Trump
dan Dunia Islam
Zuhairi Misrawi ;
Ketua Moderate Muslim Society;
Peneliti Politik dan Pemikiran
Timur Tengah di The Middle East Institute
|
KOMPAS, 01 Februari 2017
Dalam
pidato pelantikan, Presiden Ke-45 Amerika Serikat Donald Trump secara
eksplisit berjanji akan menumpaskan kelompok Islam radikal-teroris. Sikap
tersebut mendapat perhatian luas, baik di dalam negeri AS maupun dunia
internasional, khususnya dunia Islam.
Jika
dilihat dari pidato-pidato Trump selama masa kampanye, pernyataan dalam
pelantikan tersebut ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, Trump secara
eksplisit menyebut kelompok Islam radikal-teroris. Tetapi, di sisi lain,
Trump kerap melakukan generalisasi terhadap Islam. Bahkan, ia akan menerapkan
pengawasan yang ketat terhadap imigran Muslim di AS.
Ironisnya,
sikap Trump yang cenderung keras dan diskriminatif terhadap Islam berbalik
dengan persepsi publik yang jauh lebih positif sejak tragedi World Trade
Center. Hal tersebut berkat Obama yang menggariskan kebijakan yang relatif
baik dengan dunia Islam di bawah prinsip saling menghormati dan saling
menguntungkan kedua belah pihak.
Meskipun
Trump secara eksplisit menyebut kelompok Islam radikal-teroris, pernyataan
tersebut bukan tanpa masalah. Sebab, kelompok teroris di belahan dunia,
khusus Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS) dan Al Qaeda, sangat menunggu
narasi politik AS yang seperti itu. Mereka merasa mendapatkan angin segar
untuk mengonsolidasikan gerakan dan melakukan perekrutan lebih agresif.
Pasalnya, ideologi anti Barat menjadi salah satu modal penting untuk
memperluas jaringan kelompok radikal dan teroris.
Selanjutnya
yang menjadi kemuskilan dalam pidato Trump adalah terma radikal-teroris yang
diletakkan dalam satu narasi. Sebab, pada dasarnya dua terma tersebut
mempunyai haluan yang berbeda. Kelompok radikal belum tentu menjadi teroris,
sementara kelompok teroris sudah pasti melalui fase radikalisasi paham
keagamaan. Radikalisme adalah tangga sebelum fase seseorang menjadi teroris.
Narasi
yang disampaikan Trump tampaknya ingin menyasar semua kelompok radikal dan
teroris sekaligus. Artinya, perhatian Trump bukan hanya pada
kelompok-kelompok yang sudah diidentifikasi sebagai teroris global, seperti
Al Qaeda dan NIIS, melainkan juga kelompok-kelompok yang mempunyai paham
radikal.
Menurut
William McCants (2016), sikap Trump tersebut bisa dilihat dari kekhawatiran
para penasihat politik Trump terhadap kecenderungan beberapa Muslim di AS
yang hendak mengusulkan syariat Islam dan hukum Islam sebagai hukum positif.
Kecenderungan ini sangat membahayakan bagi AS.
Sebenarnya,
menurut McCants, sikap tersebut sangat berlebihan karena kecenderungan
implementasi syariat Islam di AS tidak menguat. Orang-orang Muslim di AS
merasa nyaman dengan konstitusi yang berlaku sekarang. Bahkan, di dunia
Islam, kecenderungan tersebut tidak terlalu menguat meskipun mereka
menerapkan syariat Islam pada hukum privat, bukan pada hukum pidana.
Oleh
karena itu, Trump harus lebih hati-hati untuk memahami Islam dan dunia Islam.
Sebab, generalisasi terhadap Islam akan berdampak yang serius, yang tidak
hanya mengancam AS, tetapi juga dapat menciptakan instabilitas politik di
dunia.
Melawan terorisme
Kata
kunci yang sangat menakutkan dari pernyataan Trump adalah ingin menumpas
kelompok radikal-teroris dari muka bumi. Kata-kata tersebut menyimpan suatu
dendam, kebencian, dan bernuansa kekerasan.
Padahal,
untuk melawan kelompok radikal dan teroris harus menggunakan pendekatan yang
bersifat komprehensif. Pendekatan militeristik, jika tidak hati-hati, hanya
akan melahirkan spirit terorisme. Dulu, Jemaah Islamiyah ditumpas, lalu
muncul Al Qaeda. Kemudian Al Qaeda berhasil ditumpas dan Osama bin Laden
dibunuh. Akan tetapi, kemudian muncul NIIS, dan Abu Bakar al-Baghdadi dibaiat
sebagai khalifah bagi kelompok teroris yang paling banal itu.
Itu
artinya, menumpas kelompok teroris hampir bisa dipastikan mustahil. Yang bisa
dilakukan adalah memastikan kelompok-kelompok teroris tidak mendapatkan
sokongan dana dan persenjataan serta ada upaya deradikalisasi terhadap
ideologi mereka.
Tantangan
dunia Islam adalah masifnya ideologi radikalisme. Bukan hanya itu saja,
ideologi radikal juga tumbuh di negara-negara Barat, khususnya AS dan Eropa.
Ideologi radikalisme dapat menjadi bahan bakar yang ampuh untuk menggaet
seseorang atau kelompok menjadi teroris. Lihat para tentara NIIS yang umumnya
berasal dari kelompok radikal di Eropa.
Sikap
AS dan Eropa yang cenderung ”membiarkan” terhadap paham dan kelompok radikal
akhirnya menjadi senjata makan tuan. Mereka akhirnya melakukan aksi bom bunuh
diri di negara yang telah memberinya kebebasan dan kemakmuran.
Maka,
melawan terorisme pada dasarnya melakukan deradikalisasi yang sangat serius
dan intensif terhadap kelompok-kelompok radikal. Pengalaman Mesir, Arab Saudi,
Indonesia, dan Iran dapat menjadi contoh terbaik dalam menanganinya.
Pada
dasarnya, mereka yang menjadi radikal sesungguhnya tidak mempunyai pemahaman
yang komprehensif tentang Islam. Mereka mempunyai gairah keislaman yang kuat
dalam dirinya, tetapi gairah tersebut tidak disertai dengan pemahaman yang
mendalam dan benar tentang Islam. Akibatnya, mereka terjebak dalam ideologi
kaum radikal, yaitu ideologi purifikasi dan kekerasan.
Secara
umum, ideologi kaum radikal disuplai oleh Wahabisme dan Ikhwanul Muslimin ala
Sayyed Qutb. Kedua ideologi ini menjustifikasi kekerasan dalam menghadapi
mereka yang dianggap musuh. Mereka umumnya menggunakan diktum amar ma’ruf
nahi munkar dan hisbah.
Perluas kelompok moderat
Oleh
karena itu, menurut saya, untuk menghadapi ideologi radikal tidak bisa dengan
pendekatan militeristik. Pengalaman Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah
patut dijadikan contoh untuk menghadapi kelompok radikal agar tidak menjadi
kelompok teroris.
Pendidikan
keagamaan dan kebangsaan menjadi salah satu kunci untuk melakukan
deradikalisasi. Pengalaman Indonesia menarik. Sebab, meskipun kelompok
radikal relatif tumbuh, mereka bisa diantisipasi untuk tidak menjadi teroris.
Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang terorisme adalah haram menjadi faktor
penting untuk meredam keterlibatan kelompok Muslim untuk menjadi teroris.
Pengalaman
NU dan Muhammadiyah yang terus mendakwahkan Islam yang ramah, toleran, dan
moderat mempunyai dampak yang serius agar seseorang atau kelompok tidak mudah
bergabung dengan kelompok teroris.
Donald
Trump mestinya belajar dari Indonesia dalam menghadapi kelompok-kelompok
radikal dan teroris ini. Intinya, perluas kelompok moderat dan berikan peran
kepada kelompok moderat untuk melakukan deradikalisasi, maka kelompok radikal
dan teroris akan melemah.
Sebaliknya,
jika Trump melakukan pendekatan militer an sich, maka hal tersebut akan
menjadi bumerang bagi AS dan dunia Islam. Pendekatan tersebut akan menjadi
makanan empuk bagi kelompok radikal dan teroris untuk memperluas pengaruhnya
di dunia. Di sinilah, dunia sedang deg-degan menanti kebijakan Trump terhadap
kelompok radikal dan teroris. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar