Afirmasi
Pencalonan Perempuan
yang
Terbuka "Tak Terbatas"
Dirga Ardiansa ;
Dosen Politik FISIP UI
|
KOMPAS, 03 Februari 2017
"A better democracy
is a democracy where women do not only have the right to vote and to elect
but to be elected."
Michelle Bachelet
Pemilu
tidak akan pernah bisa menghasilkan representasi politik yang utuh dari
beragam identitas, kelas, dan kepentingan dari seluruh masyarakat Indonesia.
Alhasil, bisa dipastikan-sebagai miniatur populasi-560 orang yang berada di
parlemen tidak mampu mewakili dan menyuarakan keragaman identitas, kelas, dan
kepentingan masyarakat.
Kelompok
rentan dan marjinal seperti perempuan, buruh, petani, nelayan, masyarakat
adat, dan kelompok miskinlah yang paling jelas terpinggir identitas dan kepentingannya
untuk bisa hadir di parlemen. Pemilu tidak mampu mewujudkan hakikat
representasi yang utuh, salah satunya, karena memberikan pilihan-pilihan yang
terbatas atas partai politik ataupun kandidat. Pilihan terbatas ini diterima
masyarakat sebagai pilihan atas nama aturan dan mekanisme syarat
keikutsertaan pemilu.
Dalam
kerangka meminimalkan bias antara proses pemilu dan hasil pemilu yang akan
selalu menghadirkan under-representation secara identitas dan kepentingan,
maka salah satu caranya melalui affirmative action (tindakan afirmatif). Ini
untuk memberikan akses pada proses memilih ataupun pada hasil yang lebih
dekat pada kondisi yang representatif. Tindakan afirmatif diterapkan di
Indonesia sejak Pemilu 2004 melalui penerapan kuota 30 persen pencalonan
perempuan. Tindakan afirmatif perempuan merupakan cara menghadirkan
representasi dari identitas dan kepentingan yang selama ini terpinggirkan.
Identitas perempuan berlaku lintas sektoral bagi identitas lain. Sebab,
identitas perempuan hadir dalam identitas dan kelas kelompok masyarakat
sebagai buruh, petani, nelayan, masyarakat adat, serta difabel.
Indonesia
mengambil jalur untuk menyediakan pilihan yang lebih representatif melalui
kuota pencalonan perempuan di setiap partai politik dan bukan memilih
mengintervensi hasil dalam bentuk reserved seats (jaminan memperoleh kursi di
parlemen dalam jumlah atau persentase tertentu bagi perempuan melalui
regulasi pemilu). Hal ini secara sadar dilakukan oleh kelompok dan gerakan
perempuan di Indonesia untuk membuka akses perempuan pada kesetaraan dan
keadilan berpolitik. Juga menghadirkan fondasi pengalaman praksis berpolitik
bagi perempuan untuk memunculkan perempuan-perempuan yang mampu menghadirkan
kepentingannya, bukan sekadar simbol yang justru melanggengkan budaya
patriarki dan oligarki partai.
Bentuk
ketakadilan dan ketaksetaraan diciptakan secara sistematis dalam jangka waktu
lama ini adalah fakta sejarah yang menempatkan posisi perempuan tertinggal di
belakang laki-laki karena termarjinalkan dan menjadi tidak memiliki
pengalaman politik selama era Orde Baru.
Budaya politik yang terbentuk karena absennya kehadiran perempuan
menyulitkan praktik politik bagi perempuan dalam mendapat ruang yang sama
dengan laki-laki untuk menghasilkan berbagai regulasi dan kebijakan yang
memperhatikan kepentingan perempuan.
Proses
afirmatif pencalonan perempuan telah membentuk pengalaman politik yang sangat
berharga bagi perempuan. Capaian dari segi jumlah di parlemen saat ini
menempatkan 103 wakilnya dari 560 anggota legislatif (setara dengan 18
persen). Ini adalah langkah maju ketika pada 2004 menempatkan hanya 63 wakil
dari 550 orang (11 persen angka keterwakilan). Hal yang jauh lebih penting
adalah pengalaman berpolitik bagi perempuan untuk berjejaring, mengorganisasi,
menggalang dukungan, menyerap aspirasi, dan mengagregasi kepentingannya dalam
kontestasi elektoral sejak Pemilu 2004, 2009, hingga 2014.
Pukulan balik
Perjalanan
waktu telah menunjukkan capaian yang lebih dari sekadar diukur dari jumlah
kehadiran caleg perempuan di parlemen. Capaian perempuan di bidang legislasi
untuk membuka akses pada kesetaraan dan mencapai keadilan juga bisa dilihat
rekamnya pada berbagai UU yang berhasil dihasilkan. Di antaranya menyangkut
kesehatan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan perdagangan orang.
Menurut Ann Philips (1995), tindakan afirmatif akan mendorong keadilan dan
kesetaraan serta mendorong hadirnya kepentingan perempuan, juga membuat
perempuan bisa mengakses sumber daya untuk didistribusi bagi kebaikan seluruh
masyarakat.
Hal
di atas merupakan tantangan berat karena partai politik di Indonesia selalu
mempertanyakan pasal afirmatif dalam setiap pembahasan RUU Pemilu. Posisi RUU
Penyelenggaraan Pemilu yang saat ini tengah dibahas berupaya mengubah sistem
pemilu jadi tertutup (meski pemerintah menyebutnya terbuka terbatas, tidak
ada bedanya). Ini pukulan balik bagi gerakan perempuan. Sebab, melalui sistem
terbuka, gerakan perempuan terus membuka ruang pada kesetaraan dan menggapai
keadilan.
Partai
politik memiliki motif berbeda, seperti menggunakan pencalonan perempuan
sebagai strategi pemenangan semata, untuk meraih simpati pemilih ataupun
memanfaatkan popularitas perempuan sebagai target meraih suara, seperti
diungkap Chowdhury (2002). Artinya, perempuan hanya digunakan sebagai alat
untuk menambah suara partai, tetapi tidak diharapkan terpilih. Maka, dengan
sistem tertutup (terbuka terbatas) lebih sulit bagi perempuan bisa menembus
parlemen.
Sebab,
keterpilihan tidak lagi ditentukan oleh suara terbanyak, tetapi oleh nomor
urut yang ditentukan oleh elite partai politik. Perempuan sangat rentan
ditempatkan pada nomor urut besar yang tidak strategis untuk bisa terpilih
dan akan menjadi mesin pencari suara semata bagi partai yang didominasi
laki-laki. Sistem tertutup mempersulit perempuan mendapatkan akses untuk
menjadi caleg serta memperoleh keadilan dalam berkompetisi.
Selain
itu, sistem tertutup juga akan memukul mundur capaian dan pengalaman
perempuan dalam berjejaring, mengorganisasi, menggalang dukungan, menyerap
aspirasi, dan mengagregasi kepentingannya. Sistem tertutup juga mengecilkan
peluang keragaman identitas dan kelas perempuan yang bersifat lintas
sektoral-seperti aktivis perempuan, buruh perempuan, dan petani
perempuan-untuk menjadi calon anggota legislatif dan terpilih. Dengan sistem
tertutup membuka lebar pragmatisme partai politik dalam pencalonan perempuan
sebatas syarat minimum. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar