Melajukan
Evolusi Pendidikan
Iwan Pranoto ;
Guru Besar Matematika, ITB;
Atase Pendidikan dan Kebudayaan
di KBRI New Delhi, India
|
KOMPAS, 01 Februari 2017
Istilah
evolutionary hangover merupakan
pemikiran bahwa evolusi biologis pada manusia, yang merupakan mekanisme alam
guna beradaptasi terhadap suatu perubahan lingkungan, kadang seperti ”limbung
bangun kesiangan” atau kurang sigap.
Gejala
ini muncul saat terlalu cepatnya proses evolusi budaya dibandingkan dengan
kemampuan evolusi genetika dalam meresponsnya. Misalnya, evolusi genetika
manusia terlambat merespons perubahan lingkungan, seperti peningkatan paparan
beberapa senyawa kimia buatan baru yang karsinogen, beracun, dan mutagenic
(Ehrlich, 2000).
Gejala
serupa terjadi dalam hubungan dunia pendidikan dengan lapangan kerja.
Kemajuan pesat teknologi di era ini telah mengubah bagaimana manusia hidup
sekaligus merombak drastis tatanan lapangan pekerjaan. Dampak rasional
perubahan pada pola kehidupan sekaligus dunia kerja ialah munculnya tuntutan
kecakapan baru. Menanggapi hal ini, pendidikan perlu meresponsnya dengan
membelajarkan kecakapan baru yang dituntut lapangan pekerjaan. Namun, sama
seperti evolusi genetika yang kadang kurang tanggap, evolusi pendidikan juga
masih tak selaju perubahan tatanan lapangan pekerjaan.
Permasalahan
bagaimana masyarakat dan negara seharusnya menanggapi perombakan tatanan
lapangan pekerjaan ini diajukan dalam dokumen ”Inclusive Growth and
Development Report 2017” yang dirilis World Economic Forum pada 16 Januari
2017.
Guncangan oleh teknologi
Perkembangan
pengetahuan ilmiah melahirkan ”guncangan teknologi” yang berhasil mengacaukan
kelanggengan lapangan pekerjaan. Fenomena ini, selain membuat sejumlah pekerjaan
jadi kedaluwarsa dan tak diperlukan, juga memunculkan beberapa pekerjaan baru
yang belum pernah ada di masa lalu. Sepuluh tahun lalu, siapa yang pernah
terlintas istilah seperti manajer media sosial, search engine optimization
(SEO) specialist, atau data mining specialist yang diburu hari ini?
Jenis
pekerjaan baru akan muncul semakin cepat, bahkan menurut dokumen ”Future of
Jobs and Its Implications on Indian Higher Education” yang disusun federasi
industri India, Federation of Indian Chambers of Commerce and Industry
(FICCI), diperkirakan 65 persen pelajar yang pada 2016 di jenjang SD akan
berkarier dalam jenis pekerjaan benar-benar baru. Jadi, institusi pendidikan
harus membelajarkan kecakapan apa?
Sejarah
mencatat, kemajuan teknologi senantiasa mengubah dunia kerja. Hari ini, salah
satunya ialah cloud computation, yakni pemanfaatan komputer dengan internet
guna memungkinkan pengerjaan proses komputasi dan penggunaan data secara
bersama di tempat berbeda serta sesuai permintaan. Teknologi ini sudah dan
diperkirakan akan memangkas jenis pekerjaan administrasi perkantoran dan
pendokumentasian rutin berdasar pada rangkaian aturan prosedural logika yang
sudah jelas dan pasti. Pekerjaan yang dapat dirumuskan dengan ”jika-maka”
semacam ini memang cocok dan andal jika dikerjakan oleh mesin. Misalnya
petugas teller di bank sudah berkurang dan sebagian tugasnya digantikan ATM.
Sebaliknya,
dan menariknya, jenis pekerjaan yang sifatnya berdasarkan analisis serta
kreativitas, seperti pengambilan keputusan, perencanaan, dan penciptaan
gagasan baru, justru aman dan tak terlalu dikacaukan guncangan teknologi.
Jenis pekerjaan yang butuh kecakapan bernalar kompleks akan tetap ada,
sebaliknya pekerjaan berlandaskan kecakapan berpikir rutin dan prosedural,
termasuk hafalan, akan punah. Ini berarti, murid semakin perlu belajar
bernalar kompleks dan berlatih membuat keputusan berlandaskan pertimbangan
sahih.
Mengingat
pekerjaan masa depan pasti melibatkan teknologi komputer, semua pelajar perlu
melek teknologi komputer. Untuk itu, persekolahan perlu menyisipkan kegiatan
menyusun program atau algoritma untuk suatu tugas tertentu, semacam
mengomputerkan berbagai tugas sekolah. Tak perlu sebagai satu mata pelajaran
ilmu komputer khusus, tak perlu pula tugas dan program canggih. Misalnya,
cukup sesederhana menuliskan program mengubah kurs mata uang dari satu negara
ke negara lain dalam bidang studi IPS dengan aplikasi/program komputer yang
sudah jamak tersedia.
Juga
diperkirakan orang akan semakin sering berganti pekerjaan. Sekarang saja,
misalnya, sudah jamak dokter yang menjadi direktur rumah sakit dan mau tak
mau harus belajar manajemen kepegawaian, bahkan keuangan. Ini tentu berita
buruk bagi orang yang tak suka belajar, tetapi berita menggembirakan bagi
yang gemar belajar hal baru. Modal utama di dunia kerja telah berganti: dari
memiliki pengetahuan menjadicakap dan bergairah belajar hal baru.
Kebijakan pendidikan
Bermodal
daftar kecakapan yang dituntut dunia kerja di masa depan seperti di atas,
dapat dirumuskan profil kecakapan pelajar dan lulusan tiap jenjang
pendidikan. Dari situ dapat diturunkan kebijakan pendidikan guna mendorong
murid mempelajari rangkaian kecakapan tersebut. Dari sana, institusi
pendidikan mereka-cipta proses pembelajaran agar mendukung pengembangan
kecakapan masa depan itu.
Rentetan
guncangan teknologi melaju semakin cepat dan jika telat direspons akan
berbahaya. Mantan chief financial officer perusahaan ternama Infosys bernama
Mohandas Pai meramalkan, ”Pada 2025 akan ada 200 juta pemuda (di India) dari
kelompok usia 21-41 yang menganggur dan belum ada yang tahu bagaimana
solusinya.” Keadaan buruk ini dapat terjadi lebih cepat. Perekrutan pekerja
oleh Infosys pada 2016 saja yang terendah selama 10 tahun terakhir.Pekerjaan
yang biasanya ditugaskan bagi para lulusan baru telah diambil alih oleh
komputer.
Mohandas
Pai memperingatkan ancaman gelombang pengangguran itu akan mengakibatkan
demographic nightmare atau impian buruk demografi bagi India. Keadaan
tingginya populasi kelompok usia produktif yang seharusnya berpotensi untuk
menguntungkan secara ekonomi justru menjadi beban dominan karena tak dapat
diserap oleh dunia kerja.
Sementara
lapangan kerja sudah berubah pesat menuntut kecakapan baru, prinsip dan
praktik pendidikan di banyak tempat masih sama seperti masa Revolusi Industri
250 tahun lalu.Komputer, kamus, ensiklopedia, bahkan pemeriksa detak jantung
di saku celana masih dianggap cerita fiksi-sains. Evolusi budaya berlandaskan
teknologi ini tampaknya memenangkan lomba balap meninggalkan evolusi
pendidikan.
Guna
merespons, sistem pendidikan perlu ”turun mesin” agar evolusinya melaju
cepat. Prinsip kedaluwarsa di pendidikan semacam penggunaan ujian untuk
memotivasi belajar diganti menjadi kegairahan belajar. Mengulang jawaban
menjadi menciptakan jawaban baru. Kompetisi individu menjadi kolaborasi.
Menstandardisasi anak menjadi merayakan keunikan anak. Penyeragaman dalam
pendidikan menjadi ajakan berinovasi dalam pendidikan. Satu sumber
pengetahuan menjadi beraneka sumber. Dengan cara ini, potensi keuntungan
demografi Indonesia yang puncaknya antara 2025 dan 2030 berpeluang
benar-benar dinikmati. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar