Tarik
Ulur Larangan Cantrang
Toto Subandriyo ;
Kepala Dinas Kelautan Perikanan dan
Peternakan
Kabupaten Tegal, Jawa Tengah
|
KOMPAS, 04 Februari 2017
Sepertinya
tarik ulur tentang larangan penggunaan alat penangkapan ikan cantrang dan sejenisnya
tidak akan pernah surut. Meski Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
(Permen KP) Nomor 2 Tahun 2015 yang mengatur tentang permasalahan itu dan
peraturan penggantinya, Permen KP No 71/2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan
dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara
Republik Indonesia, berlaku sejak 1 Januari 2017, tarik ulur terus terjadi.
Seperti
diberitakan, perjalanan produk hukum di bidang perikanan tangkap itu telah
melalui jalan berliku. Sejak Permen KP No 2/2015 tentang Larangan Penggunaan
API Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan
Perikanan Negara Republik Indonesia ditandatangani Menteri Kelautan dan
Perikanan pada 8 Januari 2015, gelombang pro dan kontra atas pemberlakuan
aturan ini merebak di sejumlah daerah di wilayah pesisir Indonesia.
Menyikapi
hal itu, Ombudsman RI mengeluarkan rekomendasi agar Permen KP No 2/2015
ditunda pemberlakuannya. Masa transisi diperlukan agar para nelayan/pemilik
kapal dapat menyesuaikan alat tangkap. Rekomendasi Ombudsman tersebut
dituruti pemerintah dengan memberikan batas waktu toleransi hingga 31
Desember 2016.
Namun,
kelonggaran ini tak memuaskan para nelayan. Beberapa upaya pun ditempuh,
termasuk melakukan negosiasi dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP),
menghadap anggota DPR di Senayan, menghadap Dewan Pertimbangan Presiden,
serta menghadap Menko Kemaritiman.
Tiga alasan
Karena
tak membawa hasil, para nelayan cantrang akhirnya menempuh upaya terakhir
dengan mengajukan permohonan uji materi Permen KP No 2/2015 ke Mahkamah Agung
(MA). Upaya itu pun kandas karena MA menolak permohonan uji materi tersebut.
Ditolaknya
permohonan uji materi tersebut tidak serta-merta mengakhiri tarik ulur
pemberlakuan aturan larangan cantrang. Sebuah harian yang terbit di Semarang
beberapa hari lalu memberitakan bahwa toleransi penggunaan cantrang akan
diperpanjang hingga pertengahan 2017. Namun, daerah operasi mereka tidak
lebih dari 12 mil laut.
Selain
belum ada kepastian secara tertulis tentang perpanjangan waktu ini, sehingga
mereka belum berani melaut, pembatasan daerah operasi menurut hemat penulis
sangat berpotensi menimbulkan gesekan dengan nelayan tradisional yang
menempati fishing ground maksimal 12 mil laut. Kabar terakhir, saat ini para
nelayan di sejumlah daerah tengah melakukan konsolidasi untuk melakukan aksi
pawai (long march) menuju Jakarta.
Menurut
evaluasi penulis, kegigihan para nelayan menentang larangan penggunaan
cantrang setidaknya untuk tiga alasan. Pertama, alasan ekonomi dan finansial.
Pengadaan dan penggantian alat tangkap baru membutuhkan dana yang tidak
sedikit. Misalnya, untuk mengganti alat tangkap cantrang menjadi gillnet atau
jaring cumi-cumi butuh biaya tak kurang dari Rp 900 juta per unit. Saat ini
kebanyakan nelayan sudah terbelit utang di bank untuk pengadaan alat tangkap
ikan itu.
Kedua,
proses verifikasi kapal dengan alat tangkap baru membutuhkan waktu yang lama.
Sebagai contoh, di Jawa Tengah saat ini menurut informasi Dinas Kelautan dan
Perikanan (DKP) Provinsi Jawa Tengah, masih banyak kapal ukuran 10-30 gros
ton (GT) dan kapal ukuran di bawah 10 GT yang menggunakan cantrang.
Kebanyakan kapal-kapal tersebut tengah menjalani verifikasi.
Kewenangan
verifikasi dan ukur kapal berada di Direktorat Jenderal Perhubungan Laut.
Meski saat ini telah mulai diterapkan sistem pengurusan secara daring
(online), pada kenyataannya tidak banyak nelayan yang memahami sistem daring
sehingga mereka merasa kesulitan mengakses layanan itu.
Ketiga,
nelayan masih menyangsikan apakah setelah penggantian alat tangkap dan proses
verifikasi kapal selesai kemudian izin bisa segera keluar. Jika semua
perizinan tidak segera keluar, sumber pendapatan untuk mencukupi kebutuhan
sehari-hari akan terganggu. Dapur keluarga terancam tidak akan ngebul.
Penyederhanaan perizinan
Untuk
meringankan beban para nelayan cantrang, pemerintah melalui KKP harus lebih
banyak mengalokasikan anggaran untuk penggantian alat penangkapan ikan (API)
ramah lingkungan. Selain itu agar para nelayan juga diberi akses pada skim
kredit bank berbunga ringan serta memperbanyak pelayanan gerai permodalan
yang lebih dekat dengan lokasi tempat tinggal para nelayan.
Pemerintah
perlu melakukan penyederhanaan perizinan kapal nelayan. Selama ini para
pemilik kapal nelayan selalu mengeluh kepada para petugas dinas tentang
banyaknya surat yang harus mereka bawa saat melaut. Selain penyederhanaan
dalam hal perizinan, DKP provinsi dan Direktorat Jenderal KKP yang menangani
perizinan perlu memperbanyak gerai perizinan yang lokasinya dekat dengan
tempat tinggal nelayan.
Tidak
hanya berhenti di situ. Pemerintah harus memberikan jaminan bahwa daerah
penangkapan yang diizinkan benar-benar daerah produktif yang hasil
tangkapannya bisa diharapkan. Untuk itu, perlu pembatasan jumlah armada kapal
yang optimal untuk menghindari terjadinya over fishing.
Perlindungan
kepada nelayan juga sangat dibutuhkan, antara lain berupa perluasan akses
Bantuan Premi Asuransi bagi Nelayan, juga alokasi anggaran untuk antisipasi
musim paceklik pada saat mereka tidak bisa melaut karena faktor cuaca yang
tidak memungkinkan.
Selain
untuk membeli kebutuhan pokok, anggaran itu juga untuk kegiatan bimbingan
teknis usaha ekonomi produktif kepada nelayan serta kelompok wanita nelayan
agar punya keahlian lain sebagai sumber nafkah keluarga saat musim paceklik
tiba. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar