Nasib
Lembaga Negara Tak Bergigi
Imam Anshori Saleh ;
Pengamat Hukum, Wakil Ketua Komisi
Yudisial 2010-2015
|
KOMPAS, 04 Februari 2017
DPR
bersuara lantang ingin membubarkan Komisi Aparatur Sipil Negara. Alasan
mereka, fungsi pengawasan komisi ini tidak jauh berbeda dengan Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kompas, 3/1/2017).
DPR,
melalui anggota Komisi II, Arif Wibowo, Rabu (18/1), juga mengkritik kinerja
Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) yang tidak proaktif mengawasi aparatur
negara. Sepanjang 2015-2016, komisi ini hanya mampu mengumpulkan masing-
masing 122 dan 153 aduan sistem merit dari pegawai. Jumlah ini dinilai tak
sebanding dengan 4,4 juta ASN di seluruh Indonesia.
Rencana
pembubaran KASN tidak hanya disuarakan oleh Arif Wibowo yang juga Wakil Ketua
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, tetapi juga tertulis dalam draf revisi
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Bab VII
bagian kedua draf itu menyatakan: tugas, wewenang, dan struktur kelembagaan
KASN dihapus sama sekali. Dengan demikian, pembinaan kebijakan soal pegawai
negeri, pembinaan profesi, dan manajemen aparatur sipil negara dikembalikan
ke Lembaga Administrasi Negara, Badan Kepegawaian Negara, dan Kementerian.
Kalau
nantinya ada kesepakatan di DPR, nasib KASN sudah di ujung tanduk. Pemerintah
akan kikuk menolak permintaan DPR untuk membubarkan lembaga negara pengawasan
yang dituangkan dalam UU. Komisi yang dibangun untuk melakukan pengawasan ini
akan terkubur. Pengawasan aparatur sipil negara kembali ke pengawasan
internal pemerintah, di bawah Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi.
Bukan
hanya KASN
KASN
sebenarnya bukan satu-satunya lembaga negara yang ingin dibubarkan karena
"dianggap" tidak fungsional. Lembaga negara pengawasan lain seperti
Komisi Yudisial (KY), Komisi Kejaksaan, dan Komisi Kepolisian Nasional
(Kompolnas) juga pernah diwacanakan akan dibubarkan karena alasan yang sama.
Lembaga-lembaga itu dinilai tidak efektif dalam melakukan pengawasan bukan
karena mereka tidak bekerja dengan baik melainkan karena kewenangannya tidak
memadai.
Sebutlah
seperti yang disuarakan Ketua KASN Sofian Effendi. Menurut Sofian Effendi,
revisi UU seharusnya justru untuk menguatkan KASN, bukan malah membubarkannya. "Kami ini
enggak ada taringnya karena hanya diberi kewenangan rekomendasi. Penindakan
diberikan kepada polisi. Seharusnya kami diberi kewenangan menindak,"
katanya.
Keluhan
Sofian Effendi tentang keterbatasan kewenangan juga pernah dikemukakan KY dan
Kompolnas. KY juga hanya diberi kewenangan memberikan rekomendasi kepada
Mahkamah Agung (MA). Penindakannya, untuk memberhentikan dan melakukan
skorsing terhadap hakim, sepenuhnya ada di tangan MA. Padahal, KY adalah
organ negara yang mandatnya langsung diberikan oleh UUD 1945, yakni Pasal 22
(3) UUD 1945.
Pada
kenyataannya banyak rekomendasi KY yang tidak ditindaklanjuti oleh MA. Misalnya,
hakim yang mengadili Antasari Azhar oleh KY telah dinyatakan melanggar etik,
lalu "dinonpalukan" selama enam bulan, ternyata sanksi itu tidak
dilaksanakan oleh MA. Demikian juga Hakim Sarpin Rizaldi yang juga dijatuhi
sanksi nonpalu oleh KY juga tidak pernah dilaksanakan oleh MA. Padahal,
mantan Ketua MA Bagir Manan terang-terangan menyatakan putusan yang dibuat
oleh Sarpin Rizaldi dalam mengadili gugatan praperadilan Komjen (Pol) Budi
Gunawan sebagai putusan nekat.
Kompolnas
lebih parah lagi. Kewenangan Kompolnas hanya diberikan oleh UU (UU No
17/2011). Kesekretariatan serta anggarannya berasal dari Kepolisian Negara RI
yang notabene adalah institusi yang menjadi obyek pengawasan komisi itu.
Dalam kenyataannya, walaupun resmi disebut sebagai lembaga nonstruktural yang
kedudukannya langsung di bawah Presiden, Kompolnas tidak boleh memanggil
polisi yang dilaporkan masyarakat melakukan pelanggaran. Kewenangan Kompolnas
juga sebatas memberikan rekomendasi kepada Polri untuk menindak anggotanya.
Waspadai sponsor
Ketidakefektifan
pengawasan lembaga negara yang dirasakan tak bergigi, seperti KASN, KY, dan
Kompolnas, sudah benar solusinya, yakni pada revisi UU. Tetapi, penekanannya
semestinya pada penguatan kewenangan melalui UU, bukan sebaliknya malah
dikebiri atau dibubarkan. Sebab, pada hakikatnya semua lembaga pengawasan itu
dilahirkan berdasarkan suatu kebutuhan. Dengan adanya pembentukan lembaga itu
diharapkan ada pengawasan eksternal yang bersinergi dengan pengawasan
internal dari institusi masing-masing agar pengawasan dapat efektif.
Perkara
kemudian lembaga yang dibentuk itu tidak dapat menjalankan kewenangannya
secara optimal mesti dicari penyebabnya. Apakah kelemahan dalam
pelaksanaannya atau karena ada kelemahan struktural pada regulasinya. Kalau
yang terjadi karena kelemahan pada UU, maka revisi UU yang diperlukan, bukan
membubarkan lembaganya. Kalau setiap mencari solusi yang dikedepankan adalah
membubarkan lembaganya, itu ibarat ada orang yang merasa gatal di kaki yang
digaruk malah kepala.
Belum
lagi kalau ada "sponsor" dalam merevisi UU yang berkaitan dengan
pengawasan. Tanpa menuding pihak mana yang mensponsori perubahan atau revisi
UU, biasanya institusi yang diawasi selalu ingin mengurangi kewenangan
pengawasnya. Sebagai contoh, MA pernah merasa risih karena ada sejumlah UU
yang memberikan kewenangan kepada KY untuk bersama MA melakukan seleksi calon
hakim. Maka, MA pun menitahkan beberapa hakim senior untuk mengajukan uji
materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi. Hasilnya, pasal-pasal di beberapa
UU itu oleh Mahkamah Konstitusi pun dihapuskan. Kewenangan KY ikut menyeleksi
calon hakim pun hilang.
Adalah
suatu hal yang lazim jika setiap institusi yang diawasi oleh institusi lain
selalu merasa risih. Setiap ada peluang untuk mengurangi ataupun
menghilangkan pengawasan selalu akan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
Dengan berbagai cara, mereka memanfaatkan momentum itu.
Dengan
demikian, perlu diwaspadai upaya DPR atau pemerintah yang ingin mengubah atau
merevisi UU. Terkadang dengan dalih untuk memperkuat pengawasan, hasilnya
bisa jadi malah sebaliknya. Yang terjadi adalah pelemahan atau pengebirian,
bukan penguatan. Bahkan, seperti yang tengah dilakukan oleh DPR terhadap UU
No 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara, yang terjadi bukan saja pengebirian,
melainkan malah pembubaran terhadap KASN. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar