Rayap-Rayap
di Ruang Mahkamah
Suparto Wijoyo ;
Sekretaris Badan Pertimbangan Fakultas
Hukum,
Koordinator Magister Sains Hukum
dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana,
Universitas Airlangga
|
KORAN
SINDO, 03
Februari 2017
PUBLIK
mengetahui bahwa rayap hanyalah binatang kecil yang dalam kesendiriannya
tampak lemah, tetapi kerumunannya dapat menjadi ancaman besar konstruksi
bangunan rumah, gedung, dan perkantoran. Gerakan senyap dari koloni rayap
mampu menghancurkan struktur perabotan, bahkan balok kayu lumat diempas
penggerogotan kolosal hewan lembut yang berpenampilan kalem seolah tanpa daya
itu.
Pada
skala kelembagaan dan laku sosial, rayap-rayap itu bermetamorfosis maujud
dalam perbuatan melawan hukum serta mengabaikan moral yang mengancam
kekokohan negara. Suap, pungli, korupsi, dan tindakan lain yang acapkali
dilakukan secara sembunyi-sembunyi serta bersifat destruktif adalah
manifestasi paling kentara tentang kehadiran dunia rayap.
Hubungan
transaksional dalam penyelesaian sengketa di lembaga peradilan merupakan
ancaman yang menodai, pun menggerogoti negara hukum. Wibawa aparatur hukum
hancur tanpa martabat dan dipandang hina oleh khalayak. Inikah wajah lembaga
peradilan itu, termasuk yang berkerumun di ruang-ruang Mahkamah Konstitusi
(MK)?
Ini Peristiwa Besar
Apa
yang terekam dalam pemberitaan media sepakan ini sudah sangat menyita
perhatian pembaca. Dari warung-warung kopi pinggir jalan sampai kafe-kafe
kelas tinggi mencuat perbincangan atas peristiwa yang menggemparkan jagat
hukum Indonesia.
Di
tengah suasana indah warga bangsa merajut kebahagiaan melepas Tahun Monyet
Api 2567 dan sejenak memberi makna perayaan Imlek, Tahun Ayam Api 2568,
langit hukum diramaikan suara gemuruh penangkapan Patrialis Akbar, hakim MK,
oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sebuah
operasi tangkap tangan (OTT) yang semakin menunjukkan kelamnya dunia
peradilan Indonesia. Ini pastilah bukan kado istimewa, melainkan potret buram
MK yang membuat publik semakin apatis atas keberadaan hukum.
MK
dinilai tidak mampu menjaga marwah dan integritas hakim-hakimnya. Tertangkap
dalam OTT adalah peristiwa besar yang memperhinakan MK. Hati-hati adalah
pesan moral yang harus dipegang oleh setiap orang.
OTT
atas Patrialis Akbar dengan segala kontroversinya sejatinya mengorek kembali
kejadian serupa yang dialami Ketua MK saat itu Akil Mochtar yang disergap KPK
pada 2 Oktober 2013. Ingatan yang mustinya telah digerus waktu dan tampak
sedikit memudar itu, kini menggumpalkan kembali memori bahwa MK ternyata
belum bersih dari “rayap-rayap” yang menggerogoti dirinya.
Anehnya,
penggerogotan itu justru melibatkan simbol utama bangunan MK sendiri. Rayap
menyelinap dengan suap yang merontokkan karakter MK.
Integritas
hakim-hakim MK digugat khalayak. Sejurus itu, Ketua MK Arief Hidayat tidak
punya alternatif lain kecuali mendukung KPK untuk mengusut tuntas masalah
ini, termasuk semua staf MK tanpa harus menunggu persetujuan Presiden.
Perlu
diketahui bahwa Patrialis Akbar diangkat sebagai hakim MK pada 22 Juli 2013
berdasarkan Keppres Nomor 87/2013 melalui jalur pemerintah. Ini baginya
keberhasilan besar karena pada 2008 telah berikhtiar mengikuti seleksi calon
hakim MK melalui jalur DPR, tetapi gagal.
Memperebutkan
profesi menjadi hakim MK merupakan impian banyak orang, mengingat jabatan
hakim MK sangatlah prestisius laksana “dewa hukum”. Dewa yang mengemban
amanat penuh kehormatan dalam mengusung supremasi negara hukum (rechtsstaat).
Kehebatan MK
Simaklah
bagaimana wewenang MK diatur Pasal 24C UUD 1945: MK berwenang mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, dan
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
MK
bahkan wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran
oleh presiden dan/atau wakil presiden menurut UUD. Kewenangan ini telah dikembangkan
dalam UU Mahkamah Konstitusi dengan tanggung jawab yang besar.
Hal
itu berarti MK menjadi peradilan yang sangat otoritatif karena yang diadili
adalah norma hukum yang terkandung dalam undang-undang. Undang-undang yang
diproduksi pemerintah dan DPR RI diuji tingkat konstitusionalitasnya oleh MK.
Sementara
peradilan lain hanyalah mengadili perbuatan orang untuk dijerat peraturan
perundang-undangan. Betapa hebat dan strategisnya posisi MK. Undang-undang
yang secara institusional memiliki bobot demokrasi sangat besar melalui
limpahan kedaulatan rakyat ke tangan presiden dan DPR bisa dibatalkan MK.
Dengan
demikian, perspektif yuridis-substantif dan filosofis, hakim-hakim MK adalah
“malaikat hukum” yang berfungsi menjaga produk hukum agar sejiwa dengan UUD
1945.
Dengan
kedudukan itulah, ruang-ruang sidang MK bagaikan “istana hukum” yang
mengesankan seluruh warga negara. MK menjadi pembawa obor penerang yang
menuntun dan menjaga jalan konstitusi.
Untuk
itulah, Peraturan MK No 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik
dan Perilaku Hakim Konstitusi menyebutkan bahwa hakim konstitusi sebagai
pejabat yang melaksanakan kekuasaan kehakiman harus memiliki integritas dan
kepribadian yang tidak tercela, adil, dan negarawan dalam rangka mewujudkan cita
negara hukum dan demokrasi demi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang
bermartabat.
“The Bangalore Principles”
Kode
etik itu sudah sangat jelas pesannya. Apalagi dalam “buku putih” penyusunan
kode etik dan perilaku hakim konstitusi telah dijelaskan bahwa kode etik
dimaksud merujuk pada “The Bangalore Principles of Judicial Conduct 2002”
yang telah diterima baik oleh negara-negara yang menganut sistem “civil law”
maupun “common law” serta disesuaikan dengan sistem hukum dan peradilan
Indonesia dan etika kehidupan berbangsa sebagaimana termuat dalam Ketetapan
MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
“The
Bangalore Principles”, yang menetapkan prinsip independensi (independence),
ketakberpihakan (impartiality), integritas (integrity), kepantasan dan
kesopanan (propriety), kesetaraan (equality), kecakapan dan keseksamaan
(competence and diligence), serta nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat
Indonesia, yaitu prinsip kearifan dan kebijaksanaan (wisdom) sebagai kode
etik hakim konstitusi beserta penerapannya, digunakan sebagai rujukan dan
tolok ukur dalam menilai perilaku hakim konstitusi guna mengedepankan
kejujuran, amanah, keteladanan, kekesatriaan, sportivitas, kedisiplinan,
kerja keras, kemandirian, rasa malu, tanggung jawab, kehormatan, serta
martabat diri sebagai hakim konstitusi. Betapa mulianya isi Kode Etik Hakim
MK.
Lantas,
apa yang terjadi dengan MK pasca-OTT KPK? Rakyat menyaksikan ruang-ruang MK
terlihat meredup, kelam dalam gulita. Ruang sidang itu tengah mengalami
gerhana total yang menyorongkan kegelapan.
Pendar
cahaya ayat-ayat konstitusi terhalang
oleh gerak gerhana yang merisaukan hati pencari keadilan. Belum lagi rayap
yang menyergap dengan ganas. Akankah sinar peradilan MK berubah menjadi
labirin hukum yang samar-samar dalam mendalilkan kebenaran?
Masihkah
MK bisa dipercaya tatkala ada hakim yang terantuk di lubang yang sama? Tontonan
ini melengkapi kegelisahan rakyat sebab keterlibatan berbagai aparat penegak
hukum dalam kasus serupa sudah menjadi konsumsi harian.
Dalam
kegelapan, orang tidak dapat menatap dengan terang singgasana keadilan, juga
tidak sanggup membaca pasal-pasal hukum secara cermat. Pada titik inilah
hakim musti merenungi kembali kearifan bahwa “mata memang tidak dapat
menerawangkan tenunan benang dalam pekatnya malam, tetapi batin pastilah
mampu menyibak gelapnya gerhana karena nurani tidak pernah berdusta”. Inilah
pesan yang kuantarkan pada MK. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar