan LK pengusung financial
technology. Akibatnya, LK bermodal kecil harus bersaing dengan LK besar di
pasar yang sama alih-alih tersegmentasi.
Persaingan
yang tidak simetri (asymmetric
competition) menjadi imbas dari struktur pasar keuangan yang bersifat
oligopoli. Dari perspektif persaingan, industri yang didominasi 4 sampai 5 LK
besar diklaim tidak sehat. Di sisi lain, tesis yang berlawanan mengajukan
proposisi bahwa persaingan menjadi prasyarat agar tercapai efisiensi yang
tinggi. Nyatanya, LK (khususnya perbankan) tidak semakin efisiensi. Efisiensi
yang diukur dari BOPO (rasio beban operasional dengan pendapatan operasional)
dan kredit macet malah semakin besar. Semua ini mengindikasikan untuk kasus
LK Indonesia, efisiensi tidak bisa berjalan seiring dengan kompetisi.
Peningkatan efisensi LK dalam negeri menjadi prasyarat agar mampu menjadi
tuan di rumah sendiri. Tanpa daya saing yang berbasis efisiensi, pasar
finansial domestik akan disesaki oleh pemain asing. Era masyarakat ekonomi
ASEAN perbankan 2020 ialah ujian pertama sebelum lulus ke arena persaingan
yang lebih luas.
Akhirnya,
era persaingan boleh jadi hanya akan menjadi ajang bagi LK berskala besar.
Dalam kasus ini, Lembaga Keuangan Mikro (LKM) perlu memperoleh perhatian
serius agar inklusi keuangan tertuntaskan. Ironisnya, posisi LKM belum
menemui titik temu antara OJK dan Kementerian Koperasi. Dengan konfigurasi
problematika di atas, OJK tidak semata-mata menjadi lembaga struktural
sebagai regulator, supervisor, dan protektor, tetapi juga menjadi institusi
fungsional. Artinya, OJK harus mampu menjadi antisipator dini guna menghadapi
tantangan LK yang semakin berat, dengan berbagai peluang dan risikonya, di
masa mendatang. Selamat bekerja, Panitia Seleksi OJK. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar