Suap,
Suap, Suap
Sudjito ;
Guru Besar Ilmu Hukum, Kepala Pusat
Studi Pancasila UGM 2012-2015
|
KORAN
SINDO, 01
Februari 2017
Mamad,
takmir masjid dan teman ronda ini, geleng-geleng kepala. Sambil meneleng
menyimak berita di televisi, dia bergumam: “ ... ya jelas salah.
Penyuap
dan penerima suap masuk neraka. Kayaknya mereka orang-orang pinter, tetapi
nyatanya bodoh. Kalau kelebihan uang, berikan kepada saya, ... orang-orang
kecil, miskin, duafa ini. Saya pasti kerja lebih giat, ngepel lantai lebih
berkilau, nyapu pekarangan lebih bersih. Gak usah khawatir, KPK gak bakal
mampir, aman, masuk surga ...”
Itulah
celotehan Mamad ketika ditayangkan berita tentang kasus suap yang menimpa
mantan CEO PT Garuda Indonesia (persero) Emirsyah Satar. Dia ditetapkan
sebagai tersangka, dugaan kasus korupsi pengadaan pesawat dan mesin pesawat
dari Airbus SAS. Berdasarkan penyelidikan KPK, Emirsyah diduga menerima suap
dari tersangka SS (beneficial owner dari Connaught International Pte Ltd)
dalam bentuk uang dan barang, yaitu uang masing-masing 1,2 juta euro dan
USD180.000 atau setara Rp20 miliar. Selain itu, juga dalam bentuk barang
senilai USD2 juta yang tersebar di Singapura dan Indonesia.
Tak
berselang lama dari terkuaknya kasus suap itu, muncul kasus suap lain, tak
kalah heboh. Patrialis Akbar, hakim Mahkamah Konstitusi (MK), terjerat
operasi tangkap tangan bersama seorang wanita karena dugaan menerima suap
dari DHR, bos pemilik 20 perusahaan impor daging sapi. Suap diduga terkait
uji materi judicial review UU No 51 Tahun 2014 tentang Peternakan dan
Kesehatan Hewan di MK (25/1/17).
Gimin,
si pedagang mobil bekas, pun terusik berkomentar: “Yaahh, ... kalau sudah
bisnis, itu gak ada kata suap-menyuap. Semua akur, tahu hukum adatnya. Uang
dengar, uang lihat, uang persahabatan, itu ada. Masak gitu dianggap suap...
waaah ini gimana, orangorang atas itu kayak gak ngerti dunia bisnis saja”.
Itulah celotehan bernada emosional dari peronda lain. Suasana perondaan
meriah dan tampak lebih akrab.
Biasa,
kadang-kadang ada yang sok pinter, dan berusaha menjelaskan duduk seleh-nya.
Namun, seperti biasanya, tak secuil pun pesan moral tayangan televisi mampu
menumbuhkan sikap kritis dan lebih saleh. Cepat berganti berita, secepat itu
pula perhatian beralih. Kehidupan berjalan sebagaimana biasa. Mamad, Gimin,
dan kawankawan lain pun tetap pada profesinya, bersih-bersih masjid, dagang,
tanpa ada perubahan sikap dan karakter.
Pada
hemat saya, substansi celotehan teman-teman peronda itu cukup berkualitas,
dan pantas menjadi bahan kajian untuk peningkatan kualitas kehidupan bersama
di negeri ini. Untuk diketahui bahwa hubungan antara hukum dan bisnis sangat
erat. Berbisnis dan sekaligus “membuat hukum” yang khas dan hanya berlaku di
dunia perbisnisan sudah berlangsung sejak ratusan tahun silam di seantero
jagat. Di Amerika Serikat misalnya ada megalawyering.
Di
situ praktik hukum dan praktik bisnis berkelindan. Sosiolog hukum Marc
Galanter (1983) menulis bahwa “profesi hukum lebih mementingkan fasilitas
bisnis, yaitu dengan getting things done daripada dengan meringankan
penderitaan manusia dan menolong orang”. Itulah karena itu,
pelayanan-pelayanan hukum menjadi berkualitas penembak bayaran (hired gun service orientation). Dalam
perspektif sosiologi hukum, antara hukum dan watak masyarakat terdapat
pertalian organis.
Tali
perekat itu berupa kepercayaan. Hukum bisnis, bukan dibentuk oleh penguasa,
melainkan tumbuh, berkembang, di dunia bisnis itu sendiri, berdasarkan
pertimbangan keuntungan finansial, tanpa pernah mempertimbangkan moralitas
hukum umum. Fenomena bisnis seperti itu marak berlangsung, ketika kapitalisme
di bidang ekonomi dan liberalisme di bidang politik berkelindan, berjalan
seiring- sejalan.
Praktik
bisnis merasa nyaman bila terjauhkan dari hukum positif, campur tangan
penguasa. Pertemuan penjual dan pembeli, saling pengertian keduanya, menjadi
garansi kelancaran bisnis. Kalaupun ada kontrak- kontrak tertulis, dan rambu-
rambu hukum positif, semuanya digunakan sebatas formalitas. Pada ranah
implementasi, berlaku “hukum adat”, yakni kebiasaan-kebiasaan dalam
perbisnisan. Satu di antara kebiasaan itu adalah “suap” sebagai perekat
bisnis.
Padahal,
“suap” apa pun bentuk dan dinamikanya dilarang oleh hukum positif. Di situlah
gap antara tradisi bisnis dan praktik hukum menganga lebar. Ketika aparat
penegak hukum (KPK) tak mempan disuap, pelaku suap-menyuap dalam bisnis
terkategorikan sebagai koruptor. Moralitas hukum mengajarkan bahwa bisnis itu
harus jujur, transparan, dan akuntabel.
Kalau
kita konsisten pada moralitas hukum, kapan uang atau barang dapat diberikan
kepada pihak lain agar tak terkategorikan sebagai “suap”? Menurut si Mamad,
ketika pemberian itu untuk orangorang miskin, fakir, duafa, dalam rangka
berbagi rezeki dan upaya mengangkat martabat kemanusiaan orang lain, sehingga
kerja dan prestasinya lebih bagus. Pemberian kepada pejabat publik oleh mitra
bisnis atau siapa pun, dilarang, karena selain melanggar hukum positif, juga
melanggar moral.
Kalau
pendapat “orang kecil” tersebut diterima, secara diam-diam telah berlangsung
penerimaan dan pengamalan “legisme Pancasila”, menggantikan “legisme
liberal”. Tetapi, praktik bisnis di perusahaan penerbangan Garuda, atau
bisnis sapi di tingkat nasional, tampaknya justru mengikuti pendapat Gimin
bahwa ada “uang dengar, uang lihat, uang persahabatan”, dan itu semua
dianggap bukan “suap”.
Di
sinilah moralitas hukum ditinggalkan. Alangkah indahnya bila kecintaan pada
uang, harta benda, kekuasaan, diiringi ketaatan pada moralitas hukum. Silakan
berlomba-lomba, berkolaborasi, bersinergi, menjadi pengusaha, penguasa,
pebisnis, penegak hukum, asal moralitas hukum dipegang teguh. Wallahualam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar