Mabuk
Pilkada
Komaruddin Hidayat ;
Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah
|
KORAN
SINDO, 03
Februari 2017
SUASANA
menjelang Pilkada DKI Jakarta tidak hanya membuat masyarakat demam, melainkan
juga mabuk. Seakan tak ada agenda lain yang lebih penting kecuali pilkada
untuk memenangkan jagonya. Sebuah kompetisi antar-AS, yaitu Agus-Sylvi,
Ahok-Saiful Djarot, dan Anies-Sandiaga.
Setidaknya
begitulah yang disajikan media massa, utamanya televisi dan media sosial
semisal Twitter dan Facebook. Semakin mendekati hari pencoblosan, suasana
batin masyarakat semakin gaduh dan heboh.
Kehebohan
ini semakin dirasakan ketika yang tampil ke panggung wacana pilkada merupakan
figur-figur nasional yang tidak sembarangan. Masing-masing berkepentingan
untuk memenangkan jagonya. Sebut saja misalnya Pak SBY, Pak Prabowo, dan Bu
Megawati.
Masyarakat
sangat paham dan tahu siapa jago mereka masing-masing. Situasi lebih
membingungkan lagi ketika tokoh-tokoh agama ikut bermain.
Yang
paling mencolok adalah FPI di bawah komando Habib Rizieq yang menuntut agar
Ahok segera diadili dan ditahan karena dituduh telah menistakan Alquran.
Masyarakat juga masih menduga-duga, ke mana suara FPI sesungguhnya akan
disalurkan.
Semula
polisi sudah membuat peraturan, siapa pun yang tengah berlaga dalam
pilkada, kalau terkena urusan hukum,
akan diproses seusai pilkada. Itu agar pertandingan berjalan damai dan
menarik ditonton. Tapi karena desakan masyarakat begitu kuat, agar situasi
mereda, Ahok diadili dengan tuduhan penistaan agama.
Konsekuensinya,
karena Ahok diproses kasusnya, ketika polisi mendapat laporan calon lain
melanggar hukum, misalnya tuduhan korupsi, proses hukum juga mesti
dijalankan. Demikianlah, di luar Ahok juga terdapat beberapa calon lain
termasuk di luar Jakarta yang potensial jadi bidikan polisi untuk diproses
karena tuduhan korupsi.
Tak
terhindarkan lagi, suasana politik jelang pilkada tambah ramai dan ruwet.
Ibarat pepatah lama, ketika gajah-gajah keluar kandang saling beradu, kebun binatang jadi heboh.
Hewan-hewan
lain lari atau sembunyi ketakutan. Atau malah ikut tepuk tangan menambah
kegaduhan. Termasuk para pengunjungnya.
Pengibaratan
ini tentu tidak tepat mengingat pilkada sejatinya bukan sebuah perseteruan.
Bukan pula sebuah peperangan karena jika dianggap perang, berbagai tipu daya
boleh dilakukan.
Pilkada
merupakan mata rantai untuk memilih pemimpin secara periodik. Secara teoretis
di situlah salah satu keunggulan sistem demokrasi. Rakyat diberi kebebasan
memilih calon pemimpinnya dengan terlebih dahulu meneliti dan mengkaji rekam
jejak serta kompetensinya.
Maka
salah satu acara yang ditampilkan adalah debat terbuka bagi para calon agar
para pemilih lebih mengenal kualitas jagonya. Bagi masyarakat yang sudah
berpendidikan, sesungguhnya tidak sulit mengenal dan menimbang para calon
yang maju karena sumber informasi terbuka dari berbagai jalur.
Tapi
memilih calon pemimpin tidak semata didasarkan pada pertimbangan rasional. Di
sana berlaku juga pengaruh perkoncoan, pertimbangan etnik, agama, dan
prestasi kerja.
Tak
ketinggalan juga bujuk rayu disertai uang. Kesemuanya bercampur dan pemilih
bebas menentukan pilihannya. Makanya masa kampanye sebagai masa jualan dan
pendekatan kepada calon pemilih menjadi sangat strategis.
Intinya,
promosi layaknya iklan kecap, masing-masing mengaku nomor satu. Uang miliaran
mesti dibelanjakan untuk biaya iklan dan menggaji para buzzer untuk melakukan
perang di medan medsos. Mereka saling mencari celah dan strategi untuk
menjatuhkan pesaingnya.
Maka
pilkada berubah menjadi medan perang. Berbagai tipu daya dilakukan. Hoax
sengaja diciptakan, lalu dilempar ke publik. Rakyat pun dibuat bingung dan
mabuk.
Tokoh-tokoh
agama ditarik-tarik dengan berbagai argumen dan dalih. Bahkan muncul ungkapan
populer, ini pilkada serasa pemilu. Siapa pun yang memenangi Pilkada DKI
berarti sudah menang satu langkah untuk memenangi pilpres. Ini semua bisa
dilihat sebagai dinamika dan proses pendewasaan berdemokrasi.
Tapi
ada pula komentar, kualitas demokrasi kita kian menurun dan membusuk karena
yang lebih mengemuka adalah sikap emosional yang diwarnai saling umpat dan
caci maki, bukannya sikap rasional yang bersahabat demi kepentingan bangsa,
tetapi demi sekelompok golongan ataupun siapa yang kuat bayar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar