Sengketa
Dagang dan WTO
M Husein Sawit ;
Pendiri House of Rice
|
KOMPAS, 02 Februari 2017
Masyarakat
kecewa atas kekalahan Indonesia dalam sengketa dagang di Organisasi
Perdagangan Dunia (WTO). Panel WTO memutuskan Indonesia melanggar sejumlah
aturan yang terkait dengan importasi produk hortikultura dan peternakan. Ada
18 kebijakan yang dilanggar, antara lain membatasi pelabuhan impor, penetapan
waktu impor, harga referensi, dan lisensi impor.
Pada
tahap konsultasi, terakhir DS477 dan DS478, beberapa anggota WTO
mempertanyakan UU yang sejumlah pasalnya tidak sejalan dengan aturan WTO. Di
antaranya UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan dan UU No 19/2013 tentang
Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
Dipertanyakan
juga sejumlah peraturan menteri, di antaranya Permendag No 46/2013 tentang
Impor dan Ekspor Hewan, Permentan No 139/2014 tentang Pemasukan Karkas dan
Daging, dan Permentan No 86/2013 tentang Rekomendasi Impor Produk
Hortikultura. Sayang, Indonesia tidak meresponsnya dengan baik sehingga isu
tersebut dibawa ke tingkat lebih tinggi, yaitu panel.
Mengapa
WTO terlalu usil dan pelajaran apa yang dapat dipetik dari kekalahan
tersebut?
Aturan WTO
Kita
tidak dapat menutup diri dari perdagangan internasional. Setiap negara saling
memetik manfaat dari perdagangan. Namun, tidak ada literatur yang memberikan
petunjuk kepada negara berkembang mana yang terbaik: apakah perdagangan
bilateral, regional, atau multilateral (WTO)?
WTO
ingin menegakkan hak dan kewajiban anggotanya. Pedomannya adalah persetujuan
(agreement) yang telah disepakati. Dengan begitu, kebijakan perdagangan di
tiap-tiap negara anggota harus disesuaikan dengan persetujuan tersebut. Dalam
kaitan dengan itu, Indonesia telah meratifikasi pembentukan dan aturan WTO
melalui UU No 7/1994 tentang Pengesahan Persetujuan Pembentukan WTO. Begitu ada anggota membuat kebijakan yang
tak sejalan dengan peraturan WTO akan "disemprit".
Setiap
ada pelanggaran, anggota yang dirugikan tidak boleh bertindak
sendiri-sendiri. WTO memfasilitasinya melalui proses penyelesaian sengketa
(dispute settlement atau DS). DS merupakan elemen sentral dalam usaha
melindungi sistem perdagangan multilateral sehingga tercipta sistem
perdagangan yang aman dan dapat diramalkan.
Tanpa
mekanisme DS, maka peraturan perdagangan multilateral hanya bagus di atas
kertas, hak dan kewajiban anggota tidak bisa diwujudkan. Dengan adanya
mekanisme tersebut, negara-negara berkembang seperti Indonesia dapat
memperjuangkan haknya apabila ada kebijakan negara lain yang melanggar
peraturan dan merugikan kita. Indonesia pernah beberapa kali menang dalam sengketa dagang di WTO.
Terakhir
Indonesia menang dalam sengketa dengan Amerika Serikat (AS) tentang rokok kretek yang dilarang ekspor ke AS,
padahal AS memperbolehkan peredaran
rokok mentol. AS kalah di tingkat panel dan tidak menempuh banding serta
bersedia mengganti rugi. Namun, AS tidak bersedia menyempurnakan UU tentang
Pertembakauan. Keputusan yang terbaik menurut ketentuan WTO adalah anggota
yang kalah dengan sukarela mengubah kebijakan yang dipersoalkan tersebut,
sedangkan ganti rugi adalah pilihan yang kurang dikehendaki, tetapi tidak
salah.
Di
samping sisi baiknya, mekanisme DS juga punya sisi buruk. Negara berkembang,
yang lemah ekonominya, apabila memperkarakan "anggota kuat" tetap
sulit karena perlu biaya yang tidak sedikit. Kelemahan lain adalah banyak
"negara kuat" terlalu rewel, selalu menuntut haknya, dan kerap
melupakan kewajibannya sendiri.
Apabila
suatu negara tidak merespons permintaan konsultasi, atau konsultasi tidak
sukses, maka DSB (Badan Penyelesaian Sengketa) membentuk panel. Panel ini
dibentuk untuk menyelesaikan tugas tertentu dan berhenti setelah tugas
tersebut selesai. Anggota panel berjumlah 3-5 orang independen yang berbeda
keahlian dan berpengalaman luas. Keputusan pada tingkat panel akan diberi
kesempatan kepada anggota yang kena semprit untuk mengajukan banding. Pada
tingkat lebih lanjut, keputusan tingkat DSB adalah final dan mengikat.
Pemerintah
Indonesia telah memutuskan banding atas keputusan panel DS477 dan DS478.
Sejumlah ahli berpendapat, Indonesia lebih baik menerima keputusan panel dan
tidak melakukan banding. Salah satu alasannya, tak satu pun dari 18
pelanggaran yang dipersoalkan AS dan Selandia Baru yang membenarkan tindakan
Indonesia.
Bilateral dan regional
Sengketa
dagang antarnegara hal biasa, bukan hanya tingkat multilateral, melainkan
juga bilateral dan regional. Penyelesaian sengketa dagang bilateral lebih
mengutamakan "kompromi", hampir tidak pernah dibawa ke ranah hukum.
Negara kuat secara ekonomi, militer, dan politik biasanya menang dalam setiap
sengketa bilateral. Misalnya Tiongkok tidak pernah menang bersengketa dengan
AS, Indonesia tidak pernah berhasil kalau bersengketa dengan Jepang, apalagi
AS.
Program
Pembangunan PBB (UNDP) pernah mengkaji tentang perdagangan bebas regional
(FTA). Ternyata negara maju memperoleh keuntungan berlipat dari mitra
dagangnya. Tak hanya dari sisi perdagangan, tapi juga non-perdagangan seperti
energi serta keterlibatan negara berkembang dalam kepentingan politik global,
misalnya soal penanganan teroris dan mitigasi terhadap imigran. Kekurangan
lainnya, banyak masyarakat sipil tidak dapat mengakses apa yang sedang
dibahas dan disepakati FTA ataupun bilateral karena tidak terdokumentasi dengan
baik dan cenderung tidak transparan, berbeda dengan WTO.
Pelajaran
yang dapat dipetik dari kekalahan itu: Indonesia perlu lebih
"cerdas" dalam memanfaatkan/memaksimalkan aturan WTO untuk membantu
petani. Baiknya, pemerintah melibatkan para ahli yang paham tentang aturan
WTO (terutama AoA, SPS, Import Licensing, dan GATT 1994) sebelum sesuatu
tindakan diputuskan. Ini yang "diabaikan" akhir-akhir ini karena
kuatnya euforia politik populis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar