Pembatasan
Migrasi ke AS
Dinna Wisnu ;
Pengamat Hubungan Internasional;
Co-founder Paramadina Graduate
School of Diplomacy
|
KORAN
SINDO, 01
Februari 2017
Hari
Sabtu lalu Presiden Amerika Serikat (AS) telah menandatangani executive order (EO) yang membatasi
kedatangan penduduk dari tujuh negara, yaitu Iran, Irak, Suriah, Yaman,
Somalia, Sudan, dan Libya. EO ini kemudian mengundang reaksi dari masyarakat
AS yang menganggap bahwa EO ini adalah tindakan yang diskriminatif karena
tujuh negara tersebut adalah negara yang mayoritas penduduknya beragama
Islam. Mayoritas penduduk AS menolak EO ini karena menganggap nilai-nilai
kebebasan dan liberalisme yang selama ini dominan dibajak oleh pemerintahan
Donald Trump.
Bagi
kita di Indonesia yang paling baik adalah tidak terseret arus perdebatan
antarkelompok di AS dan mengambil posisi yang tepat sesuai dengan arah
kebijakan luar negeri Indonesia sendiri. Jangan lupa bahwa Donald Trump
adalah tokoh kontroversial yang belum berhasil merekatkan kelompok-kelompok
pemilih yang bersitegang dalam Pemilu 2016.
Artinya
berita yang berkembang di media massa cenderung terkotak-kotak sesuai dengan
posisi pemilih dalam pemilu yang lalu itu. Cara terbaik bagi kita adalah
dengan mengenali duduk masalah di AS secara lebih lengkap.
Obama Mewarisi, Trump
Menguatkan
Dalam
akun media sosialnya, Presiden Trump membela diri bahwa kebijakannya bukan
larangan terhadap kaum muslim untuk masuk ke AS. Ia menuduh bahwa media
menyembunyikan fakta yang sebetulnya sudah mereka ketahui. Ia mengatakan
bahwa ”kebijakannya sama dengan apa yang dilakukan Presiden Obama pada 2011”
ketika Obama menghentikan sementara selama 6 bulan diberikannya visa kepada
pengungsi dari Irak.
Tujuh
negara yang disebut dalam EO adalah negara-negara yang sama yang telah
diidentifikasi oleh pemerintahan Obama sebagai sumber terorisme. Informasi
tersebut mengingatkan kepada kita bahwa kebijakan AS mengenai migrasi,
pendatang maupun pengungsi sangat lekat dengan kebijakan luar negeri AS yang
terkait dengan pemberantasan terorisme.
Presiden
Obama juga bukan memulai sesuatu yang total baru. AS menganggap sangat serius
serangan 11 September 2001 sebagai ancaman bagi nilai-nilai yang diyakini AS.
Kita masih ingat betapa dramatisnya Presiden George W Bush menggambarkan
serangan tersebut sebagai awal dari ”perang melawan terorisme”.
Dalam
bahasa dia: ini perang kita (AS) melawan mereka (teroris). Dan pada masa itu
pun sudah menguat stereotyping teroris sebagai kelompok warga Arab yang
muslim. Presiden Obama melembutkan tampilan ”perang” tersebut demi mencegah meluasnya
tudingan diskriminasi terhadap kelompok masyarakat beragama IslamdiAS. Itu
sebabnya ia kemudian mengizinkan dibangunnya masjid di tanah bekas runtuhnya
gedung tinggi yang diserang teroris pada 2001 di Manhattan.
Di
sisi lain, kita juga tahu pada masa itu perekonomian AS terpukul akibat
banyaknya komitmen melawan terorisme yang digagas Presiden Bush di Timur
Tengah. Untuk membedakan diri, Obama di awal-awal pemerintahannya
mengupayakan penarikan pasukan AS dari Irak dan Afghanistan. Namun kenyataannya
Obama juga tidak bisa kehilangan muka tentang penanganan terorisme.
Masalahnya
negara-negara lain pun punya kepentingan menangani terorisme sehingga medan
perang melawan terorisme justru membesar dan bukannya mengecil. Dengan
dibunuhnya Osama bin Laden dari Al-Qaeda, makin banyak pula kelompok sel
teroris yang secara militan menyerang pusat-pusat kerumunan massa di berbagai
negara, termasuk di AS.
Atas
dasar kejadian tersebut kita sebenarnya sedang menyaksikan pergulatan politik
AS atas penanganan terorisme yang masih jauh dari efektif. Lagi dan lagi AS
jatuh pada pilihan cara-cara militeristis dan diskriminatif.
Dari
segi migrasi, pada 2011 Departemen Dalam Negeri masa Obama yang awalnya
percaya diri akan kompetensi staf di dalam negeri untuk menangani terorisme
kemudian sempat selama 6 bulan merevisi kebijakan menerima pengungsi dari
Irak setelah ditemukan 2 teroris Al-Qaeda dari Irak pada 2009 yang tinggal di
Bowling Green, Kentucky. Setelah kejadian itu AS selama 6 bulan memperketat
dan menghambat proses permohonan pengungsi dari Irak tanpa pandang bulu (blanket policy).
Bahkan
sejumlah orang yang seharusnya berjasa membantu AS di Irak seperti para agen
intelijen lokal, penerjemah dan staf administrasi lainnya pun kesulitan masuk
ke AS. Artinya suatu negara yang gagal menyisir pengunjung dan pengungsi yang
baik dan buruk di bandara dan pelabuhan, maka memilih untuk melakukan
tindakan pencegahan sejak proses aplikasi visa.
Obama
pun pernah mengalami hal serupa pada 2015 menyusul program Visa Waiver
Improvement dan Terrorist Travel Prevention Act (TTPA) yang sebenarnya
membebaskan visa bagi warga dari 38 negara selama 90 hari untuk berlibur atau
urusan bisnis. Brunei dan Singapura termasuk yang mendapatkan keistimewaan
bebas visa ini. Namun karena pengetatan di Irak, peraturan bebas visa tadi
kemudian gugur ketika warga dari 38 negara itu pernah mengunjungi 7 negara
yang disebut di atas.
Jadi
misalnya ada warga Singapura yang pernah bekerja di Iran, maka ia tidak lagi
berhak bebas visa; segala latar belakang dia harus diperiksa ketat. Yang
membedakan Trump dari Obama adalah dua hal.
Pertama,
karena cara penyampaian kebijakan secara cepat, pribadi disampaikan langsung
oleh Presiden sehingga ketika staf di lapangan gagap menjalankan perintahnya,
muncullah beragam persepsi dan spekulasi yang ”memukul” citra Trump.
Kedua,
pembatasan yang disebutkan Trump kali ini pun bersifat tanpa pandang bulu; semua
orang dan warga negara dari 7 negara tersebut dilarang sama sekali masuk ke
AS.
Tidak
ada penyisiran orang per orang atau kasus per kasus. Tidak ada pula
penjelasan sampai kapan kebijakan ini akan diterapkan. Trump memperkuat
warisan Obama.
Mengembalikan Perlindungan
bagi Pengungsi
Sejauh
saya amati dalam media massa dan media sosial, kekisruhan yang terjadi
terkait dengan gelombang dukungan atau larangan terhadap muslim untuk datang
ke AS sangat kental dengan konflik politik di dalam negeri mereka sendiri.
Meski demikian akibat lain yang penting dari kebijakan tersebut adalah nasib
para pengungsi dari Timur Tengah yang saat ini masih diabaikan. Mereka terus
mengalami kekerasan dan pembunuhan akibat konflik berkepanjangan yang belum
kunjung usai.
Larangan
bagi para korban kekerasan untuk mengajukan status pengungsi ke AS akan
menambah lebih lama penderitaan mereka karena hingga kini belum ada
penyelesaian yang permanen. Larangan ini dikhawatirkan juga akan diikuti oleh
negara-negara lain sehingga semakin lama nasib warga yang tengah dilanda
konflik semakin berat.
Persepsi
bahwa para pengungsi adalah trojan horse bagi para teroris adalah pandangan
yang berbahaya karena akan menyulitkan proses pengajuan status pengungsi
untuk mendapatkan perlindungan. Masih menjadi pertanyaan bagi masyarakat di
luar AS seperti apa pelaksanaan di lapangan.
Apakah
yang dilarang adalah mereka yang lahir di sana, apakah yang tinggal di sana
atau hanya para pengungsi? Banyak tenaga kerja atau mahasiswa yang berasal dari
Iran atau Irak mengalami hambatan ketika akan masuk ke AS. Ada pula yang
mengatakan bahwa EO itu hanya berlaku bagi para pengungsi, sementara mereka
yang bekerja atau bersekolah tidak akan menjadi sasaran dari EO itu.
Tampaknya
belum ada standar operasional bagi petugas lapangan dalam menjalankan EO
tersebut. Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar dan negara demokrasi
terbesar ketiga di dunia, Indonesia punya dua pilihan respons.
Pertama,
karena AS pasti diprotes banyak pihak atas kebijakan penanganan terorismenya,
Indonesia dapat menawarkan kerja sama nonmiliter untuk perbaikan penanganan
terorisme. Kerangka kerja samanya sudah ada di kesepakatan bilateral. Hal ini
mengingat bahwa catatan Indonesia cukup positif dalam hal penanganan
terorisme.
Kedua,karena
politik luar negeri Indonesia mengisyaratkan gerak aktif dalam menciptakan
perdamaian abadi dan keadilan sosial, kita harus siap mengingatkan
negara-negara lain bila keputusan politik di dalam negerinya punya imbas
negatif bagi kondisi global.
Caranya
boleh terbuka, boleh juga tertutup. Namun intinya karena Trump bergerak cepat
demi memenuhi janji kampanyenya, ia juga harus diingatkan untuk berpikir
panjang akan guncangan sosial yang muncul menyusul pilihan kata dan kebijakan
yang diambilnya. Indonesia punya tanggung jawab untuk menyuarakan perlunya
menangani problem terorisme dengan cara-cara humanis dan bukannya dengan
diskriminasi dan menciptakan teror balasan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar