Menimbang
Sistem Campuran
Indra Pahlevi ;
Kepala Pusat Penelitian, Badan
Keahlian DPR RI;
Pemerhati Pemilu
|
KOMPAS, 01 Februari 2017
Fase
pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum di
DPR telah memasuki tahapan pembahasan daftar inventarisasi masalah. Hal itu
terjadi setelah pada Kamis (19/1), Rapat Pansus RUU Pemilu menyelesaikan
agenda penyerahan daftar inventarisasi masalah fraksi-fraksi kepada
pemerintah untuk selanjutnya secara intensif mulai dibahas 9 Februari 2017.
Dari
rapat tersebut semakin jelas peta perbedaan antarfraksi atas berbagai isu
krusial atas minimal lima isu, yakni sistem pemilu legislatif, ambang batas
parlemen, ambang batas pencalonan presiden, alokasi kursi tiap daerah
pemilihan, dan metode konversi suara ke kursi (Kompas, 20/1). Melihat kondisi
demikian, tentu menjadi pertaruhan atas komitmen DPR dan pemerintah untuk
menyelesaikan RUU Pemilu tepat waktu yang direncanakan akhir April 2017.
Atas
berbagai isu krusial ini, isu sistem pemilu legislatif menjadi ”kunci” atas
lancar tidaknya pembahasan RUU Pemilu. Sebab, jika sistem pemilu berubah, hal
itu akan berdampak kepada isu lain, terutama isu alokasi kursi tiap daerah
pemilihan dan isu metode konversi suara menjadi kursi, serta mungkin isu
tentang pencalonan anggota legislatif oleh partai politik.
Tiga pilihan
Dari
sikap fraksi yang ada di DPR, terdapat tiga pilihan yang mengemuka, selain
usulan pemerintah yang menyebut dengan istilah ”sistem proporsional terbuka
terbatas”. Fraksi PDI Perjuangan dan Fraksi Partai Golkar mengusulkan sistem
proporsional (tertutup); Fraksi PPP, Fraksi Gerindra, Fraksi PKB, Fraksi PAN,
Fraksi Nasdem, Fraksi Hanura, dan Fraksi PKS mengusulkan sistem proporsional
terbuka (seperti Pemilu 2014 berdasarkan urutan suara terbanyak).
Sementara
Fraksi Partai Demokrat mengusulkan sistem campuran meski dalam penjelasannya
mengatakan agar pembahasan bisa cepat dengan tidak mengubah hal yang
fundamental, terutama sistem pemilunya, yang berarti menghendaki sistem pemilu
tidak berubah (sistem proporsional terbuka) (Kompas, 20/1).
Dengan
peta tersebut, sesungguhnya pilihan atas sistem pemilu hanya terbatas kepada
apakah menggunakan sistem proporsional terbuka (seperti Pemilu 2014
berdasarkan urutan suara terbanyak) atau menggunakan sistem proporsional
tertutup. Dengan demikian, penggunaan sistem pemilu di Indonesia masih tetap
berbasis sistem proporsional (proportional
representation), meskipun pada dasarnya dalam dua pemilu terakhir (2009
dan 2014) sudah mencoba mencampurnya dengan sistem mayoritarian, yakni
keterpilihan calon didasarkan pada urutan suara terbanyak di suatu daerah
pemilihan.
Atas
hal itu, kelihatannya fraksi-fraksi masih nyaman dengan penggunaan sistem
proporsional meskipun dengan varian tertentu. Memang tidak ada sistem pemilu
terbaik, yang ada adalah sistem yang kompatibel dengan kondisi dan kebutuhan
suatu negara. Dalam perspektif Ramlan Surbakti (2014), setidaknya terdapat
dua fungsi sistem pemilu.
Pertama,
sebagai prosedur dan mekanisme konversi suara pemilih (votes) menjadi kursi
(seats) anggota legislatif. Praktiknya adalah melalui penyelenggaraan seluruh
tahapan pemilu.
Kedua,
sebagai instrumen untuk membangun sistem politik demokrasi, yaitu melalui
konsekuensi setiap unsur sistem pemilu terhadap berbagai aspek sistem politik
demokrasi. Dengan demikian, pilihan atas satu sistem pemilu harus diarahkan
untuk terselenggaranya kedua fungsi tersebut. Jika kita menilik sejarah
pemilu di Indonesia yang selalu menggunakan sistem berbasis proportional
representation, maka perlu direkayasa ulang sistem pemilu apa yang sesuai
digunakan di Indonesia. Salah satunya dengan menggunakan sistem pemilu
campuran. Apalagi, penggunaan sistem proporsional terbuka berdasarkan urutan
suara terbanyak sejatinya menurut saya adalah menggabungkan sistem
proporsional dengan sistem mayoritarian.
Secara
konseptual, selain sistem pemilu proporsional dan sistem mayoritarian, juga
terdapat sistem pemilu campuran yang basis utamaya adalah sistem proporsional
digabung dengan sistem mayoritarian. Sistem ini yang merupakan varian dari
sistem proporsional disebut sebagai mixed member proportional (MMP) seperti
yang berlaku di Jerman, Selandia Baru, Bolivia, Italia, Venezuela, dan
Hongaria (Andrew Reynold, 2001).
Varian
ini mencoba menggabungkan ciri-ciri positif dari sistem pluralitas-mayoritas
maupun sistem proporsional. Sebagian anggota parlemen dipilih melalui sistem
mayoritarian (terutama varian first past the post atau sistem distrik
berwakil tunggal), sebagian lagi dipilih berdasarkan sistem proporsional di
mana keterpilihan calon ditentukan berdasarkan nomor urut yang disusun partai
politik.
Selain
MMP, terdapat juga sistem campuran yang disebut sistem paralel atau dikenal
dengan sistem mixed member majoritarian (MMM) sebagaimana digagas Pusat
Penelitian Politik LIPI. Prinsipnya hampir sama bahwa sistem proporsional
tertutup digunakan bersama-sama dengan sistem mayoritarian. Usulan konkret
LIPI kepada pansus menyebutkan bahwa sebanyak 392 kursi atau 70 persen dari
560 kursi DPR dipilih melalui sistem proporsional tertutup yang memberikan
kewenangan kepada partai menentukan kader terbaiknya untuk menjadi calon
terpilih.
Adapun
alokasi kursi setiap daerah pemilihan ditentukan 3-6 kursi. Selanjutnya 168
kursi atau 30 persen dari 560 kursi DPR dipilih melalui sistem mayoritarian
dengan daerah pemilihan (distrik) berwakil tunggal. Meski demikian, LIPI
menyadari bahwa sistem ini perlu simulasi dan sosialisasi yang baik agar
dapat memenuhi kebutuhan dan kepentingan semua pihak yang berkepentingan.
Menilik
dari gambaran sistem campuran di atas, terlihat bahwa sistem tersebut dapat
menjadi pilihan bagi Indonesia dengan mengingat sejarah, kondisi geopolitik,
kondisi geografis, serta keberagaman yang ada. Selama ini basis sistem pemilu
kita sudah menganut sistem proporsional. Dalam perkembangannya terutama sejak
Pemilu 2009, kita sudah menerapkan sistem pemilu proporsional terbuka
berdasarkan urutan suara terbanyak.
Dengan
demikian, sistem pemilu Indonesia sesungguhnya berada antara sistem
proporsional dan sistem mayoritarian. Kombinasi ini bukan tanpa alasan. Salah
satu kritik utama sistem proporsional tertutup adalah rendahnya derajat
keterwakilan (degree of
representativeness) calon terpilih karena sepenuhnya ditentukan partai
politik. Sementara sistem proporsional terbuka berdasarkan urutan suara
terbanyak dinilai mampu menjembatani kesenjangan (gap) tersebut dan calon
terpilih akan lebih memiliki kedekatan dengan konstituennya.
Memang
masalah muncul kemudian terutama terkait tingginya praktik politik uang dan
hanya calon populer serta memiliki modal besar saja yang akan terpilih.
Kesemuanya memang akan sangat bergantung pada proses kaderisasi dan
perekrutan yang dilakukan partai politik, termasuk bagaimana melakukan
pendidikan dan sosialisasi politik kepada masyarakat tentang politik yang
adiluhung.
Apa
pun pilihannya, tentu masyarakat berharap wakil rakyat yang terpilih adalah
wakil rakyat yang aspiratif dan lebih mementingkan rakyat Indonesia yang
heterogen ini (kepentingan nasional). Sistem pemilu hanyalah alat (tools) untuk mencapai tujuan yang
lebih besar, yakni terwujudnya lembaga perwakilan yang kredibel demi menuju
Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar