Status
TNI di Pusaran Institusi Sipil
Soleman B Ponto ;
Kepala BAIS TNI 2011-2013;
Kepala Pusat Kajian Perkembangan
Pelaksanaan Hukum pada SBP & Partner Law Firm
|
KOMPAS, 04 Februari 2017
Anggapan
anggota TNI "aman" atau "diamankan" dari kasus korupsi
terbantahkan dengan munculnya fakta Brigjen Teddy Hernayadi yang divonis
penjara seumur hidup oleh Pengadilan Militer Tinggi II pada akhir November
2016. Teddy juga dipecat dari dinas militer dan dituntut uang pengganti 12,4
juta dollar AS.
Kasus lain, pada Desember 2016, majelis
hakim Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta memvonis Letkol Rahmat Hermawan 6
tahun penjara dan denda Rp 1 miliar terkait kasus korupsi perpajakan tahun
2010 dan 2011. Selain itu, Letkol Rahmat juga dipecat dari dinas kemiliteran
dan diwajibkan membayar uang pengganti Rp 4,4 miliar.
Mengakhiri
tahun 2016, publik digegerkan oleh operasi tangkap tangan (OTT) yang
dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait petinggi Badan Keamanan
Laut (Bakamla). Salah seorang personel aktif TNI yang menjadi Direktur Data
dan Informasi Bakamla, Laksamana Pertama Bambang Udoyo (BU), ikut terseret.
Status BU pun kini telah jadi tersangka. Penetapan status tersebut
disampaikan oleh Komandan Pusat Polisi Militer TNI Mayjen Dodik Wijanarko.
Menurut
Dodik, proses hukum BU akan ditangani oleh Puspom TNI. Sementara tersangka
dari sipil tetap diproses oleh KPK. Amat disayangkan dan perlu mendapatkan
perhatian khusus dari semua pihak, terhadap kasus yang sama seharusnya
dilakukan dengan penanganan yang sama.
Mengapa
proses hukum BU ini seharusnya diproses oleh KPK? Mari kita perhatikan dasar
hukumnya. Pada Pasal 47 UU No 34/2004 tentang TNI dinyatakan, "(1) Prajurit hanya dapat menduduki jabatan
sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.
(2) Prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi
koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris
Militer Presiden, Intelijen Negara,Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional,
Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika
Nasional, dan Mahkamah Agung."
Merujuk
aturan di atas, institusi Bakamla bukan termasuk 10 kantor yang disebut pada
Pasal 47 Ayat 2 di atas. Hal lain yang menguatkan dan perlu dijadikan dasar
terhadap status anggota TNI adalah Pasal 55 UU yang sama. Pada Pasal 1 Butir
g dinyatakan, "Prajurit diberhentikan dengan hormat dari dinas keprajuritan karena menduduki jabatan
yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat di duduki oleh seorang
prajurit aktif."
Dari
sini jelas bahwa ada keteledoran. Ketika anggota TNI menjabat di luar
kesepuluh kantor seperti dimaksud di atas, seharusnya secara otomatis dia
harus diberhentikan dengan hormat dari prajurit aktif. Dan, secara otomatis
pula ia menjadi orang sipil dengan mengikuti aturan hukum sipil, termasuk
dalam hal kasus korupsi. Publik bukan tidak percaya pada penanganan
pengadilan militer, buktinya hakim militer telah menjatuhkan vonis yang
relatif berat kepada Brigjen Teddy Hernayadi dan Letkol Rahmat Hermawan.
Namun, yang menjadi perhatian dalam hal ini adalah konsistensi pada aturan
hukum yang berlaku.
Institusi Bakamla, walaupun sepertinya
berbau "keamanan", bukanlah jadi dasar anggota TNI tidak melepaskan
statusnya. Bakamla sebuah organisasi sipil baru yang dibentuk berdasarkan
Pasal 59 Ayat 3 UU No 32/2014 tentang Kelautan. Pada Pasal 60 dinyatakan,
Badan Keamanan Laut berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung
kepada Presiden melalui menteri yang mengoordinasikannya (baca:
"Paradoks Bakamla", Kompas, 11/2/2015).
Idealnya,
kasus ini jadi momentum untuk menginventarisasi dan membenahi personel TNI
yang tersebar di luar institusi yang disebutkan dalam UU No 34/2004. Langkah
tersebut perlu dilakukan karena dampaknya tidak hanya pada status dirinya,
tapi juga terkait anggaran, nama baik institusi, dan lainnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar