Menolak
Pelemahan Negara
Romanus Ndau Lendong ;
Pimpinan Pusat Kolektif Kosgoro 1957,
Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 01 Februari 2017
NEGARA
berdaulat atas rakyat, wilayah, dan aturan yang dibuatnya mengikat semua. Max
Weber mengingatkan negara juga memonopoli penggunaan kekerasan, sesuatu yang
tidak boleh dimiliki kekuatan mana pun. Monopoli tersebut diperlukan agar
negara tidak boleh lemah apalagi kalah, tetapi sebaliknya senantiasa kuat dan
perkasa dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.
Betapa
pentingnya negara sudah menjadi perhatian banyak pemikir politik. Thomas
Hobbes bahkan berpandangan negara harus mengerikan justru agar manusia
mematuhi hukum sehingga bisa hidup aman tenteram. Sementara itu, JJ Rousseau
memandang negara sebagai totalitas kehendak bersama. Kekuasaan negara
bersifat mutlak untuk mencegah anarkisme massa dan mewujudkan keadilan.
Keadilan menjadi ukuran adab sebuah negara karena, menurut St Agustinus,
negara yang tidak menjamin keadilan akan menjelma sebagai gerombolan perampok
(Suseno, 1987).
Tanpa
perlu mengafirmasi sosok negara yang digambarkan Hobbes ataupun Rousseau,
saya berpandangan negara memang harus kuat, berdaulat, dan mampu menjamin
keamanan, ketertiban, dan kelangsungan pembangunan. Dengan itu, negara senantiasa
hadir menjadi kekuatan yang memastikan bahwa seluruh tatanan kebangsaan yang
sudah disepakati bersama berlangsung secara wajar dan demokratis. Di atas
segalanya, negara harus berdaulat untuk melindungi kelompok-kelompok rentan
yang oleh Mahatma Gandhi dilukiskan sebagai the least, the lowest, the last and the lost.
Fenomena emoh negara
Dalam
konteks kekinian, daulat negara hendaknya diperkuat sebagai skenario untuk
mengantisipasi berbagai fenomena ‘emoh negara’ (tidak menghendaki negara).
Istilah ini pertama kali digunakan Goenawan Mohammad dalam diskusi informal
di Teater Utan Kayu, di akhir kekuasaan Orde Baru pada 1998 (I Wibowo, 2003).
Saat itu memang marak berbagai bentuk gerakan melawan negara berupa kerusuhan
rasial dan tindakan antisosial dan hukum. Wujudnya ialah pembakaran pos
polisi, perlawanan terhadap aparat keamanan, aksi balas dendam kepada pejabat
Orde Baru, dan teror bom di banyak daerah.
Di
tataran global, fenomena emoh negara merupakan turunan dari paham ekonomi
neoliberal yang memandang pasar bebas merupakan pilihan rasional untuk
menciptakan kesejahteraan masyarakat. Demi menjamin bekerjanya pasar bebas,
kewenangan negara untuk menata dan mengatur harus dilucuti melalui mekanisme
deregulasi dan debirokratisasi. Intervensi negara harus dibatasi alias negara
harus berperan minimal sehingga tidak mendistorsi beroperasinya pasar bebas.
Di
tingkat nasional, fenomena ini tergambarkan dalam sikap-sikap yang melawan
hukum. Kasus penghinaan terhadap simbol-simbol negara, merebaknya kasus
korupsi yang melibatkan politisi dan aparat negara, serta epidemi narkoba
merupakan persoalan serius yang berpotensi melemahkan negara. Mirisnya,
tindakan melawan hukum justru dipertontonkan penegak hukum sendiri seperti
kasus hakim konstitusi Patrialis Akbar dan Akil Mochtar serta kasus
suap-menyuap di berbagai badan peradilan.
Fenomena
emoh negara yang paling menggelisahkan akhir-akhir ini ialah yang bersentuhan
dengan masalah sosial dan politik. Secara sosial, emoh negara terkait erat
dengan rendahnya sikap saling percaya di antara berbagai komponen bangsa.
Bentuknya ialah tawuran antarwarga, bentrokan pelajar, prasangka rasial, dan
konflik berbasis pluralitas keyakinan keagamaan.
Laporan
Setara Institute 2016 menampilkan kecenderungan peningkatan kasus-kasus
kekerasan berbasis agama yang kian mengkhawatirkan. Pada 2016 tercatat 270
tindakan intoleran berupa pelarangan ibadah, perusakan rumah ibadah, dan
pengusiran kelompok minoritas. Angka itu meningkat tajam dari 2014 dan 2015
berturut-turut 133 dan 177 kasus intoleransi. Korban tindakan intoleran
tersebut menyentuh banyak pihak, yakni Gafatar, individu warga negara, jemaat
Ahmadiyah, Syiah, umat kristiani, dan aliran keagamaan lainnya (Media
Indonesia, 30/1).
Ironisnya,
pelaku gerakan intoleran tersebut melibatkan aktor yang beragam meliputi
aparat kepolisian, pemerintah kabupaten/kota, institusi pendidikan negeri,
kementerian agama, dan kejaksaan. Keterlibatan aktor-aktor tersebut
berpangkal pada menguatnya kelompok intoleran, lemahnya kebijakan/regulasi,
dan ketidakberdayaan aparatur negara berhadapan dengan kelompok intoleran.
Masuk akal kalau Setara Institute berpandangan bahwa kebebasan beragama di
Indonesia tengah mengalami ancaman hebat.
Lemahnya
penegakan hukum untuk mengatasi berbagai persoalan tadi membuat kelompok
intoleran semakin berani melakukan tekanan dan perlawanan terbuka terhadap
negara. Desakan pencopotan Kapolda Jawa Barat Irjen Anton Charliyan dan
pengerahan massa untuk membentengi Ketua FPI Rizieq Shihab setiap kali
diperiksa aparat kepolisian merupakan fenomena yang harus dicegah agar tidak
menjadi preseden buruk di masa depan.
Penguatan kelembagaan
politik
Tadi
dijelaskan bahwa menguatnya fenomena emoh negara berakar pada lemahnya aspek
kebijakan dan lambannya aparat dalam menegakkan hukum. Proses pembuatan
kebijakan yang sarat kepentingan politik sempit dan sikap aparat yang kurang
profesional merupakan ranah persoalan yang harus dicegah untuk menolak proses
pelemahan negara. Tanpa tindakan tegas dan cepat, persoalan tadi akan memicu
instabilitas sosial dan politik yang berkepanjangan di masa depan.
Dihadapkan
pada keperluan tersebut, maka penguatan kelembagaan politik merupakan agenda
strategis yang mendesak dilakukan. Secara teoretis, kelembagaan politik yang
kuat dan berdaya sangat ditentukan kebijakan yang bervisi kebangsaan dan
profesionalisme aparatur yang tecermin dari kuatnya komitmen dan kompetensi
dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab. Kualifikasi tersebut diperlukan
untuk memastikan kelembagaan politik (legislatif, eksekutif, dan yudikatif
serta berbagai komisi negara) benar-benar menjadi pilar keadilan dan solusi
terhadap berbagai persoalan di negeri ini.
Penguatan
kelembagaan politik juga diperlukan untuk meraih legitimasi dan dukungan
publik terhadap berbagai kebijakan negara. Ghia Nodia, ilmuwan politik yang
secara serius menekuni masalah-masalah demokrasi, mengingatkan kelembagaan
politik yang lemah akan mendorong rakyat untuk kembali mengagung-agungkan
kelompok primordial berbasis suku, agama, ras, dan budaya. Fenomena ini harus
dicegah karena kebanggaan atas kelompok primordial tersebut berpotensi memicu
konflik sosial yang kronis dan mematikan serta berpotensi mengancam keutuhan
bangsa dan negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar