Kisruh
Sidang Kedelapan
Moh Mahfud MD ;
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata
Negara dan
Hukum Administrasi Negara
(APHTN-HAN); Ketua MK-RI 2008-2013
|
KORAN
SINDO, 04
Februari 2017
Sidang
kedelapan kasus penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alias
Ahok, Selasa, 31 Januari 2017, disusul kekisruhan. Pasalnya kubu terdakwa
(Ahok dan tim hukumnya) dinilai menghardik saksi KH Maruf Amin melalui
pertanyaan-pertanyaan yang memojokkan secara kurang proporsional.
Yang
ditanyakan adalah tentang benar atau tidaknya saksi pada tanggal 7 Oktober
2016 menerima telepon dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Kantor Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Pembicaraan telepon itu, menurut kubu terdakwa,
berisi permintaan dari SBY agar KH Maruf Amin menerima kunjungan putranya
Agus H Yudhoyono dan agar MUI segera mengeluarkan fatwa.
Saat
KH Maruf Amin mengaku tidak ada (karena biasa, kita pun sering lupa menerima
telepon dari siapa dan kapan), muncullah semacam hardikan dan pelecehan
terhadap Ketua MUI itu. Misalnya tudingan bahwa KH Maruf Amin bohong,
menyembunyikan identitas sebagai mantan Wantimpres, dan memberi keterangan
palsu.
Bahkan
Humphrey Djemat menyampaikan kepada majelis hakim untuk memproses kesaksian
palsu tersebut secara hukum. Itu semua ada di dalam suara dan transkrip yang
disiarkan oleh banyak media elektronik maupun cetak. Semakin dibantah,
semakin benderang karena orang memutar aslinya lagi.
Saya
punya 11 catatan atas peristiwa tersebut. Pertama, untuk mencari kebenaran materiil
pihak terdakwa bisa menanyakan apa saja sejauh ada konteksnya dengan perkara.
Itu hak sepenuhnya. Pihak terdakwa tidak perlu meminta maaf dalam melakukan
itu.
Kedua,
pihak terdakwa atau penasihat hukum, dalam rangka mencari kebenaran materiil,
dilarang mengintimidasi, menghardik, membentak, dan mengancam saksi. Selain
melanggar etika, hal tersebut juga melanggar hukum.
Ketiga,
seumpama benar ada pembicaraan antara SBY dan KH Maruf Amin, seperti yang
kemudian diakui Maruf Amin setelah dicari di catatannya, maka tidak ada
pelanggaran hukum apa pun. Orang menerima telepon dan kemudian menerima tamu
sama sekali tidak melanggar hukum, malahan kalau dalam konteks fikih adalah
sunah, apalagi di Kantor PBNU dan sebagai pimpinan NU.
Menitipkan
anak untuk meminta dukungan atau doa sebagai calon gubernur juga tidak
melanggar hukum, sebab pasangan calon lain juga datang ke PBNU, menemui KH
Said Agil Siradj untuk minta doa. Tentunya yang menghadap KH Agil Siradj juga
menelepon lebih dulu. Apa salahnya?
Keempat,
bahkan seumpama pun benar (tapi ini sudah dibantah SBY dan KH Maruf Amin),
SBY mengusulkan dikeluarkannya fatwa oleh MUI itu tidak salah. Yang penting
fatwa harus sesuai dengan standar rujukan dan prosedur yang berlaku. KH Maruf
Amin diminta bagaimanapun tentu tidak bisa mengeluarkan dan memaksakan
keluarnya fatwa tertentu. Kita tentu masih ingat,
yang memesan fatwa adalah Polri. Waktu itu Polri menunggu fatwa MUI saat akan
memproses hukum kasus ini.
Kelima,
sejauh menyangkut pembicaraan telepon yang menurut pihak Ahok punya bukti
yang lengkap dan siap disampaikan di persidangan nanti, kemungkinannya ada
dua, yaitu bukti itu adalah hasil penyadapan atau kesaksian orang. Baik sadapan maupun ada saksi yang
mendengarkan dan menyampaikan pembicaraan orang di telepon dengan tanpa hak
adalah melanggar hukum dan konstitusi yang serius. Hukumannya berat berdasar
UU ITE, UU Telekomunikasi, KUHP, dan lain-lain.
Keenam,
jika bukti yang dijanjikan dan katanya lengkap itu nanti hanya berupa kliping
berita Liputan6 SCTV, itu sungguh absurd dan tidak bisa dianggap bukti
kecuali Liputan6 menyadap sendiri pembicaraan itu.
Kalau
kemudian mau mempersoalkan akurasi Liputan6, hal itu juga tidak bisa karena
Liputan6 bukan pihak dalam perkara ini. Kesalahan Liputan6, kalau ada, tidak
bisa ditimpakan kepada KH Maruf Amin dan MUI.
Ketujuh,
tak bisa disembunyikan bahwa yang diintimidasi dan diancam untuk diproses
hukum itu adalah KH Maruf Amin, sebab ketika itu jelas ditujukan kepada dia
dan bukan kepada saksi pelapor. Bahwa saksi pelapor diancam akan
dikepolisikan itu sudah dilakukan dengan benderang seusai sidang pemeriksaan
saksi pelapor beberapa minggu lalu. Lagipula jelas kuasa hukum menyatakan
saksi memberi keterangan palsu dan langsung mengatakan kepada majelis hakim
untuk memprosesnya secara hukum.
Kedelapan,
tragedi sidang kedelapan itu mengandung dua aspek hukum, yaitu hak pribadi
Pak SBY bersama KH Maruf Amin dan hak masyarakat serta negara. Sejauh
menyangkut Pak SBY dan KH Maruf Amin yang haknya dilanggar, itu sudah selesai
dengan pemberian maaf karena ini merupakan delik aduan. Tapi sejauh
menyangkut hak masyarakat dan negara, hal itu tidak bisa selesai dengan maaf.
Orang melakukan kejahatan itu melanggar hak masyarakat dan hukum negara,
tidak bisa dimaafkan oleh korban sendiri.
Kesembilan,
oleh sebab itu, tanpa pelaporan pun negara harus segera menyelidiki dan
menindak secara hukum jika ada kejahatan
yang di luar delik aduan. Laporan itu hanya diperlukan kalau kejahatan
terjadi tapi aparat penegak hukum tidak tahu karena tersembunyi. Kalau sudah
dilakukan secara telanjang, misalnya ada orang membakar rumah orang, aparat
penegak hukum tidak perlu menunggu laporan untuk bertindak. Itu aturannya
kalau hukum mau ditegakkan.
Ke-10,
saya sempat menyampaikan dan berdiskusi dengan teman saya yang anggota DPR,
Benny K Harman, tentang jalannya perkara penistaan agama ini. Ada kesan
pengadilan ini mau digiring untuk mengadili fatwa MUI, bukan mengadili
penodaan agama.
Ke-11,
pengadilan tidak boleh mempersoalkan prosedur, kuorum, dan rujukan Fatwa MUI
seperti yang dicecarkan pihak Ahok. Itu otonomi penuh MUI. Kasus ini adalah
kasus penodaan agama, bukan kasus pengadilan atas fatwa MUI. Fatwa MUI
tidak boleh diadili oleh pengadilan.
Fatwa
memang bukan hukum positif, tetapi bukan berarti fatwa itu melawan hukum atau
tidak baik, melainkan hanya dalam arti tidak bisa ditegakkan oleh aparat
penegak hukum negara; kecuali fatwa yang sudah menjadi isi UU. Makanya fatwa MUI tak
bisa diadili seperti halnya jika akademisi mengeluarkan pendapat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar