Suap
Jabatan Sungguh Mengerikan
Amzulian Rifai ;
Ketua Ombudsman RI
|
KORAN
SINDO, 03
Februari 2017
BISIK-bisik
soal adanya suap jabatan bukan hal baru. Sejak lama aromanya merebak ke
mana-mana. Konon ada uang suap guna memperoleh suatu jabatan. Tapi minim
bukti. Sungguhpun di tingkat pusat tidak totally free dari isu suap jabatan,
tapi artikel ini khusus membahas suap jabatan di pemerintah daerah saja.
Adalah
Sri Hartini, bupati Klaten yang meyakinkan publik adanya suap untuk
memperoleh jabatan di pemerintah daerah. Bupati yang cukup populer itu
tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pada Jumat, 30 Desember
2016.
Tentu
membuat geger bukan hanya bagi publik kabupaten yang dipimpinnya tetapi juga
negeri ini. Apalagi sebagian orang sudah lama “menanti” berita seperti ini.
Bukti pula bukan jaminan seorang Bupati terpilih dengan suara signifikan
pasti amanah.
Dalam
operasi tangkap tangan (OTT) terhadap bupati Klaten dan kawan-kawan, KPK
mengamankan 8 orang pada Jumat, 30 Desember 2016 sekitar pukul 10.30 WIB di
Klaten, Jawa Tengah. Penyidik mengamankan uang sekitar Rp80 juta. Petugas
juga mengamankan uang sekitar Rp2 miliar dalam pecahan rupiah dan valuta
asing sejumlah USD5.700 dan 2.035 dolar Singapura.
Dalam
penggeledahan beberapa hari setelah OTT, KPK menyita uang Rp3,2 miliar dari
penggeledahan rumah dinas Bupati Klaten Sri Hartini terkait kasus dugaan
korupsi suap untuk mutasi jabatan di pemerintahan kabupaten Klaten.
Uang
itu ditemukan di lemari. Rinciannya, uang sejumlah Rp3 miliar ditemukan di
lemari kamar dan Rp200 juta ditemukan di lemari kamar bupati.
Sri
Hartini adalah bupati Klaten periode 2016-2021 yang dilantik pada 17 Februari
2016. Ia bersama Wakil Bupati Klaten Sri Mulyani mendapatkan perolehan suara
sebanyak 321.593 suara atau 48,99%.
Politikus
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu pun meraih rekor Muri awal 2016
karena terpilih sebagai bupati wanita pertama di Indonesia melalui hasil
pemilihan kepala daerah. Suatu prestasi luar biasa dalam upaya mengangkat isu
kesetaraan gender.
Potensi Implikasi Politik
Dinasti
Mungkin
salah juga jika selama ini saya tergolong “tidak terlalu” menyoal adanya
politik dinasti dalam batasan tertentu. Batasan yang saya maksudkan misalnya
ada keluarga kepala daerah dalam hubungan langsung (anak, istri, suami,
saudara kandung) yang ikut mencalonkan diri pada periode berikutnya. Apalagi
jika pencalonan itu dilakukan pada wilayah yang berbeda dari sang petahana.
Faham
“sesat” saya ini (bagi sebagian orang) juga dengan beberapa alasan. Pertama,
bahwa ada banyak keluarga langsung kepala daerah yang sedang menjabat memang
memiliki potensi besar. Di antara mereka memang cerdas, berpengalaman, pandai
bergaul dan memang memiliki empati terhadap kampung halamannya. Singkatnya
“bakal rugi” apabila sosok ini tidak dimanfaatkan.
Alasan
kedua, apa salahnya menjadi orang yang kebetulan memiliki hubungan darah
dengan seorang kepala daerah incumbent. Seorang anak tidak dapat menolak atau
menghindar dari realita bahwa ayahnya seorang kepala daerah.
Suatu
realita pula saat ini “anak-anak orang berada” memiliki kesempatan lebih baik
memiliki jenjang pendidikan lebih tinggi, bersekolah di lembaga-lembaga
pendidikan kelas dunia. Belum lagi kelengkapan pendidikan yang tidak dimiliki
semua orang. Jika semua fasilitas ini dimanfaatkan dengan baik, jangan heran
jika kualitas SDM-nya mumpuni di atas rata-rata.
Ada
yang memandang soal politik dinasti ini lebih filosofis, bukan atas dasar
yuridis semata. Artinya, memang secara yuridis tidak ada yang salah dengan
mereka untuk maju sebagai kandidat. Tetapi apabila asas kepatutan dan moral
yang dikedepankan, bukankah tidak patut seseorang yang memiliki akses
lebih/khusus dengan petahana malah memanfaatkannya.
Faham
ini memandang, politik dinasti lebih banyak mudarat ketimbang manfaatnya.
Kasus bupati Klaten sebagai salah satu bukti buruknya akibat yang ditimbulkan
oleh politik dinasti. Jabatan bupati Klaten untuk jangka waktu lama hanya
berputar di sekitar dua keluarga saja yang tidak sehat untuk demokrasi.
Dinasti
dua keluarga yang memegang kekuasaan di Klaten sejak 2000 hingga saat ini
adalah keluarga Haryanto Wibowo dan Sunarna. Pada periode 2000–2005, Haryanto
dan Sunarna berpasangan menjadi bupati dan wakil bupati Klaten.
Kemudian
pada periode selanjutnya, yaitu 2005-2015, Haryanto lengser dan digantikan
Sunarna sebagai bupati. Sedangkan wakil Sunarna adalah Sri Hartini, yang
merupakan istri Haryanto.
Kembali
berselang ke periode berikutnya, yaitu 2016-2021, gantian Sunarna yang
lengser dan Sri Hartini menjadi bupati. Wakilnya adalah Sri Mulyani, yang
merupakan istri Sunarna.
Meniadakan Kompetisi
Memperkukuh Korupsi
Suap
jabatan memiliki berbagai implikasi cukup mengerikan bagi upaya kita
membangun Indonesia yang sejahtera dan melibatkan semua rakyat. Kesejahteraan
adalah hak rakyat yang menjadi kewajiban negara untuk menghadirkannya.
Ada
banyak sisi negatif yang diakibatkan oleh suap jabatan. Pertama suap jabatan
meniadakan kompetisi. Ada banyak orang yang mungkin tepat menduduki jabatan,
tetapi tersingkirkan karena ketiadaan koneksi. Kondisi ini terjadi saat
ketersediaan jabatan jauh lebih sedikit dibandingkan dengan kandidatnya.
Akibatnya
terjadi “kasak-kusuk” perebutan jabatan secara tidak wajar. Kepala daerah
yang korup memandang perebutan jabatan ini sebagai peluang untuk
memanfaatkannya.
Kekuasaan
yang begitu besar yang ada padanya menjadikan ia dapat berbuat semena-mena
dalam pengisian jabatan. Konon berlaku politik balas budi untuk menempatkan
orang-orang yang berjasa dan loyal saat pemilihan atau siapa saja yang
sanggup membayar untuk jabatan tersebut.
Dalam
kondisi seperti itu, tentu kompetisi ditiadakan. Penempatan orang dalam
jabatan tanpa kompetisi sangat tidak sehat bagi upaya pemberian pelayanan
publik terbaik. Jika jabatan didapat dengan cara menyuap maka sangat mungkin
ada upaya mengembalikan biaya suap melalui jabatan yang didudukinya.
Suap
jabatan makin memperkukuh posisi Indonesia sebagai salah satu negara paling
korup di dunia. Banyak yang sulit percaya ketika bupati menerapkan tarif
untuk jabatan-jabatan yang diisi atas dasar kewenangannya.
Pada
kasus suap Bupati Klaten Sri Hartini, ditemukan catatan yang memuat daftar
harga jabatan yang dilelang. Lengkap mulai dari eselon I hingga hanya staf
tata usaha (TU) puskesmas.
Daftar
rahasia yang bocor ini tentu memprihatinkan kita. Isu yang berkembang bahwa
suap jabatan berlangsung di banyak tempat di Indonesia. Komisi Aparatur Sipil
Negara memprediksi uang yang beredar dalam praktik jual-beli jabatan di pemda
mencapai Rp45 triliun per tahun.
Walaupun
tentu saja daftar yang beredar ini masih harus dibuktikan kebenarannya,
membandingkan uang yang disita dengan kondisi di lapangan maka sangat mungkin
tarif semacam ini benar-benar dilakukan. Apalagi pola suap untuk mendapatkan
jabatan ini memang menggejala di banyak daerah.
Suap
jabatan juga membuktikan bahwa korupsi memang penyakit kronis di negeri ini.
Korupsi yang sudah merasuk dalam sukma birokrasi yang sudah pasti merusak
sendi-sendi bernegara. Pelayanan publik yang diharapkan tidak akan tercapai
karena dihadapkan kepada pejabat publik bukan karena kompetensinya.
Kerugian
negara akibat suap jabatan tidak berhenti begitu saja setelah suap terjadi.
Kerugian negara tersebut berlanjut karena pejabat hasil suap tersebut
berusaha mengembalikan modal suapnya.
Mereka
akan menyunat anggaran yang menjadi kendalinya. KASN dan Kemenpan RB
memperkirakan kerugian negara mencapai Rp350 triliun sebagai efek domino dari
jual-beli jabatan tersebut.
Bagaimana ke Depan?
Kita
tidak menggeneralisasi suatu kejadian. Ada keyakinan bahwa masih ada kepala
daerah yang memiliki komitmen menjalankan amanahnya.
Kepala
daerah yang bekerja sepenuh hati, membebaskan diri dari praktek-praktek KKN.
Ironisnya, para kepala daerah golongan ini dicemari oleh kepala daerah yang
tertangkap KPK.
Kita
harus tetap memiliki harapan. Walaupun pasca tertangkapnya Bupati Klaten,
kini kita meyakini bahwa suap jabatan itu memang ada. Bupati Sri “ketiban
sial saja,” ketahuan. Padahal praktik semacam ini meluas, mungkin terjadi di
banyak daerah. Tapi mungkin lebih banyak yang selamat dari endusan aparat.
Undang-Undang
Nomor 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) mewajibkan adanya
keterbukaan dalam pengisian jabatan. Walaupun tuduhan adanya suap sampai
puluhan triliun rupiah per tahun perlu dibuktikan, bukan hanya data
dibesar-besarkan atas dasar kali-kalian dari peristiwa Klaten.
Memang
berat mengubah tradisi pengisian jabatan yang selama ini sangat longgar, ada
di antara kepala daerah “main tunjuk saja” yang terkadang atas dasar
subjektivitas. Adanya mutasi massal pasca Pilkada mengindikasikan unfairness
itu.
Ada
pula sanksi tegas terhadap siapa saja yang terlibat dalam suap jabatan.
Namanya juga suap, pemberi dan penerimanya harus dihukum. Ini bertujuan agar
ada efek jera, juga menghapuskan perilaku menyimpang yang tergolong aib besar
itu.
Jika
seleksi pengisian jabatan dilakukan secara terbuka, harus ada jaminan bahwa
seleksi itu benar-benar objektif. Jangan sampai suap itu beralih dari kepala
daerah kepada tim seleksi. Inti persoalan memang pada manusianya. Runyamnya,
faktor manusia Indonesia inilah yang menjadi trouble maker dalam banyak
kejadian.
Hiruk-pikuk
suap jabatan dan dalam waktu bersamaan kakunya mutasi jabatan menjadi
tantangan bagi DPR RI dalam merevisi Undang-Undang ASN. Diharapkan, para
legislator mendalami benar apa sumber permasalahannya. Adanya dilema atas
nama lelang terbuka yang juga memperlambat pengisian jabatan. Apa pun
keputusannya satu hal yang pasti: praktik suap jabatan sungguh mengerikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar