Menjaga
Marwah Ulama
Biyanto ;
Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya;
Wakil Sekretaris Pimpinan Wilayah
Muhammadiyah Jatim
|
JAWA
POS, 04
Februari 2017
Sidang
kasus penistaan agama dengan terdakwa calon gubernur DKI Jakarta Basuki
Tjahaja Purnama alias Ahok benar-benar menguras energi. Bukan hanya aparat
penegak hukum yang harus menggelar tahap demi tahap rangkaian persidangan.
Aparat keamanan juga harus memastikan sidang berlangsung aman terkendali.
Sebab, setiap sidang kasus penistaan agama selalu memicu aksi massa, baik
yang pro maupun kontra Ahok.
Insiden
terbaru, kelanjutan sidang kasus Ahok pada Selasa (31/1) telah mengakibatkan
amarah sebagian publik. Pemicunya adalah perlakuan yang tidak sepantasnya
Ahok dan kuasa hukumnya, khususnya Humphrey Djemat, terhadap KH Ma’ruf Amin.
Saat dihadirkan sebagai saksi, ketua umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan
rais am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) itu mengalami cercaan dan
ancaman. Dampaknya, jutaan umat Islam, terutama warga nahdliyin, marah karena
merasa sang kiai sepuh panutannya telah dilecehkan.
Kondisi
negara pun genting seperti mau berperang. Apalagi, secara bersamaan ada
insiden yang tidak kalah menarik. Yakni dugaan penyadapan ilegal pembicaraan
melalui telepon antara mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Kiai
Ma’ruf. Menyadari keadaan yang semakin panas, sejumlah pejabat tinggi negara,
petinggi kepolisian, elite politik, dan tokoh organisasi masyarakat (ormas)
sowan ke Kiai Ma’ruf. Gerak cepat elite negeri bertujuan meredakan suasana.
Sekali lagi, publik melihat betapa besar efek kasus Ahok.
Negeri
ini patut bersyukur memiliki banyak kiai yang berbesar hati. Menyikapi dampak
cercaan dan ancaman Ahok, Kiai Ma’ruf berinisiatif menenangkan umat. Sejumlah
elite nahdliyin juga meminta warga NU tenang. Situasi pun berangsur kondusif
dan terkendali. Apalagi, Ahok segera membuat klarifikasi sekaligus permintaan
maaf kepada Kiai Ma’ruf. Kiai pun dengan legawa memaafkan Ahok. Rangkaian
kejadian itu menunjukkan kebesaran jiwa Kiai Ma’ruf.
Insiden
cercaan dan ancaman kepada Kiai Ma’ruf harus menjadi pelajaran bagi semua.
Sudah seharusnya elemen bangsa menjaga kehormatan (marwah) ulama. Pasalnya,
ulama merupakan figur yang terhormat di masyarakat. Perjalanan bangsa ini
juga tidak bisa dilepaskan dari peran ulama. Sejak negeri ini terjajah hingga
merdeka, peran ulama begitu besar. Melalui ilmunya, ulama juga telah mendidik
anak-anak bangsa sehingga tercerahkan. Karena itu, bisa dimaklumi jika amarah
umat memuncak tatkala ulamanya dinistakan.
Dalam
pengertian yang populer, ulama dimaknai sebagai kelompok orang yang ahli
agama, taat beribadah, dan menjadi teladan utama di bidang akhlak. Pengertian
itu merujuk firman Allah SWT dalam Alquran (QS 26: 197 dan QS 35: 28). Hadis
Nabi Muhammad SAW juga memosisikan ulama sangat tinggi. Ulama merupakan
pewaris para nabi. Dalam makna yang lebih luas, ulama sejatinya juga mencakup
kaum cendekiawan (ulul albab). Dengan demikian, ulama bukan hanya kelompok
ahli agama, tapi juga ahli pengetahuan pada umumnya.
Harus
diakui, dalam konteks perpolitikan nasional, posisi ulama atau kiai sering
kali terbelah. Sebagian ulama terlibat jauh dalam arena politik praktis.
Mereka menjadi ulama partisan. Mereka terlibat aktif dukung-mendukung calon
dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) dan pemilihan umum presiden
(pilpres).
Pada
konteks pemilu, sejumlah kiai ditampilkan sebagai pendulang suara (vote getter). Bahkan, ada kiai yang
turun gelanggang dengan mencalonkan diri sebagai calon dalam pilkada. Era
demokrasi langsung memang memberikan peluang besar bagi tokoh-tokoh lokal
yang memiliki basis massa kuat untuk aktif di dunia politik. Termasuk para
kiai yang memiliki dukungan riil di akar rumput.
Tetapi,
penting dicatat, keterlibatan ulama dalam politik praktis bisa membelah umat.
Polarisasi umat akan semakin terasa jika tiap-tiap ulama memobilisasi
dukungan umat. Untuk itulah, Julien Benda melalui karya monumentalnya, The Betrayal of the Intellectuals
(Pengkhianatan Kaum Intelektual, 1980), berpesan agar kaum cendekiawan
berhati-hati saat bersinggungan dengan politik dan kekuasaan.
Benda
juga mengingatkan kaum cendekiawan agar tidak hanya mengandalkan ilmu, tapi
juga integritasnya saat aktif di dunia politik. Dengan kata lain, yang tidak
boleh hilang dari ulama adalah keteladanan. Ulama harus benar-benar
memosisikan diri sebagai penjaga akhlak umat. Ulama juga harus tetap
memainkan tugas utamanya, yakni al-amar
bi al-ma’ruf wa al-nahy ’an al-munkar (memerintah yang baik dan mencegah
yang mungkar).
Tetapi,
harus diingat, tugas beramar makruf nahi mungkar harus dilakukan dalam
bingkai akhlak mulia. Tegasnya, berdakwah mesti dilakukan tanpa kekerasan.
Apa pun alasannya, tidak dibenarkan dakwah mencegah kekerasan dilakukan
dengan kekerasan serupa. Yang termasuk dalam konteks dakwah amar makruf nahi
mungkar adalah mengawal proses hukum kasus penistaan agama dengan cara-cara
yang beradab.
Pada
konteks itulah ulama harus menjaga marwahnya dengan mengajak umat
memercayakan penanganan kasus penistaan agama pada proses hukum yang berkeadilan.
Langkah itu merupakan cara terhormat untuk menyelesaikan semua persoalan
hukum. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar