Pepesan
Kosong Kaderisasi Parpol
Aminuddin ;
Peneliti pada Literasi Politik dan
Edukasi untuk Demokrasi (LPED); Alumnus UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
|
KOMPAS, 01 Februari 2017
Pepesan
kosong bernama kaderisasi partai politik berpotensi menguat dalam beberapa
tahun ke depan. Partai politik, yang memiliki fungsi mencetak kader
berkualitas, lesu darah akibat sikap pragmatis partai politik.
Hingga
kini belum ada parpol yang secara mandiri berdiri dengan kaki sendiri dalam
mengultuskan kader untuk ditawarkan kepada publik. Setidaknya, hal ini dapat
dilihat dari kemunculan calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah 15
Februari 2017. Di samping itu, memungut tokoh non-parpol menjadi rutinitas
sekaligus jalan instan.
Salah
satu contoh paling mutakhir adalah Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI
Jakarta. Dari enam calon gubernur dan wakil gubernur, lima di antaranya bukan
kader parpol. Hanya satu calon yang murni dari parpol, yakni Djarot Saiful
Hidayat. Ia merupakan kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Itu pun
sebagai calon wakil gubernur. Sementara sisanya memungut dari kalangan
militer, akademisi, birokrat, dan pengusaha.
Setali
tiga uang, parpol pun berperilaku demikian. Indikasi kegagalan kaderisasi
parpol terjadi dalam pemilihan ketua umum. Contoh paling mutakhir di internal
Partai Hanura. Pasca mundurnya Wiranto di kursi ketua umum, Partai Hanura
mengambil jalan instan dengan memilih tokoh dari Dewan Perwakilan Daerah
(DPD), Oesman Sapta Odang. Ia dipilih secara aklamasi oleh Hanura.
Belakangan,
banyak juga anggota DPD yang kepincut menyusul Sapta Odang. Bahkan, tidak
sedikit yang ditempatkan sebagai salah satu orang penting di petinggi Partai
Hanura (Kompas, 23/1/2017).
Fenomena
ini jelas menjadi alarm bagi eksistensi parpol. Apalagi, tahun 2019 akan
menghadapi pemilihan umum. Jika terus dibiarkan, ini menjadi bencana bagi
parpol itu sendiri. Bagaimanapun keberadaan kader parpol menjadi salah satu
roh serta tolok ukur hidup-matinya parpol. Apabila parpol lebih memilih tokoh
non-parpol, pragmatisme parpol semakin vulgar.
Problem krusial
Dalam
kaitan dengan itu, ada problem krusial mengapa parpol sulit melakukan
kaderisasi.
Pertama,
kader parpol dianggap belum mampu menghidupi parpol itu sendiri. Mereka
dianggap tidak memiliki finansial tinggi untuk menyokong keuangan parpol.
Kader parpol dianggap sebagai pelengkap eksistensi parpol sehingga tidak
menjadi persoalan bagi parpol menerima orang non-parpol asalkan mereka
menawarkan logistik untuk menghidupkan mesin parpol.
Dalam
pandangan parpol, mengharapkan logistik dari kader parpol sangat rumit dan
melelahkan. Keberadaan kader parpol tidak dapat diharapkan dalam jangka
pendek. Dalam posisi inilah, tokoh non-parpol yang kuat secara finansial
menjadi solusi instan. Dengan merekrut tokoh non-parpol, diharapkan mampu
menyuntikkan logistik terhadap parpol.
Kedua,
menerapkan kaderisasi parpol sangat memakan waktu, tenaga, pikiran, dan tentu
saja uang. Rute yang panjang dan berliku, serta mencetak kader yang bagus
juga tidak dapat diandalkan dalam waktu singkat, semisal dalam kontestasi
pilkada. Padahal, kontestasi seperti pilkada, pemilihan legislatif, dan
pemilihan presiden sangat cepat sehingga menelurkan kader melalui mekanisme
kaderisasi sangat panjang. Pada titik inilah, kaderisasi tidak menjadi
prioritas utama di tubuh parpol. Lagi-lagi, perekrutan tokoh yang populer
menjadi alternatif untuk mendulang suara (vote getter).
Sejatinya,
kaderisasi merupakan tenaga inti dalam menggerakkan mesin parpol. Kader
parpol merupakan individu yang secara kolektif telah teruji dalam hal
kapasitas, kapabilitas, integritas, serta loyalitasnya terhadap parpol.
Kaderisasi menggaransi seluruh kebutuhan parpol dalam mengarungi beragam
musim politik. Kaderisasi menawarkan gagasan cemerlang, semangat ideologi,
kepemimpinan yang demokratis, serta arah pembangunan yang jelas. Namun, hal
itulah yang kurang diperhatikan parpol karena kalah oleh kepentingan jangka
pendek. Padahal, jika ini diperhatikan akan menjadi saldo politik untuk
jangka panjang.
Ketiga,
kebergantungan parpol terhadap politisi lawas. Sudah bukan hal yang usang di
tubuh parpol bahwa politisi lawas masih dianggap sebagai roh parpol. Bahkan,
mitos ketokohan politisi lawas lebih tinggi daripada parpol itu sendiri.
Lebih lanjut, eksistensi politisi lawas bak pemegang saham di tubuh parpol.
Bak sebuah perusahaan, pemegang saham di tubuh parpol memiliki otoritas
tertinggi. Kemauan dan kehendak sang pemilik saham parpol harus dilaksanakan.
Kader-kader
parpol ibarat karyawan yang harus patuh terhadap pemilik saham. Sementara
anggaran dasar-anggaran rumah tangga (AD-ART) diterobos. Inilah yang kemudian
merusak sistem kaderisasi parpol. Ritme kaderisasi menjadi pincang akibat
monopoli kekuasaan pemilih saham tunggal.
Keempat,
belum adanya regulasi yang mengharuskan calon kepala daerah dan atau calon
anggota legislatif minimal dua sampai lima tahun aktif di parpol. Kesadaran
atas regulasi inilah yang tidak bisa dielaborasi oleh elite parpol.
Lagi-lagi, regulasi semacam itu dianggap merugikan dan mengganggu ambisi
parpol dalam proses kontestasi politik. Regulasi itu juga akan mengekang
pemodal dan figur populer untuk masuk secara instan ke parpol.
Karena
itu, paceklik kaderisasi parpol akan tetap langgeng jika poin-poin di atas
tersebut terus tidak diacuhkan. Parpol berpotensi menjadi organisasi yang
penuh sesak dengan politisi uzur, pemodal, dan figur populer. Sementara
fungsi parpol mencetak calon pemimpin berkebatinan negarawan dan kebangsaan
menjadi utang politik yang tidak berkesudahan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar