Mekanisme
Seleksi Hakim Konstitusi
Pan Mohamad Faiz ;
Peneliti di Mahkamah Konstitusi
|
KORAN
SINDO, 02
Februari 2017
Awan
kelabu kembali merundung Mahkamah Konstitusi. Salah seorang hakimkonstitusi,
Patrialis Akbar, ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK dalam dugaan tindak
pidana penyuapan. Menurut keterangan resmi KPK, penyuapan tersebut terkait
dengan pengujian Undang-Undang Nomor 41/2014 mengenai Peternakan dan
Kesehatan Hewan. Mengetahui kabar tak sedap, MK segera membebastugaskan hakim
konstitusi dimaksud. Dewan Etik Hakim Konstitusi pun langsung mengusulkan
pembentukan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) untuk mengusut
dugaan pelanggaran berat tersebut.
Di
tengah proses pembentukan MKMK, Ketua MK mengumumkan bahwa Patrialis Akbar
telah melayangkan surat pengunduran diri sebagai hakim konstitusi pada Senin
(30/1). Namun demikian, MKMK tetap akan melangsungkan pemeriksaannya.
Pasalnya, Keputusan MKMK akan menjadi dasar bagi MK dalam menentukan pengajuan
status pemberhentian seorang hakim konstitusi kepada presiden, apakah melalui
pemberhentian dengan hormat atau tidak dengan hormat (vide PMK Nomor 4 Tahun
2012 tentang Tata Cara Pemberhentian Hakim Konstitusi).
Evaluasi Mekanisme
Terhadap
peristiwa ini, banyak pihak yang mengkritisi mekanisme seleksi hakim
konstitusi. Dalam kolom opininya di KORAN SINDO (29/1), Mahfud MD, mantan
ketua MK (2008- 2013), termasuk yang tajam mengkritisinya bersama dengan
sekelompok masyarakat lainnya. Mereka menilai seleksi hakim konstitusi selama
ini banyak yang tidak memenuhi prinsip yang telah dimandatkan oleh UU MK.
Berdasarkan Pasal 19 UU MK, pencalonan hakim konstitusi memang harus memenuhi
prinsip transparan dan partisipatif.
Walaupun
tata cara seleksi, pemilihan, dan pengajuannya diatur oleh masingmasing
lembaga yang berwenang, namun Pasal 20 ayat (2) UU MK juga menegaskan bahwa
pemilihan tersebut harus dilaksanakan secara obyektif dan akuntabel. Namun
pada praktiknya, tidak ada keseragaman mekanisme di antara Presiden, DPR, dan
MA sebagai lembaga negara pengusul saat menyeleksi calon hakim konstitusi.
Dalam
beberapa kesempatan, hakim konstitusi dipilih berdasarkan mekanisme
penunjukan langsung. Terdapat juga pemilihan yang dilakukan oleh tim internal
secara tertutup. Kedua mekanisme tersebut tentunya tidak sejalan dengan
prinsip transparan dan partisipatif, sehingga objektivitas dan akuntabilitas
prosesnya menjadi dipertanyakan oleh publik. Kelemahan mekanisme seleksi
hakim konstitusi tersebut sebenarnya telah menjadi perhatian serius setelah
tertangkapnya
Hakim
Konstitusi Akil Mochtar pada Oktober 2013 silam. Para Ketua lembaga negara,
termasuk DPR dan MA, diminta masukannya oleh Presiden SBY yang kala itu
sedang menjabat. Hasilnya, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang
(Perppu) Nomor 1 Tahun 2013 dikeluarkan sebagai respons atas desakan
masyarakat. Salah satu maksudnya yaitu untuk memperbaiki mekanisme seleksi
hakim konstitusi.
Menurut
ketentuan dalam Pasal 18A-Pasal 18C Perppu tersebut, lembaga negara pengusul
mengajukan calon hakim konstitusi kepada panel ahli yang dibentuk oleh Komisi
Yudisial. Panel tersebut akan melakukan uji kelayakan dan kepatutan bagi para
calon hakim konstitusi. Tidak memakan waktu lama, Perppu ini kemudian
disetujui oleh DPR menjadi UU Nomor 4/2014. Artinya, baik presiden maupun DPR
pada dasarnya telah menyetujui pola rekrutmen hakim konstitusi yang demikian.
Akan
tetapi, MK ternyata membatalkan secara keseluruhan UU tersebut.
Pertimbangannya, seleksi calon hakim konstitusi oleh panel ahli telah
mengurangi, bahkan mengambil alih kewenangan konstitusional yang diberikan
UUD 1945 kepada presiden, DPR dan MA. Selain itu, dengan hanya satu panel
ahli dikhawatirkan akan terpilih hakim konstitusi dengan standar dan latar
belakang yang sama.
Padahal
menurut MK, keragaman latar belakang justru diperlukan di antara para hakim
konstitusi. Dengan kata lain, MK menghindari adanya unsur favoritisme dan
popularisme dalam seleksi calon hakim konstitusi (vide Putusan Nomor
1-2/PUU-XII/2014, hlm. 109-110).
Menyempurnakan Mekanisme
Mekanisme
dan proses pemilihan hakim memiliki peranan yang sangat penting dalam menjaga
independensi lembaga peradilan dan kepercayaan publik (Spigelman, 2007).
Lebih lanjut, beberapa penelitian menyimpulkan bahwa mekanisme pemilihan
turut memengaruhi imparsialitas, integritas, dan independensi para hakim
terpilih (Akkas, 2004; Constitution Committee, 2012; US Institute of Peace,
2009).
Dengan
kosongnya satu kursi hakim konstitusi saat ini maka mekanisme seleksi yang
nanti akan dipilih akan sangat menentukan. Pertanyaannya, bagaimana
menyempurnakan mekanisme seleksi hakim konstitusi tanpa harus bertentangan
dengan Putusan MK? Setidaknya ada dua alternatif yang dapat ditempuh oleh
lembaga negara pengusul dalam menyempurnakan mekanisme seleksi hakim
konstitusi.
Pertama,
pembentukan panitia seleksi atau panel ahli yang pernah dilakukan oleh
presiden dan DPR sebaiknya diteruskan menjadi inisiatif dari masing-masing
lembaga negara pengusul.
Pembentukan
panitia atau panel seperti ini akan dapat mengurangi kepentingan personal dan
subjektivitas keputusan yang dibuat oleh presiden, anggota Komisi Hukum DPR,
ataupun pimpinan MA. Selain itu, masing-masing lembaga negara pengusul harus
segera menyusun aturan dan prosedur internal yang spesifik dan tetap terkait
mekanisme seleksi hakim konstitusi. Tanpa aturan dan prosedur yang jelas,
mekanisme seleksi hakim konstitusi akan dapat selalu berganti setiap waktu
mengikuti kepentingan dan selera lembaga pengusul semata.
Kedua,
lembaga negara pengusul dapat juga bekerja sama dengan Komisi Yudisial.
Ketiga,
lembaga negara pengusul dapat meminta Komisi Yudisial sebagai panitia seleksi
yang telah berpengalaman guna menyeleksi dan menominasikan calon hakim
konstitusi yang terbaik.
Akan
tetapi, keputusan akhir untuk menentukan calon hakim konstitusi tetap berada
di tangan lembaga negara pengusul. Kerja sama formal seperti ini tidak akan
bertentangan dengan UUD 1945 ataupun Putusan MK, karena dilakukan atas
inisiatif sendiri dari lembaga negara pengusul, bukan pemberian kewenangan
atributif yang bersifat mutlak berdasarkan UU.
Kedua
alternatif mekanisme di atas seharusnya tidak menjadi hambatan bagi lembaga
negara pengusul. Sebab sebelumnya, presiden dan DPR telah menyetujui rencana
pembentukan panel ahli oleh Komisi Yudisial sebagaimana tertuang di dalam
Perppu dan UU yang disahkannya sendiri. Jika ketiga lembaga negara pengusul
konsisten dan komitmen terhadap keputusan serta usulan yang pernah dibuat
sebelumnya bersama-sama, sejatinya tak ada alasan bagi lembaga negara
pengusul saat ini untuk kemudian menolak adanya keterlibatan panitia seleksi,
panel ahli, atau Komisi Yudisial dalam menominasikan calon hakim konstitusi.
Untuk
jangka panjang, penyempurnaan ketentuan mengenai mekanisme seleksi hakim
konstitusi dapat juga dituangkan di dalam revisi UU MK yang saat ini telah
masuk dalam Prolegnas. Jika diperlukan, UU MK dapat juga memuat susunan
komposisi panitia atau panel yang akan menominasikan calon hakim konstitusi.
Misalnya,
anggotanya harus terdiri dari mantan hakim konstitusi, anggota Komisi
Yudisial, akademisi, dan tokoh masyarakat. Tentu penyempurnaan mekanisme
seleksi hakim konstitusi hanyalah salah satu dari sekian langkah yang dapat
ditempuh untuk memperkuat independensi dan integritas personal hakim
konstitusi. Oleh karena itu, sangat diperlukan kebesaran jiwa dari
masing-masing lembaga negara pengusul untuk mau mengevaluasi dan
menyempurnakan mekanisme rekrutmen yang sangat krusial ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar