Korupsi
Kepala Daerah dan Dinasti Politik
Emerson Yuntho ;
Anggota Badan Pekerja Indonesia
Corruption Watch (ICW)
|
KORAN
SINDO, 02
Februari 2017
Penangkapan
sejumlah kepala daerah dalam kasus korupsi dan dinasti politik dalam beberapa
waktu terakhir menjadi isu yang banyak diperbincangkan oleh masyarakat. Jika
dicermati kembali, keduanya seringkali berkaitan. Korupsi kepala daerah
cenderung dilakukan oleh dinasti politik dan keberadaan dinasti politik
potensial mendorong kepala daerah untuk melakukan korupsi. Data Kementrian
Dalam Negeri menyebutkan pada 2015 terdapat 361 kepala daerah yang tersangkut
korupsi. Jumlah tersebut terdiri atas 18 gubernur dan 343 bupati/wali kota
yang kasusnya ditangani institusi kepolisian, kejaksaan, dan KPK.
Sebagian
besar diantaranya telah dinyatakan hakim terbukti melakukan korupsi dan
mendekam di penjara. Dari ratusan kasus tersebut, sedikitnya ada enam kasus
korupsi oleh kepala daerah yang ditangani KPK diduga terkait dengan dinasti
politik. Mereka adalah Ratu Atut Chosiyah (gubernur Banten), Attty Suharti
(walikota Cimahi), Fuad Amin (bupati Bangkalan), Syaukani Hasan Rais (bupati
Kutai Kartanegara), Yan Anton Ferdian (bupati Banyuasin), dan terakhir adalah
Sri Hartini (bupati Klaten).
Data
Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2017 menunjukkan sedikitnya ada 58
daerah (provinsi, kabupaten/kota) yang terindikasi sebagai dinasti politik.
Jumlah saat ini mungkin kurang 20% dari total seluruh provinsi dan kabupaten/kota
di Indonesia, namun keberadaan dinasti politik dan korupsi yang dilakukan
kepala daerah dari waktu ke waktu semakin meningkat dan mengkhawatirkan.
Modus korupsi yang dilakukan oleh dinasti politik juga beragam.
Untuk
daerah yang kaya sumber daya alam, modus korupsi yang seringkali dilakukan
kepala daerah adalah menerima suap untuk penerbitan izin-izin usaha
pertambangan, perkebunan, atau kehutanan. Sedangkan untuk daerah yang tidak
cukup kaya sumber daya alam, modus korupsinya adalah menerima suap atau
terlibat langsung dari proyek-proyek yang didanai oleh Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD) maupun jual beli jabatan di lingkungan pemerintah
daerah.
Adapun
motif korupsi yang dilakukan dinasti politik antara lain untuk mengembalikan
biaya politik yang sudah dan akan dikeluarkan untuk proses pilkada, merawat
kekuasaan dan jaringan yang mendukung dinasti politik, serta sudah tentu
untuk memperkaya kelompok dinasti politik. Tidak saja korupsi, dinasti
politik juga telah menjadi duri dalam daging proses demokrasi di negeri ini.
Demokrasi mendorong desentralisasi kekuasaan, dan mencegah terjadi pemusatan
kekuasaan hanya pada elite tertentu.
Keberadaan
dinasti politik yang korup pada akhirnya merusak proses demokrasi. Terjadi
sentralisasi kekuasaan khususnya di wilayah eksekutif. Birokrasi dikendalikan
oleh segelintir orang dan fungsi pengawasan yang biasanya dilakukan oleh parlemen
daerah tidak berjalan akibat disuap atau ikutmenikmatiproyek maupun fasilitas
dari dinasti politik. Setidaknya ada tiga faktor penyebab semakin merebaknya
dinasti politik di Indonesia.
Pertama,
buruknya mekanisme pemilihan kandidat kepala daerah di internal partai
politik.
Aspek
kompetensi dan integritas seringkali diabaikan sebagai syarat utama dalam
penilaian calon kepala daerah yang akan mewakili partai politik. Partai
cenderung memilih calon yang loyal, memiliki kemampuan finansial, dan dekat
dengan elite partai politik. Hal ini juga akibat dari dikuasainya sejumlah
jabatan strategis di internal partai oleh kelompok dinasti sehingga proses
elite politik hanya berputar di keluarga atau jejaring kelompok tertentu dan
menutup potensi partisipasi politik calon yang lain. Akibat itu, proses
demokratisasi di partai politik sekadar slogan.
Kedua,
tidak ada regulasi yang membatasi potensi penguasaan politik oleh dinasti.
Sesungguhnya
inisiatif untuk memangkas dinasti politik sudah dimulai sejak 2015 dengan
pengesahan Undang-Undang Nomor 8/2015 tentang Pilkada. Pasal 7 huruf r UU
Pilkada pada intinya menyebutkan seseorang yang mempunyai hubungan darah atau
ikatan perkawinan dengan petahana tidak boleh maju menjadi kepala daerah
kecuali telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan atau lima tahun.
Sayangnya,
ketentuan yang mengatur soal mencegah berkembangnya dinasti politik tersebut
kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Ketiadaan regulasi ini akhirnya
dimanfaatkan oleh para kepala daerah untuk berlomba-lomba menyiapkan
keluarganya sebagai pengganti dan mempertahankan dinastinya tetap berkuasa.
Dalam catatan ICW pada Pilkada Serentak 2017 ini diikuti oleh 12 kandidat
yang terkait dengan dinasti politik.
Ketiga,
proses penegakan hukum tidak maksimal di tingkat daerah.
Keberadaan
dinasti politik di daerah umumnya tidak saja menguasai kalangan eksekutif dan
legislatif, namun juga yudikatif atau institusi penegak hukum seperti
kepolisian dan kejaksaan setempat. Kondisi ini dapat menyebabkan pengungkapan
kasus korupsi yang melibatkan kroni dinasti politik tidak pernah tuntas atau
akhirnya dihentikan di tengah jalan.
Sementara
ini hanya lembaga penegak hukum yang independen seperti KPK yang dinilai
mampu memproses aktor-aktor dari dinasti politik hingga tuntas ke pengadilan.
Pada akhirnya mencegah eksistensi dinasti politik agar tidak menjadi dinasti
koruptor menjadi kebutuhan mendesak untuk segera dilakukan. Dalam jangka
pendek ada sejumlah upaya yang dapat dilakukan.
Menghadapi
Pilkada Serentak 2017, perlu dibangun penyadaran politik bagi publik untuk
tidak lagi memilih calon kepala daerah yang terafiliasi atau dekat dengan
dinasti politik. Hal ini juga diingatkan oleh Agus Rahardjo, ketua KPK, pada
2 Desember 2016 yang meminta masyarakat untuk tidak memilih calon kepala daerah,
khususnya bila kandidat mengarah pada pembentukan politik dinasti. Proses
penegakan hukum sebaiknya mulai menyasar pada daerah-daerah di mana dinasti
politik sedang berkuasa.
Memenjarakan
aktor-aktor dinasti politik sementara ini dianggap sebagai cara jitu memutus
mata rantai dinasti koruptor. Upaya pemiskinan dan penjatuhan hukuman penjara
secara maksimal perlu diberikan pada kepala daerah yang terbukti korupsi
untuk mencegah ada konsolidasi di internal dinasti politik untuk kembali
berkuasa. Sedangkan dalam jangka panjang sebaiknya UU Pilkada perlu segera
direvisi secara terbatas.
Ketentuan
mengenai pencegahan dinasti politik -yang sempat dibatalkan oleh MK-
sebaiknya diatur kembali. Pada sisi lain partai politik perlu melakukan
reformasi dalam mekanisme penjaringan bakal calon kepala daerah. Pencalon-an
oleh partai politik sebaiknya dilakukan melalui mekanisme yang lebih
demokratis, tidak lagi diputuskan oleh hanya ketua umum atau ketua dewan
pimpinan partai, namun oleh rapat pengurus anggota partai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar