Belajar
dari Kebijakan Trump
Ronny P Sasmita ;
Staf Ahli Komite Ekonomi dan Industri
Nasional
|
MEDIA
INDONESIA, 02 Februari 2017
SELAMA
beberapa dekade, Amerika Serikat memang menjadi tujuan para pencari kerja dan
pengungsi. Pintu imigrasi dibuka lebar-lebar. Belakangan, kehadiran imigran
memicu masalah dalam negeri mereka. Mulai persaingan pasar tenaga kerja
sampai aksi kekerasan dan terorisme.
Nah,
sesuai dengan semangat konstitusi AS, Trump menegaskan pentingnya American
First: buying America and hiring American. Dia mengimbau warga AS untuk
membeli produk dalam negeri dan meminta perusahaan-perusahaan mempekerjakan
warga AS.
Trump
berjanji untuk memberikan lapangan pekerjaan kepada 25 juta penduduk AS
selama empat tahun masa pemerintahannya. Untuk membuka lapangan pekerjaan
tersebut, Trump berencana membangun secara besar-besaran berbagai jenis
infrastruktur. Jalan, jembatan, dan terowongan yang sudah ada saat ini tidak
lagi memadai sehingga membuat AS kalah dari negara lain.
Perusahaan
didorong untuk ekspansi, mengaktifkan kembali pabrik yang sudah mati dan
sekarat. Oleh karena itu, pemerintah akan memangkas PPh badan dari 35% ke
15%. Artinya, dengan laba ditahan yang lebih besar, perusahaan memiliki
kemampuan untuk berekspansi.
Pemotongan
PPh juga diberikan kepada PPh perorangan dengan sasaran untuk mendongkrak
daya beli kelas menengah. Selama ini, menurut Trump, daya beli kelas menengah
AS terkuras untuk membeli produk impor sehingga dengan jumlah kelas menengah
yang lebih dari 200 juta orang dan dorongan untuk menggunakan produk dalam
negeri, ekonomi AS diperkirakan bisa mencapai laju pertumbuhan 4%.
Trump
membubarkan Obamacare, biaya kesehatan gratis bagi masyarakat bawah, mirip
Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan di Indonesia. Obamacare
dinilai terlalu memberatkan APBN dan menimbulkan kemalasan. Mereka yang
mendapat fasilitas asuransi kesehatan dinilai tidak mampu beranjak dari
kondisi mereka yang sudah cukup nyaman.
Setelah
14 bulan dibahas, UU Perlindungan Pasien dan Perawatan Terjangkau tersebut
baru disahkan parlemen AS, Maret 2010. Pembubaran UU yang lebih dikenal
dengan nama Obamacare tersebut harus lewat parlemen. Namun, melihat beratnya
beban program bagi anggaran negara, berkemungkinan besar parlemen akan menyetujui
pembubarannya.
Untuk
membantu masyarakat bawah, pemerintahan Trump akan berkonsentrasi pada
penciptaan lapangan pekerjaan di samping mengaktifkan kembali program lama
yang ada di setiap negara bagian. Pembukaan lapangan pekerjaan merupakan
solusi paling jitu untuk mengangkat kesejahteraan rakyat.
Layak berang
Yang
agak mengejutkan, untuk menggerakkan ekonomi dalam negeri, Trump berniat
keluar dari Trans-Pacific Partnership (TPP) dan North America Free Trade
Agreement (NAFTA) atau perjanjian perdagangan bebas tiga negara di Amerika
Utara, yakni AS, Kanada, dan Meksiko. Untuk TPP, AS siap untuk tidak ikut
meratifikasi. Trump menilai perjanjian perdagangan tersebut tidak akan banyak
menguntungkan AS.
Nah,
kebijakan tersebutlah yang sering dianggap antiasing. Trump mengakui, di era
globalisasi tak ada satu pun negara yang tidak membutuhkan negara lain.
Namun, tata perdagangan dunia harus dibuat lebih adil. Untuk mencapai
keadilan tersebut, Trump lebih memilih perjanjian bilateral, bukan
multilateral.
Keputusan
Trump sangat bisa dipahami dan oleh karenanya, dia juga layak berang. Lihat
saja pada 2015, defisit neraca perdagangan AS mencapai US$531,5 miliar.
Negara dengan penduduk 350 juta itu mengekspor US$2,2 triliun, tapi mengimpor
US$2,7 triliun. Selain itu, penguatan dolar AS terhadap mata uang mitra
datang ikut memperbesar impor ke AS. Tiongkok paling banyak disebut Trump
sebagai negara yang tidak fair dalam perdagangan. Tiongkok mengekspor terlalu
banyak ke AS, antara lain karena mendeprasiasi mata uang mereka. Pada 2015,
AS menderita defisit US$367 miliar terhadap Tiongkok. Impor dari ‘Negeri
Tirai Bambu’ itu mencapai US$484 miliar, sedangkan ekspor hanya US$116
miliar. Produk yang banyak diimpor ialah garmen, elektronik, dan berbagai
jenis mesin.
Dengan
Indonesia, neraca perdagangan AS defisit US$12,2 miliar. Negara itu mengimpor
US$17,7 miliar dari Indonesia, terbesar ialah produk hasil sumber daya alam,
seperti migas, sawit, dan karet. Indonesia juga mengekspor tekstil, alas
kaki, dan elektronik ke AS. Negara yang dipimpin Trump ini merupakan importir
terbesar produk Indonesia. Indonesia tentu tak perlu mengecam kebijakan
Trump. Sebagai presiden dan kepala negara, langkah dia sudah tepat bagi
negerinya. Dia tentu harus memprioritaskan kepentingan nasionalnya. Sikap
Trump justru perlu dijadikan acuan. Perjanjian perdagangan bebas Indonesia
dengan Tiongkok dan sejumlah negara perlu dikaji ulang karena defisit
perdagangan Indonesia dengan Tiongkok terus membesar dari tahun ke tahun.
Pemerintah wajib menjalankan amanat konstitusi sebagaimana yang ditunjukkan
Trump.
Trump
bukanlah momok yang menakutkan. Dia hanyalah pemimpin yang serius menjalankan
amanat konstitusinya. Jika ia dinilai inward looking, lebih mengutamakan
masalah dalam negerinya, hal itu bukan sesuatu yang buruk. Agar ekspor
Indonesia ke AS tidak dipangkas, solusi yang terpenting ialah lobi.
Toh
memang tugas utama seorang presiden ialah memperjuangkan kepentingan
rakyatnya sesuai dengan amanat konstitusi. Tugas utama tersebut tecermin dalam
sumpah seorang presiden. Jadi, saya kira, penilaian kita terhadap Trump yang
dilantik sebagai presiden AS, Jumat (20/1), tak boleh lepas dari konteks ini.
Dalam
pidato pelantikannya, Trump menegaskan tekadnya untuk mengembalikan hak
rakyat AS yang selama ini diambil para politikus dan negara lain. Politisi AS
dinilainya tidak banyak memperjuangkan kepentingan rakyat, sedangkan negara
lain selama ini dinilai cukup banyak menikmati AS sebagai pasar produk dan
tenaga kerja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar