"Musuh
dalam Selimut" Negara
Noor Huda Ismail ;
Pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian
|
KOMPAS, 03 Februari 2017
Kementerian
Keuangan dalam pernyataan resminya menyatakan, Triyono Utomo, diduga terkait
dengan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), telah mengajukan pengunduran
diri sebagai pegawai negeri sipil sejak Februari 2016.
Dari
data Kementerian Luar Negeri, sejak 2014 tercatat ada tiga mantan pegawai
Kementerian Keuangan yang berniat ber-"hijrah" ke Suriah: dua gagal
di perbatasan Turki dan satu orang berhasil menyeberang.
Sosok
Triyono ini menjadi menarik karena ia lulusan Master of Public Administration
di Flinders University, Australia, tahun 2009. Kenapa pengalaman belajar dan
hidup di luar negeri seolah-olah tidak berdampak positif pada pilihan
hidupnya? Atau justru ketika sekolah di luar negeri itulah radikalisasi
tersebut menemukan momentumnya?
Radikalisme
itu sebuah peristiwa yang sangat kompleks. Setiap orang yang teradikalisasi
mempunyai pola yang nyaris tidak bisa disamaratakan. Richardson (2007) dalam
bukunya, What The Terrorist Want,
menyodorkan teori bahwa radikalisme muncul ditandai dengan tiga hal. Pertama,
jika ada individu yang merasa terpinggirkan. Kedua, jika kemudian individu
ini menemukan komunitas yang mendukungnya. Terakhir, adanya ideologi yang
membenarkan tindakan radikalismenya itu.
Sayangnya,
teori peneliti Inggris ini sangatlah usang untuk membaca kasus Triyono,
kalangan terdidik di luar negeri yang kemudian kepincut pesona NIIS. Lagi
pula, bagi Triyono, bergabung ke NIIS bukanlah karena ia ingin menjadi
teroris, melainkan ia ingin hidup baru dalam khilafahIslam. Meski ia pernah
bekerja di pemerintahan, batinnya tersiksa karena melihat Indonesia tidak
berdasarkan Islam.
Profil
lama pendukung ideologi NIIS di Indonesia pada paruh 2014-2015 biasanya diisi
oleh kelompok yang terpinggirkan. Mereka itu misalnya penjual bakso dari
Malang yang tergiur dengan iming-iming gaji tetap dan dijanjikan akan
dibayarkan utang-utangnya selama di Indonesia oleh perekrut. Atau beberapa
mantan pendukung FPI Lamongan yang bekerja sebagai kuli panggul ikan yang
nekat hijrah ke Suriah dengan pengharapan hidup lebih baik. Melihat profil
mereka ini, kita harus berhati-hati mengatakan bahwa faktor ideologilah
penggerak utama mereka bergabung ke Suriah.
Namun,
kasus Triyono ini dapat dibaca sebagai fenomena "puncak gunung es"
radikalisasi di dalam tubuh pemerintahan yang harus segera diurai secara serius meski
sesungguhnya ini bukanlah fenomena baru. Masih ingat dua orang bersepupu yang
bekerja di BPPT, terkait pelaku utama ledakan Hotel JW Marriott 2009? Mantan
teknisi Garuda, yang adik dari otak kejadian yang sama? Dua desersi militer
yang menjadi anggota jaringan teror Santoso di Jawa dan Poso? Atau juga
mantan anggota polisi Jambi yang bergabung dengan NIIS? Hal ini jelas
mengkhawatirkan.
Namun,
Indonesia tak sendiri dalam menghadapi fenomena ini. Sekitar 70 aparat
keamanan di Malaysia juga telah bergabung dengan NIIS (Paremeswaran, 2015).
Munculnya
sosok Triyono ini relatif baru karena ia pernah belajar di luar negeri, tapi
tetap saja mengalami "radikalisasi". Radikalisasi di sini diartikan
sebagai "secara perlahan-lahan mencari, mengambil, dan mempraktikkan
pemahaman yang ekstrem atau berseberangan dengan pandangan arus utama" (Roy,
2002). Biasanya proses ini diikuti dengan sikap menarik diri dari kehidupan
yang mereka anggap sekuler.
Dialog tata nilai
Keputusan
Triyono keluar dari PNS dapat dibaca sebagai gejala awal radikalisasi. Namun,
kegairahan individu untuk mengamalkan ajaran agama Islam, seperti memelihara
jenggot, bercelana ngatung, rajin shalat, menolak minuman keras, berkerudung
lebar, bukanlah ciri radikalisasi.
Mengingat
peliknya masalah ini, negara harus menelisik radikalisasi Triyono, bahkan
ketika ia kuliah di luar negeri. Bagi siapa pun, tinggal di luar negeri itu
adalah fase penting dalam hidup. Di saat itulah terjadi dialog tata nilai
dalam diri. Seorang aparat negara yang sama-sama pergi belajar ke Barat bisa
jadi akan sangat berbeda hasilnya jika mereka mempunyai field of experience
(pengalaman) dan field of reference (buku yang dibaca) yang berbeda (Tversky,
A & Kahneman, D, 1981).
Sayyid
Qutb, mantan aparat negara Mesir yang
kemudian menjadi aktivis Ikhwanul Muslimin, pernah belajar di New York dan Colorado,
Amerika Serikat, dua tahun. Ia sangat kecewa dengan apa yang dia lihat,
terutama kerusakan moral masyarakatnya. Maka, ia pun menulis buku, Ma'alim fi
thoriq' (Petunjuk Jalan). Buku inilah yang sering dilalap para aktivis Islam
di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, yang menjadi bibit anti Barat,
tepatnya Amerika Serikat.
Sementara
Muhammad Abduh yang juga aparat negara (hakim) dari Mesir justru gandrung
dengan Barat ketika ia belajar di Perancis. Ia pun berkata, "I went to
the West and saw Islam, but no Muslims; I got back to the East and saw
Muslims, but not Islam." Yang dimaksud "Islam" oleh Abduh di
sini adalah "nilai-nilai Islam", seperti kebersihan, budaya antre,
dan tradisi berpikir kritis yang mudah ia temukan dari orang Barat yang
notabene mereka bukanlah Muslim.
Dari
paparan di atas, tampaknya negara akan melihat kemungkinan munculnya kelompok
elite Indonesia yang belajar di luar negeri dan memilih jalan seperti Sayyid
Qutb atau Triyono. Mereka pelajar cerdas, tetapi gerah dengan tradisi hidup
sekuler ala Barat, terutama AS yang hari-hari ini dipertontonkan oleh
kebijakan bernuansa rasis dan bebal ala Presiden Donald Trump.
Atau
barangkali mereka ini adalah potret WNI yang kaget kembali hidup di negerinya
sendiri setelah lama tinggal di negeri dongeng mereka? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar