Menyudahi
Lakon Buruk
dan
Para Aktor yang Menyedihkan
AS Laksana ;
;
Sastrawan; Pengarang; Kritikus Sastra yang dikenal aktif menulis
di berbagai media cetak nasional
di Indonesia
|
JAWA
POS, 29
Januari 2017
SEBUAH
pesan singkat masuk tidak lama setelah saya bangun tidur: ’’Mari kita
bernostalgia nanti malam.” Saya membalas pesan dan menanyakan apakah ia
sedang di Jakarta. Ia menjawab ya. Lalu kami menetapkan waktu dan tempat
bertemu.
Malam
itu kami menonton konser ’’Nostalgia SMA: the 80s are back” di Balai Sidang
Jakarta. Halaman depan gedung tempat pertunjukan terlihat tidak begitu ramai.
’’Kok
sepi,” katanya.
’’Ya
mungkin memang cuma segini yang masih tersisa,” kelakar saya.
Ternyata
penonton acara itu banyak juga, dan sebagian besar masih bugar. Generasi kami
tentu saja masih segar bugar dan menjadi semakin bugar saat menikmati
penampilan Fariz R.M., Ian Antono, Achmad Albar, Louise Hutauruk, Orkes
Pancaran Sinar Petromaks, dan lain-lain. Daniel Sahuleka tampil membawakan
dua lagu dan hampir semua orang ikut bernyanyi bersamanya.
Kawan
saya terlihat sangat menikmati lagu Panggung Sandiwara Achmad Albar; ia
sepertinya ingin ikut bernyanyi tetapi menahan diri. Lima belas menit sebelum
acara selesai kami keluar karena perut lapar, kemudian makan di rumahnya dan
bercakap-cakap sebentar sebelum saya pamit pulang.
Besoknya
saya membuka Facebook untuk mencari tahu siapa saja teman saya yang juga
menonton acara nostalgia itu. ’’Hati saya ikut bernyanyi ketika Achmad Albar
membawakan lagu Panggung Sandiwara. Lalu terpikir, jika dunia ini panggung
sandiwara, maka tugas kita bersama adalah mewujudkan cerita yang baik
--mewujudkan panggung kehidupan yang terbaik bagi kita semua.’’
Itu
status Facebook Saifullah Yusuf, teman yang mengajak saya bernostalgia dan
terlihat ingin ikut bernyanyi ketika Achmad Albar membawakan lagunya. Kaget
saya. Saya pikir ia hanya menyukai orkes gambus.
Saya
mengirimkan pesan singkat untuk meledeknya, tetapi saya setuju pada ajakannya
untuk bersama-sama mewujudkan cerita yang baik. Hari ini kita melihat banyak
cerita yang menyedihkan: makian, teror, dan hal-hal yang terasa menekan dalam
kehidupan individu di tengah masyarakat.
Kita
memerlukan cerita yang bermutu, baik itu cerita kehidupan sehari-hari di mana
kita yang menjadi pelakunya, maupun cerita yang kita baca dalam buku-buku.
Cerita sehari-hari yang baik memberi kita kegembiraan dan harapan. Cerita
rekaan yang baik memberi kita pengalaman yang tidak kita dapatkan dalam
kehidupan sehari-hari.
Cerita
rekaan yang baik, Anda tahu, akan menyuguhkan kepada para pembacanya efek
psikologis, sosial, dan emosional dari situasi tertentu yang penuh tekanan
--mungkin kegelapan-- dan dari sana kita bisa banyak belajar. Kenikmatan
semacam itu hanya bisa dialami oleh para pembaca buku.
Saya
senang melihat orang-orang membaca buku, sebab cerita yang baik akan membantu
kita memahami kehidupan dan pikiran orang-orang lain. Itu sebabnya harapan
terbesar saya pada pemerintahan adalah bagaimana ia bisa menjadikan
orang-orang gemar membaca. Saya pikir perlu ada kebijakan politik untuk
mewujudkan hal itu.
Di
negara-negara yang sistem pendidikannya bagus, orang-orang yang peduli pada
pendidikan sibuk memikirkan bagaimana sekolah-sekolah bisa menghasilkan
lulusan yang semakin berkualitas. Mereka risau, misalnya, ketika sekolah
hanya memusatkan perhatian pada aspek kecerdasan intelektual dan mengabaikan
kecerdasan emosional. Maka muncul orang-orang yang berseru agar sekolah
memberi perhatian juga pada peningkatan kecerdasan emosional.
Respons
setiap individu terhadap situasi, bagaimanapun, adalah respons yang tidak
melulu melibatkan pemikiran, tetapi juga emosi --bahkan seringkali lebih
banyak faktor emosinya ketimbang pemikiran. Dari pemahaman seperti itu,
kemudian muncul saran bahwa pengajaran sastra sebaiknya tidak hanya
memperhatikan aspek analisis terhadap bahasa dan alur cerita dan hal-hal yang
hanya melatih pikiran analitis. Ada hal lain yang juga sangat penting, yaitu
menanyakan respons emosional siswa setelah mereka selesai membaca buku
cerita.
’’Proses
memasuki dunia rekaan, mengalami kejadian-kejadian di dalam fiksi, akan
membantu kita membangun empati dan memperbaiki kemampuan kita untuk memahami
cara pandang orang lain,” tulis Keith Oatley dalam artikelnya berjudul In the
Minds of Others.
Saya
agak khawatir bahwa pendidikan mereka akan semakin baik. Jika pendidikan
mereka terus membaik, itu berarti kita akan semakin tertinggal. Sampai
sekarang sekolah-sekolah kita tidak mampu membuat murid-murid senang membaca.
Saya
tahu bahwa keberhasilan pendidikan selalu dimulai dari rumah. Siswa-siswa
yang hebat biasanya lahir dari rumah yang menjunjung tinggi pendidikan dan
pengetahuan, rumah yang memiliki buku-buku dan di dalamnya ada orang tua yang
gemar membaca buku setiap hari. Kebanyakan rumah warga negara Indonesia tidak
seperti itu.
Dengan
kondisi rumah-rumah yang kebanyakan nyaris tidak memiliki buku, maka seluruh
urusan pendidikan anak dipasrahkan kepada sekolah. Dan itu berarti kita
memerlukan sekolah-sekolah negeri yang standar mutunya bagus, sehingga
orang-orang miskin --yang tidak sanggup membayar sekolah mahal-- memiliki
kesempatan yang sama dengan anak-anak orang kaya untuk meningkatkan diri.
Dengan
begitu setiap individu mampu membangun cerita yang bagus tentang dirinya
sendiri. Dengan begitu panggung Indonesia Raya ini bisa mengakhiri
lakon-lakon buruk yang dimainkan oleh aktor-aktor yang menyedihkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar