Prahara
Suap Mahkamah Konstitusi
Achmad Fauzi ;
Hakim Pengadilan Agama Tarakan,
Kalimantan Utara
|
JAWA
POS, 31
Januari 2017
AKANKAH
prahara suap yang pernah mencoreng Mahkamah Konstitusi (MK) dan menyeret
mantan Ketua MK Akil Mochtar bakal terulang kembali? Pertanyaan tersebut
mengemuka setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali melakukan
operasi tangkap tangan (OTT) terhadap salah seorang hakim konstitusi,
Patrialis Akbar, di Jakarta, Rabu (26/1). Ada kabar penangkapan Patrialis terkait
dugaan suap uji materi di MK.
Peristiwa
tersebut tentu sangat mengejutkan banyak pihak dan menjadi petaka dunia
hukum. Pasalnya, grafik kepercayaan masyarakat terhadap MK masih dalam taraf
pemulihan dan belum secemerlang awal mula berdiri. Grafik kepercayaan itu
salah satunya terlihat dari penyaluran ketidakpuasan pihak yang sedang
bersilang sengketa di MK yang secara gamblang dilampiaskan dengan cara-cara
tuna-adab dan melecehkan hukum. Ruang sidang MK yang dahulu berwibawa dan
disegani pernah menjadi sasaran tindakan penghinaan terhadap peradilan
(contempt of court).
Pertaruhan
legitimasi MK itu tak dimungkiri sebagai imbas dari kasus suap yang menjerat
Akil Mochtar. Hari itu, ketika orang berbicara MK, melekat di alam sadarnya
tentang sepak terjang Akil Mochtar yang secara mencengangkan memperdagangkan
konstitusi kepada para mafioso dalam jumlah miliaran rupiah.
Akil
Mochtar dan Patrialis Akbar untuk saat ini memang tidak bisa ditebak apakah
bernasib sama atau sebaliknya. Sebab, penangkapan tersebut baru sebatas masih
menempuh proses hukum yang panjang di pengadilan. Namun, dua sosok itu pernah
menjadi buah bibir banyak orang dan menarik untuk diperbincangkan kembali.
Dahulu, ketika Akil Mochtar hendak menjalani persidangan perdana di
pengadilan tipikor, Patrialis Akbar hadir memberikan dukungan moral.
Peristiwa tersebut dikecam masyarakat karena semakin menambah sesak persoalan
yang sedang dihadapi MK.
Kendati
Patrialis berdalih kedatangannya dalam kapasitas sebagai pribadi, jabatan
sebagai hakim MK yang melekat pada dirinya tak bisa dipisahkan. Tentu saja
sikap Patrialis tersebut menuai kritik dari banyak kalangan. Sebab, dalam
aturan kode etik, hakim konstitusi harus menampilkan perilaku, baik di dalam
maupun di luar pengadilan, untuk tetap menjaga dan meningkatkan kepercayaan
masyarakat. Akil Mochtar telah melakukan kejahatan luar biasa yang dibenci
masyarakat, sehingga akan menimbulkan kesan miring ketika Patrialis justru
memberikan dukungan.
Menurut
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan
Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi, aspek kepantasan tecermin
dalam penampilan dan perilaku pribadi yang berhubungan dengan kemampuan
menempatkan diri dengan tepat, baik mengenai tempat maupun waktu. Dari sini
dapat disimpulkan bahwa Patrialis tidak menempatkan diri secara tepat dan
menghadiri persidangan Akil di waktu yang tak tepat pula. Akibatnya,
Patrialis pernah diperiksa dewan etik MK.
Sebagai
abdi hukum yang terus-menerus menjadi pusat perhatian masyarakat, sudah
sepantasnya Patrialis menerima pembatasan-pembatasan pribadi yang mungkin
dianggap membebani dan harus menerimanya dengan rela hati serta bertingkah
laku sejalan dengan martabat mahkamah.
Perbaiki Rekrutmen
Terlepas
dari kontroversi dua sosok tersebut, yang jelas kini MK kembali mendapatkan
ujian berat. Skandal suap masih menjadi persoalan yang belum tuntas mengepung
benteng integritas hakim MK. Buktinya, KPK masih menjadikan mahkamah sebagai
objek pemberantasan korupsi dan menangkap Patrialis Akbar dengan sejumlah
barang bukti.
Karena
itu, ke depan, untuk mengatasi persoalan suap di tubuh MK, tak ada jalan lain
selain memperbaiki pola rekrutmen. Proses rekrutmen hakim MK yang harus bebas
dari kepentingan politik. Sejatinya, ketika diterbitkan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,
masyarakat bisa bernapas lega. Sebab, substansi muatan peraturan tersebut
sangat mendukung terciptanya MK sebagai peradilan yang merdeka dan bebas dari
belenggu politik. Karena itu, dalam salah satu pasal di perppu tersebut
mengatur syarat menjadi seorang calon hakim konstitusi harus sudah berhenti
dari aktivitas partai politik minimal tujuh tahun.
Namun,
sangat disayangkan MK justru membatalkan dengan alasan, sejak disahkannya
perppu tentang penyelamatan MK menjadi UU MK, belum ada produk hukum baru
yang dihasilkan sebagai turunannya. Padahal, perppu harus mempunyai akibat
prompt immediately untuk memecahkan permasalahan hukum. Pembentukan perppu
juga dinilai tidak memenuhi syarat konstitusional kegentingan memaksa.
Tetap
terbukanya keran politisi untuk menjadi hakim MK menjadi persoalan tersendiri
mengingat MK saat ini baru bangkit dari keterpurukan. Di samping itu, citra
politisi yang mengaku negarawan hingga saat ini belum teruji
kenegarawanannya. Mereka baru sebatas mengaku, belum menjadi negarawan. Sosok
negarawan semestinya tampak dalam cara pandang, perilaku, dan konsentrasinya
yang secara nyata dirintis dalam rentang hidup yang panjang.
Karena
itu, mendongkrak kepercayaan publik terhadap penciptaan imparsialitas
mahkamah melalui mekanisme rekrutmen hakim berbasis politisi akan semakin
sulit. Masalahnya di kemudian hari adalah ketika hakim MK berlatar belakang
politisi tidak mampu menanggalkan baju partainya, sehingga putusan yang
dihasilkan cenderung mencerminkan kepentingan kelompok politik tertentu.
Bukankah ditengarai hancurnya MK terjadi semenjak politikus-politikus dari
partai politik masuk ke lembaga penjaga konstitusi itu.
Di
samping masalah rekrutmen, persoalan pengawasan patut dipikirkan. Ketika
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 yang mengamanatkan Komisi Yudisial sebagai
lembaga yang membentuk tim pengawas MK tidak berlaku, publik lantas bertanya
siapa yang akan mengawasi. Kondisi demikian semakin menyulitkan MK sendiri
mengingat pengawasan internal MK sedikit kedodoran. Beratnya beban kerja dan
volume perkara yang ditangani membuat kebocoran integritas susah untuk
dipantau. Karena itu, perlu pengawas eksternal agar martabat MK kembali
pulih. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar