Melawan
Racun Kebencian Trump
Shamsi Ali ;
Imam besar Masjid New York; Presiden
Nusantara Foundation
|
JAWA
POS, 31
Januari 2017
SENATOR
Chuck Schumer, ketua kelompok minoritas di Senat Amerika Serikat (AS),
menangis dalam konferensi pers. Dia berjanji untuk melawan dan membatalkan
keputusan Presiden Donald Trump melarang masuk warga dari tujuh negara
mayoritas muslim. Yakni, Iran, Iraq, Syria, Yaman, Sudan, Libya, dan Somalia.
Ditandatangani
pada Jumat (27/1) dan diimplementasikan pada Sabtu (28/1), aturan yang tidak
terperinci itu menimbulkan kekacauan di beberapa bandara Amerika. Khususnya
di New York. Ratusan pendatang dari negara-negara itu, termasuk mereka yang
telah memiliki visa masuk (entry visa) ke AS dan menjadi penduduk tetap (permanent
resident) atau pemegang kartu hijau, tertahan di bandara.
Pada
saat yang sama ACLU, organisasi pembela hak-hak sipil, mengajukan tuntutan di
Pengadilan Tinggi New York untuk membatalkan penahanan itu. Pengadilan
memutuskan untuk memberikan izin masuk bagi pendatang yang tertahan di
Bandara John F. Kennedy. Putusan tersebut disambut dengan gegap gempita para
demonstran.
Meski
tidak diakui Presiden Trump, dipahami secara luas dan nyata oleh banyak
kalangan bahwa keputusan tersebut diskriminatif dan anti-Islam. Diskriminasi
karena dari sekian warga negara yang pernah terlibat aktivitas teror di
Amerika, Afghanistan dan Pakistan tidak masuk list. Bahkan, negara yang
paling berbahaya bagi Amerika saat ini karena kemampuan mengembangkan senjata
nuklir dengan jangkauan jarak jauh, Korea Utara, juga tidak masuk ke dalam
daftar yang terlarang.
Kita
ingat juga bahwa pelaku mayoritas serangan 9/11 pada 2001 adalah warga Arab
Saudi. Tapi, kenyataannya, Saudi tak masuk list yang dilarang masuk ke
Amerika. Ada yang mengira bahwa keputusan diskriminatif itu didasari
kepentingan pribadi Trump. Negara-negara yang tidak masuk list, termasuk
Saudi dan Mesir, memang punya hubungan bisnis.
Keputusan
itu juga jelas anti-Islam. Bahkan, Trump berjanji memperluas larangan tersebut
tanpa penjelasan terperinci. Boleh jadi akan ada larangan bagi seluruh muslim
untuk masuk Amerika.
Apa
implikasi dari keputusan itu? Yang paling saya khawatirkan, kebijakan Trump
itu dijadikan justifikasi bagi pihak-pihak yang memang selama ini mencari-cari
pembenaran dalam berbagai aksi teror. ISIS di Iraq dan Syria, Al Qaeda di
Yaman, serta Al Shabab di Somalia. Mereka akan kembali gencar mencari target
di berbagai tempat yang dianggap memiliki relasi kepentingan dengan Amerika.
Juga,
jika itu terjadi, Trump kemudian akan semakin mendapatkan pula justifikasi
untuk membumihanguskan semua pergerakan Islam di belahan dunia. Trump
tampaknya akan membangun koalisi dengan Presiden Rusia Vladimir Putin untuk
menghabiskan apa yang disebutnya sebagai kelompok-kelompok Islam radikal.
Hal
itu akan merambah ke kebijakan domestik (dalam negeri). Sudah pasti
masyarakat muslim akan menghadapi berbagai tekanan, bahkan perlakuan yang
buruk. Seperti yang disuarakan Trump saat kampanye. Di antaranya,
mengeluarkan ID khusus bagi masyarakat muslim dan menutup masjid-masjid
radikal.
Saya
khawatir racun kebencian yang ditebarkan oleh retorika kampanye Trump semakin
menyebar di masyarakat luas. Lebih berbahaya lagi jika mereka yang selama ini
benci terhadap Islam dan masyarakat muslim merasa telah mendapatkan
justifikasi sistem. Artinya, kebencian itu bukan lagi ”kasus-kasus” di
masyarakat. Tapi dianggap bagian sistem kenegaraan Amerika. Itu akan sangat
runyam.
Lalu,
apa yang harus dilakukan? Kami tidak pernah merasa bahwa apa yang terjadi
saat ini di Amerika akan menghentikan upaya kami mengenalkan Islam dan
membangun komunitas Islam yang lebih solid. Bagi masyarakat muslim Amerika,
salah satu kontribusi terpenting kami adalah membangun komunitas yang solid
sebagai bagian dari upaya kami membawa kebaikan kepada negara ini.
Masyarakat
muslim Amerika juga akan terus membangun koalisi dengan pihak-pihak yang
punya kepentingan yang sama. Sungguh, terpilihnya Trump menjadi momok
tersendiri bagi banyak pihak. Masyarakat muslim, African, Hispanik, Asia,
LGBT, bahkan Yahudi. Masyarakat muslim harus mampu membangun koalisi dengan
mereka untuk meredam dampak negatif terpilihnya Trump.
Saat
ini pemerintah-pemerintah mayoritas muslim sedang diuji. Jika Trump dengan
terang-terangan menyudutkan komunitas muslim, baik dalam negeri maupun luar
negeri, apakah pemerintahan muslim hanya mengambil sikap ”nggak peduli” dan
diam?
Tentu
yang paling parah dan menyakitkan adalah ketika ada pihak-pihak dalam
pemerintahan negara mayoritas muslim yang justru memuji Trump. Bahkan dengan
bangga ingin membangun kerja sama bisnis. Atau, boleh jadi ke depan akan
bekerja sama memerangi pergerakan Islam?
Sikap
pihak-pihak tertentu yang seperti itu tidak saja menyinggung perasaan umat
Islam di negara tersebut. Tapi juga masyarakat muslim dunia, khususnya di
Amerika. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar