Mengawasi
Pengawal Konstitusi
Dominikus Dalu Sogen ;
Asisten Senior Ombudsman pada
Ombudsman RI
|
MEDIA
INDONESIA, 02 Februari 2017
DALAM
menanggapi wacana perlunya mekanisme pengawasan hakim MK, Ketua MK Arief
Hidayat bergeming dan menyatakan tidak perlu. Menurutnya, pengawasan terhadap
hakim konstitusi akan menimbulkan subordinasi hakim. Pernyataan Ketua MK
dimaksud dari prespektif tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih patut
dipertanyakan mengingat pada era demokrasi modern ini tidak ada satu lembaga
negara pun di dunia yang luput dari pengawasan, baik yang dilakukan
masyarakat secara langsung maupun oleh lembaga pengawas resmi yang dibentuk
negara.
Dalam
konteks MK kiranya perlu dilihat kembali sejarah lahirnya mahkamah yang
mengawal UUD ini. Pembentukan lembaga negara pascaamendemen UUD 1945 termasuk
MK merupakan bagian dari sistem yang dibangun bahwa penyelenggaraan kekuasaan
negara perlu dibatasi. Dengan demikian, tidak ada lembaga negara tertinggi
atau terendah karena diatur sedemikian rupa agar menjalankan fungsi
masing-masing sebagaimana lazimnya negara demokrasi modern yang mengedepankan
sistem checks and balances.
UUD
memberikan amanat kepada MK untuk menjaga konstitusi, yakni memiliki empat
kewenangan dan satu kewajiban. Walaupun beberapa putusan dan penyelesaian
perkara di MK masih dipertanyakan publik karena tidak memenuhi rasa keadilan,
termasuk konsistensi antara satu putusan dan putusan lain dalam perkara yang
hampir sama, secara umum itu relatif diterima karena publik mafhum putusan MK
bersifat final dan mengikat sebagai lembaga pemutus pertama dan terakhir.
Dapat dibayangkan, dengan kekuasaan yang luar biasa besar tersebut, para
hakim MK tidak diawasi.
Akibatnya
semua kita sudah mengetahui setelah terpuruk sedemikian dalam karena perkara
korupsi yang membelenggu Ketua MK (2013). Masih segar dalam ingatan publik
pada waktu itu bahwa pimpinan MK berkomitmen dan menjadikan momentum perkara
Akil Mochtar menjadi perbaikan agar kejadian yang sama tidak terulang di kemudian
hari.
Namun,
kejadian yang sama yakni perkara korupsi melalui OTT KPK terhadap hakim MK
yakni PA terulang kembali. Dengan berulangnya kejadian yang sama, publik
berharap MK segera memperbaiki diri.
Beberapa
instrumen perbaikannya yaitu memperkuat pengawasan dan memperbaiki mekanisme
rekrutmen hakim MK agar lebih akuntabel dan dipercaya mengingat pada proses
rekrutmen sebelumnya legalitas beberapa hakim MK termasuk PA dipertanyakan
beberapa LSM yang peduli atas penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas
KKN dengan mengajukan gugatan di pengadilan TUN.
Pada
awalnya pengadilan tingkat pertama TUN mengabulkan gugatan dimaksud walaupun
pada akhirnya pengadilan TUN pada strata yang lebih tinggi dalam putusannya
berpendapat bahwa pengangkatan hakim MK dimaksud oleh pemerintah tidak
menyalahi hukum.
Mengadili lembaga sendiri
Siapakah
yang berhak mengawasi kinerja dan perilaku hakim MK? Setidaknya publik
berharap pada KY untuk melakukan pengawasan walaupun UUD tidak secara tegas
menyatakan hal ini dan dapat dibaca pada Pasal 24B (1) 'Komisi Yudisial
bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan
mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim'.
Selanjutnya,
kewenangan KY dimaksud diturunkan dalam UU yang kita ketahui saat ini ruang
lingkup pengawasannya sangat terbatas hanya di lingkungan MA (baca hakim
agung) dan jajaran hakim di bawahnya. Hakim MK tidak termasuk dalam
pengawasan KY, oleh para pakar hukum tata negara dilihat dari prespektif
tentang penafsiran yang secara sistematis dan sesuai dengan perumusan
ketentuan UUD 1945 berorientasi pada 'original intent'. Hal itu dapat dilihat
dari perumusan ketentuan UUD 1945 mengenai KY sebagaimana dalam bunyi pasal 24
B, secara langsung memang tidak berkaitan dengan ketentuan mengenai MK yang
diatur dalam Pasal 24C, UUD 1945.
Sejarah
mencatat pula MK setidaknya sebanyak tiga kali mengadili permohonan judicial
review yang terkait dan berhubungan dengan dirinya sendiri. Pertama, MK
membatalkan ketentuan mengenai pengawasan dalam UU Komisi Yudisial dengan
putusan No 005/PUU-IV/2006. Kedua, pembatalan Majelis Kehormatan MK dalam UU
No 8 Tahun 2011 melalui putusan No 49/PUU-IX/2011. Ketiga, pembatalan
pengujian UU No 1 Tahun 2014 melalui Nomor 128/PUU-XII/2014. Memang tidak ada
larangan atas pengujian UU dimaksud oleh MK karena memang menjadi
kewenangannya.
Namun,
hal itu dapat pula dipandang sebagai sesuatu yang tidak lazim dan mengingkari
asas hukum bahwa tidak seorang pun boleh menjadi hakim atas perkaranya
sendiri atau nemo judex idoneus in propria causa. Karena itu, patut
dipertanyakan kepada MK, lagi pula mengapa takut diawasi bila memang ingin
bersih dan bebas KKN agar kinerja mereka dapat dipercaya masyarakat?
Langkah perbaikan ke depan
Pengawasan
hakim MK saat ini dilakukan internal MK sendiri yakni melalui peraturan MK No
02 Tahun 2013 tentang Dewan Etik Hakim Konstitusi, kiranya hal ini perlu
ditinjau ulang. Pernyataan Ketua MK bahwa pengawasan eksternal dapat menjadi
permasalahan karena akan menjadi subordinasi dan melihat kondisi MK saat ini
kiranya kurang tepat.
Keberadaan
lembaga pengawas eksternal sejauh ini bukan merupakan subordinasi. Hal itu
dapat dilihat dari pengawasan KY pada hakim agung dan jajarannya.
Kedua
lembaga yakni MA dan KY, walaupun belum sepenuhnya seiring sejalan, dapat
memahami posisi masing-masing dalam melakukan pengawasan. Demikian pula
lembaga pengawas yang lain seperti Ombudsman RI, sejauh ini tidak mengalami
kendala dalam pengawasannya termasuk mengawasi administrasi peradilan, karena
memahami objek yang menjadi ruang lingkup pengawasannya. Bahkan dalam
ketentuan Pasal 9 UU Ombudsman RI, dimandatkan agar Ombudsman tidak boleh
mencampuri kebebasan hakim dalam memutus perkara. Itu mengingat pula bahwa
menjadi prinsip universal di dunia bahwa kekuasaan kehakiman termasuk hakim
MK adalah kekuasaan yang independen dan tentunya tidak boleh diintervensi
siapa pun.
Oleh
karena itu, penguatan dan urgensi pengawasan pada lembaga seperti MK saat ini
sangat diperlukan di tengah rendahnya kepercayaan masyarakat setelah
keterlibatan oknum hakim MK dalam perkara korupsi.
Para
pengawal konstitusi diharapkan negarawan yang sudah selesai dengan urusan
duniawinya dan mengabdikan diri untuk kepentingan publik. Langkah konkret yang
harus dilakukan ialah memastikan kembali kepercayaan publik dengan membangun
sistem pengawasan yang kuat pada internal lembaga ataupun membuka diri untuk
siap diawasi pengawas eksternal. Pada saat ini peran pengawas ekternal MK
belum dimandatkan kepada salah satu institusi pengawasan karena belum diatur
dalam peraturan perundang-undangan.
Maka
menjadi tugas pemerintah dan DPR untuk segera menerbitkan peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan pengawasan MK. Sementara itu, untuk
mengisi kekosongan hukum, MK segera menggali dan menerapkan praktik baik
kenegaraan selama ini, yaitu bekerja sama melakukan pengawasan melalui
berbagai cara seperti membangun kesepahaman dan komitmen antikorupsi. Dengan
demikian diharapkan, kinerja dan perilaku hakim MK dapat terkontrol dan tugas
mengawal konstitusi sesuai dengan tujuan pembentukannya dan berwibawa di mata
publik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar