Bukti
dari "Tuhan"
Junaedi ;
Dosen Fakultas Hukum Universitas
Indonesia
|
KORAN
SINDO, 04
Februari 2017
SEKETIKA
rasa saya terusik ketika membaca berita dari media online tentang ucapan
Humphrey Djemat—sebagai salah seorang anggota tim kuasa hukum Basuki Tjahja
Purnama alias Ahok—bahwa bukti komunikasi yang dimilikinya dari Tuhan.
Terhenyak
mendengar pernyataan tersebut, timbul pertanyaan “bagaimana ya caranya, Tuhan
memberikan bukti itu ke Humphrey?” Apabila bukti hendak disamakan dengan
wahyu, penyampai wahyu itu jika dalam Islam tak lain dan tidak bukan, dialah
Malaikat Jibril.
Lalu
apakah hal tersebut merupakan cara lain dari Humphrey Djemat untuk mengatakan
bahwa dirinya adalah Rasul? Entahlah, mungkin kita perlu tanya lebih jauh
kepada Humphrey, bagaimana tentang bukti dari Tuhan tersebut.
Namun,
tulisan ini tidak banyak membahas tentang pernyataan bukti dari tuhan yang
diungkapkan Humphrey, tetapi terkait implikasi hukum acara dan hukum
substantif terkait dengan pernyataan di persidangan bahwa terdapat bukti akan
adanya komunikasi antara KH Ma’ruf Amin dan SBY serta implikasi hukum lainnya
terkait silang pendapat yang terkait dengan hal tersebut.
Pertanyaan Saksi dalam
Persidangan
Dalam
suatu persidangan pidana, alat bukti saksi sangat penting bagi pengungkapan
substansi dari suatu perkara pidana. Hal ini dikarenakan alat bukti saksi
merupakan alat bukti materiil yang dalam urutan alat bukti berada dalam
urutan pertama.
Hal
ini disebabkan pembuktian materiil dalam suatu perkara pidana adalah menjadi
fondasi utama bagi pengungkapan perkara. Berkaca dari hal tersebut, terdapat
beberapa asas dalam pemeriksaan saksi yang menjadi driving-principle bagi
proses pemeriksaan pidana atau menjadi asas-asas utama bagi pembuktian dalam
perkara pidana.
Salah
satu dari sekian banyak asas yang penting bagi pengungkapan perkara pidana
adalah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 166 KUHAP, bahwa dalam proses
pemeriksaan terdapat larangan untuk mengajukan pertanyaan yang menjerat bagi
saksi (maupun terdakwa).
Pertanyaan
yang menjerat adalah juga berbagai cara atau pertanyaan yang diarahkan untuk
melimpahkan kesalahan kepada terperiksa, atau mengajukan pertanyaan yang
menekan atau dengan perkataan lain pertanyaan yang bersifat mengarahkan.
Dalam
hal ini, kesemua bentuk pertanyaan tersebut adalah sikap tindak bertanya yang
dilarang dalam KUHAP, dan dalam hal ini perantaraan hakimlah yang seharusnya
memfilter pertanyaan yang diajukan, atau bahkan memberikan peringatan apabila
terdapat sikap sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 166 tersebut.
Lain
daripada itu, dalam persidangan terdapat asas yang menjadi jantung dari
proses peradilan pidana yaitu asas peradilan yang cepat dan berbiaya ringan.
Dalam
konteks pemeriksaan saksi, pertanyaan yang diajukan kepada saksi adalah
pertanyaan yang secara langsung memang menjadi pengetahuan atau pengalaman
saksi yang terkait dengan pasal dakwaan atau uraian dari unsur pidana
sebagaimana yang di dakwakan dalam surat dakwaan. Untuk itu, pertanyaan yang
diajukan kepada saksi bukanlah pertanyaan yang bertele-tele ataupun
pertanyaan yang mengada-ada.
Terkait
dengan pemeriksaan yang dilakukan terhadap KH Ma’ruf Amin yang mempertanyakan
komunikasi dirinya dengan SBY, terkait permintaan SBY kepada Ma’ruf Amin menemui Agus dan Sylvi guna meminta restu dalam
Pilkada DKI, apa hubungan di antara komunikasi dengan dakwaan pidana
penistaan agama terhadap Ahok? Jelaslah bahwa itu bukan pertanyaan yang
terkait dengan peristiwa pidana ataupun fakta yang terdapat dalam uraian
peristiwa yang dimaksudkan dalam surat dakwaan.
Terlebih
pemeriksaan terhadap KH Ma’ruf Amin dilakukan selama tujuh jam, adalah sikap
tindak yang termasuk dalam upaya untuk membuat persidangan menjadi
bertele-tele atau dapat masuk dalam melanggar asas peradilan yang cepat.
Dalam
hal lain juga, pertimbangan usia saksi seharusnya menjadi titik tolak
pertimbangan tim penasihat hukum dalam mengajukan pertanyaan, dan memilah
pertanyaan yang memang memiliki keterkaitan dengan uraian fakta dan
unsur-unsur dalam pasal dakwaan. Dalam hal ini, ketua majelis hakim harus
memperingatkan dan membatasi pertanyaan yang diajukan agar pertanyaan
tersebut secara langsung merupakan bagian dari bantahan atas uraian fakta dan
uraian unsur pasal pidana.
Dalam
mengajukan pertanyaan bagi kepentingan pembuktian itu ada teknik dan tata
caranya, di mana pertanyaan itu haruslah diajukan secara lugas, mengarah, dan
ditujukan untuk kepentingan bantahan atas uraian fakta dan unsur pidana serta
guna kepentingan pembelaan ataupun klemensi.
Hal
ini sangat dipahami oleh mahasiswa penulis di Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, bagaimana menghadirkan alat bukti dan tata cara pembuktian yang
berlandaskan pada asas peradilan yang cepat dan biaya ringan.
Jika
dalam suatu peradilan semu, terdapat pertanyaan yang tidak mengarah atau
melebar, maka hal tersebut akan berdampak pada waktu penyajian presentasi
praktik sidang semu menjadi lebih lama, dan berimplikasi pada penilaian yang
buruk akan diterima mahasiswa penulis.
Keterangan Palsu di
Persidangan
Dalam
berbagai pemberitaan baik itu dalam media online maupun media mainstream,
Ahok maupun tim penasihat hukum kerap menyatakan bahwa terdapat keterangan
palsu yang diberikan oleh saksi yang diajukan jaksa penuntut umum.
Tak
terkecuali, tuduhan kesaksian palsu juga dilayangkan oleh terdakwa kepada KH
Ma’ruf Amin seusai pemeriksaan terhadapnya. Tuduhan kesaksian palsu adalah
tuduhan yang sangat serius dalam proses persidangan di pengadilan, karena
ancaman pidananya sangat jelas diatur dalam KUHP. Namun, perlu juga dipahami
bahwa proses tuduhan atas pemeriksaan kesaksian palsu ada tata caranya
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 174 KUHAP.
Dalam
pasal tersebut, tuduhan atas kesaksian palsu harus terlebih dahulu diajukan
dengan perantaraan hakim, di mana hakim dalam hal ini harus memperingatkan
dengan sungguh-sungguh bahwa saksi agar memberikan keterangan yang sebenarnya
dan tidak lain daripada sebenarnya yang disertai dengan memberitahukan
ancaman pidananya.
Jadi
dalam hal ini, peran hakim sangat sentral karena hakim sebagai driving-person
dalam proses persidangan dan pembuktian dakwaan. Jadi peringatan ini sangat
penting sebagai tindakan awal dari hakim ketua sidang bagi pengungkapan fakta
yang sebenarnya.
Namun
apabila tetap pada keterangannya yang tidak sebenarnya, hakim ketua sidang
karena jabatannya secara langsung memerintahkan supaya saksi tersebut ditahan
untuk selanjutnya dituntut perkara dengan dakwaan memberikan kesaksian di
bawah sumpah secara tidak benar atau palsu.
Jadi
dalam hal ini, tidaklah tepat sikap tindak yang menyatakan saksi telah
memberikan keterangan palsu dan akan memerkarakan keterangan palsu tersebut.
Yang menjadi pertanyaan, bagaimana proses perkara yang mau dilakukan ketika
sikap dari ketua majelis hakim yang tidak memberikan perintah kepada jaksa
penuntut umum untuk melakukan tindakan tersebut? Lebih lanjut pasal tersebut
juga mengatur bahwa segala sikap tuduhan tersebut haruslah dituangkan dalam
berita acara.
Dalam
hal ini memang jika terdapat kesaksian palsu, maka ketua majelis hakim dapat
menangguhkan sidang dalam perkara semula sampai perkara pidana terhadap saksi
selesai (vide pasal 174 ayat 4).
Sikap
pernyataan terdakwa dan penasihat hukumnya terkait adanya kesaksian palsu
dari berbagai saksi yang diajukan JPU, patut diduga adalah suatu upaya untuk
menangguhkan persidangan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal aquo. Untuk
itu sekali lagi ungkapan kesaksian palsu jika memang ditujukan akan
pemberlakuan pasal aquo adalah upaya untuk melanggar asas peradilan cepat dan
berbiaya ringan.
Alat Bukti dari “Tuhan”
Pernyataan
tim penasihat hukum tentang bukti yang dimilikinya terkait komunikasi yang
terjadi antara (saksi) KH Ma’ruf Amin dan SBY, haruslah secara terang
diungkapkan oleh tim penasihat hukum secara terbuka sebelum hal tersebut
menjadi fitnah bagi lembaga negara lain yang dipersepsikan memiliki wewenang
untuk menyadap dan membocorkannya.
Terlebih
lagi, berbagai komunikasi tersebut sama sekali tidak terkait dengan uraian
fakta dan uraian unsur pidana dalam dakwaan. Terlebih lagi adalah upaya
pertanyaan tersebut ditujukan untuk mengarahkan bahwa saksi tidak layak untuk
diperiksa atau dipercaya karena komunikasi tersebut diarahkan bahwa saksi
mendukung salah satu kontestan Pilkada DKI.
Menurut
hemat penulis, apa yang mau digali akan kebenaran materiil terkait komunikasi
saksi dengan SBY yang pada akhirnya hanya digunakan untuk menarik kesimpulan
akan dukungan pilkada, adalah hal yang sama sekali tidak terkait dengan
kapasitas pengetahuan dan pengalaman saksi sebagai ketua MUI sehingga
dihadirkan di muka persidangan.
Dalam
hal ini, seharusnya ditanyakan adalah terkait dengan kebenaran adanya fatwa
MUI yang sudah diterbitkan dan ditandatangani oleh saksi. Maka pertanyaan
seharusnya diarahkan kepada kebenaran dan pengetahuan saksi terkait tanda
tangan saksi dalam fatwa MUI.
Dan
komunikasi tersebut sama sekali tidak terkait dengan kepentingan perkara ini,
terlebih diarahkan pada dukungan politik atas pasangan calon. Sikap politik
pribadi atas dukungan paslon adalah semata menjadi hak pribadi dari saksi dan
tidak boleh diusik dengan cara apapun karena hal tersebut adalah hak politik
secara pribadi dari tiap individu.
Upaya
menggoyahkan keterangan saksi tersebut dengan layangan tuduhan kesaksian
palsu atau parsialitas dalam pilkada DKI adalah sikap yang tidak layak
diperlihatkan kepada publik.
Posisi
saksi dalam hal ini sangat signifikan karena fatwa MUI adalah bukti yang
signifikan bagi pembuktian perkara, sebagaimana juga metode pembuktian yang
diberlakukan atas penistaan terhadap gereja Inggris, di mana pendapat atau
pandangan pimpinan gereja Inggris atas penghinaan atau cacian atau kekerasan
atas doktrin, keyakinan, institusi atau benda dari gereja Inggris.
Hal
yang sama juga diberlakukan atas pasal 198 dan 199 hukum pidana Yunani
terkait penghinaan terhadap agama ortodoks Yunani. Karena yang dinistakan
adalah Alquran, sebagai firman Tuhan yang dipercaya oleh orang beragam
sebagai kitab suci, di mana yang dapat memberikan pandangan haruslah otoritas
kaum beragama tersebut, di mana dalam Islam, terdapat sumber hukum yaitu Ijma
atau kesepakatan para ulama, yang dalam hal ini representasi dilakukan oleh
MUI semenjak didirikan oleh berbagai ormas Islam pada awal tahun 1970-an.
Apakah
ungkapan “bukti dari Tuhan” tersebut juga ditujukan untuk menyindir posisi
fatwa? Hal ini hanya yang menyampaikan bukti dari Tuhan yang memahaminya. Untuk
itu, penulis memandang bahwa upaya yang dilakukan dalam hal tersebut semata
untuk kepentingan pembelaan atas terdakwa, yang memang hal tersebut
dilindungi oleh KUHAP.
Namun,
perlindungan KUHAP juga memberikan batasan sebagaimana yang dimaksud dalam
penerapan berbagai asas utama dalam proses pidana, sebagaimana yang telah
saya ungkapkan di atas. Demikianlah sekelumit penelusuran regulasi dan
pendapat yang dapat penulis berikan terkait penodaan agama dan
persidangannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar