Mewaspadai
Radikalisme Kaum Hoax
MH Said Abdullah ;
Wakil ketua Banggar DPR RI
|
JAWA
POS, 30
Januari 2017
SEPERTI
kasus penyalahgunaan narkoba, untuk penyebaran informasi bohong (hoax) juga
ada ketentuan perundang-undangan dengan ancaman hukuman yang begitu berat
terhadap para pelakunya. Tetapi, sebagaimana kasus narkoba, kasus hoax kian
hari kian banyak peminat.
Pertanyaannya,
mengapa banyak pihak yang merasa senang dengan perilaku yang menabrak
kelaziman dan logika?
Apabila
diamati, teknik penyajian data versi hoax pantas diduga diproduksi oleh
individu maupun kelompok yang melek informasi dalam situasi terkini.
Seakan-akan hoax dari perspektif narasi atau opini beraroma niat kurang baik
dari penulisnya untuk memengaruhi pembaca.
Namun,
pengaruh itu lebih berbau negatif-provokatif dengan harapan sebaran kebencian
( hate speech) itu kian mendapat tambahan kebencian dari sekutunya dan
pasokan kemarahan dari seterunya. Di posisi itulah hoax diamini peminatnya
untuk semakin menegaskan eksistensinya sebagai ahlul fitnah yang berjamaah
(berkelompok).
Dari
perspektif yuridis, hoax termasuk pelanggaran hukum karena mengada-ada,
menyebarkan kebencian, dan memanfaatkan information technology (IT) sebagai
medium untuk mengantarkan pesan ( cyber crime). Sementara itu, dari sisi
nonyuridis, hoax termasuk rangkaian usaha untuk menenggelamkan empat pilar
kebangsaan yang seharusnya dipelihara bersama oleh sesama warga bangsa, apa
pun suku, ras, keyakinan, maupun jenis kelamin.
Hoax
by Design Ramainya hoax yang muncul selama ini semakin memberikan kesan bahwa
ia hadir tidak dalam rangka by accident. Misalnya, ketika ada hoax bahwa
markas kelompok tertentu diserang jamaah tertentu, terkesan kelompok tertentu
itu teraniaya, dizalimi, dan pantas untuk dibela.
Lalu,
datanglah dukungan dari sekutu maupun massa mengambang ( floating mass)
karena seolah-olah kelompok itu sedang dianiaya. Biasanya diikuti aksi
susulan yang bersifat membela kelompok tersebut. Padahal, fakta yang
sesungguhnya belum tentu seperti itu atau justru sebaliknya.
Selain
by design, pelaku hoax dapat dipastikan anti-Pancasila. Sebab, Pancasila,
dari semua sila yang tersurat di dalamnya, tidak mengajarkan urgensi hoax
dalam realitas kehidupan warga bangsa.
Karena
itu, pemerintah, dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika
(Kemenkominfo), berikut aparat kepolisian yang berwenang mengamankan
UndangUndang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) serta semua pihak perlu
bekerja sama dalam mempersempit ruang gerak radikalisme kaum hoax yang telah
menjadi bagian dari ahlul fitnah wal jamaah.
Itu
urgen bukan saja terkait dengan potensi pelanggaran terhadap hukum, tetapi
juga penting supaya masa depan anak bangsa tidak menganggap negara ini
dibangun oleh hoax yang sangat besar.
Cyber
Anarchism Maraknya hoax ini merupakan tanda bahwa pelan tapi pasti sebagian
publik yang sehat telah terjangkiti jiwa yang sakit. Salah satu tanda psike
tidak sehat adalah merasa senang apabila melihat orang lain menderita.
Kaum
hoax yang menyebar kabar tidak sedap justru tidak menyadari bahwa perilaku
itu justru mencederai sesama. Dia membuat orang lain tercincang meski
tindakannya tak menyebabkan luka secara fisik. Dia lupa bahwa dosa yang sulit
dihapus itu justru disebabkan hoax yang telanjur ditebar di dunia cyber. Dia
juga alpa bahwa hoax serupa cyber anarchism, selain serupa something more
than crime.
Pada
spektrum itulah hoax menjadi ancaman dan berpotensi menjadi bahaya laten.
Karena itu, hoax lebih berbahaya karena mengadu domba anak manusia. Maka,
jika narasi ini memiliki kedaulatan atas vonis, kaum hoax berhadapan dengan
dua risalah perilaku yang tidak lazim.
Pertama,
menganggap manusia sebagai domba yang bisa diadu. Kedua, kaum hoax
memosisikan diri sebagai the god of post-factum, menyaingi Tuhan dalam
konteks mengada-ada, di mana Tuhan dengan segala kemahakuasaannya ”tidak
berani” melakukan itu.
Manakala
Tuhan disaingi, di mana konteks persaingan tidak di situ posisinya, siapakah
sesungguhnya yang paranoid?
Karena
itu, dalam metode (rubaiat) hoax yang mengendemik ini, negara harus hadir.
Keterlibatan negara ini bukan untuk membela Tuhan yang tersaingi. Tetapi,
negara memang tidak boleh membiarkan suasana yang begitu mudah dilacurkan
agar negara tidak dianggap sebagai bagian dari bahaya yang melaten itu.
Selain
itu, negara untuk dan atas nama undang-undang wajib melindungi warga, selain
mencerdaskannya. Negara juga wajib mengampanyekan bahwa tindakan memfitnah
jauh lebih kejam daripada tidak memfitnah. Bentuk keberpihakan negara itu
tentu saja diimplementasikan dengan penegakan hukum. Siapa pun pelaku
penyebaran hoax harus diproses hukum. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar