'Efek
Trump' di Timur Tengah
Muhammad Ja’far ;
Ketua Pusat Studi Hubungan
Indonesia-Timur Tengah
|
TEMPO.CO, 30 Januari 2017
Salah
satu tugas berat yang menanti Presiden Amerika Serikat Donald Trump adalah
meracik kebijakan politik luar negeri AS di Timur Tengah. Tampaknya, Trump
akan banyak mengubah arah kebijakan yang telah dirintis presiden sebelumnya,
Barack Obama. Indikasinya terlihat dari tiga hal: janji kampanye Trump,
pernyataan politiknya, dan figur calon menteri luar negeri pilihannya, Rex Tillerson. Perubahan apa
yang akan dan bisa dilakukan Trump di Timur Tengah?
Pertimbangan
utama Trump dalam menentukan arah kebijakannya di sana mungkin adalah
pragmatisme ekonomi-politik. Ini pengaruh latar belakangnya sebagai pengusaha
dan paradigma politiknya yang ultrakonservatif (Republik). Trump akan banyak
mengukur sekaligus "membarter" orientasi politik dengan kepentingan
penguatan sosio-ekonomi AS.
Di
Timur Tengah, Trump nanti akan banyak berhadapan dengan Presiden Rusia
Vladimir Putin. Dalam beberapa tahun terakhir, Rusia menjadi entitas politik
baru dengan kekuatan dan pengaruh yang meningkat drastis di kawasan tersebut,
terutama setelah kiprah politiknya di Suriah. Sejauh ini, Trump menunjukkan
indikasi "berjodoh" dengan Putin. Calon menteri luar negeri,
Tillerson, bersahabat dengan Putin. Meski indikasi ini tidak bisa
"dipegang" karena bisa saja berbelok arah, Trump sepertinya tidak
ingin energi ekonomi-politik AS habis untuk meladeni rivalitas dengan Rusia
plus aliansinya di Timur Tengah. Apalagi anggota aliansi AS di kawasan
tersebut, negara Teluk dan Eropa, telah mengalami kemerosotan ekonomi dan
politik yang serius dalam beberapa tahun terakhir ini, terutama setelah Turki
pindah haluan ke Rusia.
Bagi
presiden berlatar pebisnis seperti Trump, jika tidak berkonfrontasi dengan
Putin lebih menguntungkan bagi perekonomian AS, ini pilihan yang realistis.
Ikatan kerja sama juga tidak tertutup kemungkinan dirajut. Di sini, Tillerson
akan menjalankan perannya merumuskan arah baru hubungan politik-pragmatis
AS-Rusia di Timur Tengah. Ini termasuk bersinergi dalam mengatasi masalah
teror kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) secara tuntas ke
akar-akarnya. Trump tentu tak ingin ISIS mengacaukan target-target
ekonominya.
Selain
hubungan bilateralnya dengan Rusia, dua hal lain yang menjadi sentra
kebijakan politik Trump di Timur Tengah adalah relasi politiknya dengan
Israel dan Iran. Sejauh ini, Trump menunjukkan dukungan penuh kepada Israel.
Namun, jika berlebihan, ini bisa memicu sentimen politik negatif global
terhadap Washington, yang ujung-ujungnya berdampak negatif terhadap
perekonomian negara itu-sesuatu yang jelas tidak diinginkan Trump. Besar
kemungkinan Trump akan merintis peta jalan menuju solusi dua negara. Ini
solusi yang paling realistis bagi penganut pragmatisme politik seperti Trump.
Tinggal bagaimana ia meyakinkan Tel Aviv untuk menerima tawaran ini. Di sisi
lain, Trump bisa meminta Rusia dan aliansinya menjadi mediator dengan pihak
Palestina.
Bagaimana
dengan masa depan hubungan Washington-Teheran? Sejauh ini, Trump memang
menunjukkan sikap keras terhadap Iran.
Ia sempat menggertak untuk mendelegitimasi kesepakatan nuklir Iran yang telah
dicapai Obama tahun lalu. Tapi, berdasarkan kalkulasi pragmatisme politik,
pembatalan perjanjian nuklir akan sangat kontraproduktif dengan visi ekonomi
Trump. Pintu prospek kerja sama ekonomi-bisnis tiga kawasan, AS-Eropa-Timur
Tengah, akan tertutup kembali. Belum lagi dampak politiknya: Rusia, mitra
strategis Iran, tentu akan bereaksi jika aliansinya ini ditekan secara
politik. Mempertimbangkan faktor-faktor ini, tampaknya Trump tidak akan
mengotak-atik perjanjian nuklir Iran. Hubungan kedua negara bisa maju, tapi
pada level sangat minimal dan bersifat tidak langsung (efek dari kedekatan
Rusia-Iran).
Satu
pekerjaan rumah terakhir Trump di Timur Tengah adalah masa depan hubungan
AS-Arab Saudi. Melihat kondisi ekonomi dan pengaruh politik Saudi yang
menurun drastis di kawasan Timur Tengah, tampaknya Trump akan melihat prospek
kerja sama kedua negara tidak secerah era-era sebelumnya. Pertimbangan
lainnya, ambisi politik kawasan Saudi selama ini telah membebani AS melalui
serangkaian perang di Suriah dan Yaman, yang kemudian menimbulkan "ISIS
Effect". Dari Suriah dan Irak, kini mereka sedang bergerak menuju Eropa
dan AS. Tiga hal ini tampaknya akan membuat Trump memutuskan untuk sedikit
merenggangkan kemesraan hubungan politik-ekonomi negaranya dengan Saudi. Ini
pilihan realistis bagi Trump, di samping juga paralel dengan peralihan fokus
Trump ke kawasan Asia-Pasifik.
Pergantian
Presiden AS selalu menjadi faktor perubahan cuaca politik di Timur Tengah,
bagaimana formulasi kebijakan yang ditempuh presiden baru menentukan
perubahan kontur wajah politik kawasan tersebut. Dalam empat tahun ke depan,
kebijakan Trump akan memoles wajah politik Timur Tengah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar