Menuju
Nahdliyin Paripurna
Hasanuddin Ali ;
Wasekjend GP Ansor
|
KORAN
SINDO, 31
Januari 2017
Nahdlatul
Ulama (NU) sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia tidak bisa dibantah,
sudah banyak hasil survei yang mencoba mengestimasi jumlah warga NU. Angka
yang beredar di media menyebutkan bahwa warga Nahdliyin berkisar di angka 60
juta sampai 120 juta jiwa. Alvara Research Center berdasarkan hasil survei
Desember 2016 menyebutkan bahwa penduduk muslim Indonesia yang berafiliasi dengan
NU berjumlah 79 juta jiwa. Dengan jumlah yang begitu besar, suara NU tentu
mewarnai setiap denyut nadi bangsa Indonesia, dalam setiap sejarah penting
Indonesia peran NU dan warganya terlihat jelas dan sangat diperhitungkan.
Meski
demikian, jumlah yang besar itu membawa dampak wajah NU menjadi lebih beragam
dan spektrum pemikiran NU menjadi sangat luas. Beragamnya wajah NU bisa
dijelaskan karena sebagian besar identifikasi seseorang menjadi Nahdliyin
hanya didasarkan pada praktik ritual keagamaan yang dilakukan. Seseorang yang
melakukan praktik keagamaan tahlilan, maulid nabi, dan membaca doa qunut saat
salat subuh langsung diidentifikasi sebagai warga NU.
Identifikasi
itu sepenuhnya tidak salah karena memang praktik keagamaan itulah yang
mewarnai sebagian besar warga NU. Bila kita anggap NU sebagai komunitas, kita
bisa analisis kenapa seseorang bisa merasa bagian sebagai komunitas NU. Susan
Fournier, profesor marketing dari Boston University, dalam artikelnya di
Harvard Business Review mengatakan ada tiga jenis komunitas.
Pertama,
pools, komunitas yang disatukan oleh shared values yang sama atau bahasa
gampangnya komunitas yang memiliki ideologi dan nilai-nilai yang sama.
Kedua,web,
komunitas ini disatukan oleh jejaring yang kuat, hubungan antarkomunitas juga
terjalin antaranggota ini cukup erat.
Ketiga,
hub, komunitas ini disatukan oleh tokoh idola/panutan, karisma dari sang
tokoh membuat orang-orang berbondong- bondong ikut dan masuk dalam komunitas
ini.
Dalam
konteks ini NU sebenarnya memiliki semua prasyarat di tiga tipe komunitas
itu, seseorang menjadi warga NU bisa jadi karena ada kesamaan nilainilai
Islam ahlusunnah waljamaah, atau karena jejaring sesama NU di lingkungannya
(komunal), juga karena ada tokoh kiai yang menjadi panutannya. Namun, semua konsep
ideal komunitas di atas menjadi tidak berlaku apabila seseorang dianggap
menjadi NU hanya karena perilaku ritual keagamaannya.
Kita
perlu melakukan redefinisi ulang untuk menyebut siapa sebenarnya warga NU
itu. Bagi saya, seseorang yang dianggap NU hanya karena praktik perilaku
ritualnya adalah identifikasi yang paling rendah, harus ada kriteria tambahan
untuk memperkuat seseorang bisa menyebut dirinya sebagai warga NU.
Kriteria
tambahan itu; Pertama, kesamaan pemikiran.
Seorang
Nahdliyin haruslah memiliki kesamaan pikiran dan pandangan dengan apa yang
telah digariskan oleh PBNU dalam forum-forum resmi NU ataupun pendapat
kiai-kiai sepuh NU. Misal pandangan NU soal hubungan antara agama dan negara,
NU melalui Muktamar NU 1984 telah memutuskan telah menerima Pancasila sebagai
asas tunggal dalam berbangsa dan bernegara, serta bentuk negara NKRI adalah
final. Setiap orang yang menyebut dirinya NU juga harus memiliki kesepahaman
dan keselarasan dengan pemikiran tersebut.
Kedua,
kesamaan nilai-nilai (values), seseorang disebut sebagai warga NU jika
meyakini apa yang diperjuangkan oleh Nahdlatul Ulama.
Seorang
Nahdliyin harus meyakini bahwa model keberagamaan yang dibawa oleh Nahdlatul
Ulama adalah yang paling tepat di Indonesia. Konsep Islam Nusantara yang
ramah, toleran, dan menghargai budaya lokal harus menjadi jiwa dan landasan
warga NU dalam menyikapi setiap persoalan. Bila dikaitkan dengan teori
tentang perilaku manusia yang memiliki tiga bagian yaitu kognitif, afektif,
dan konatif, tambahan kriteria tambahan itu ada relevansinya.
Kognitif
merupakan sisi manusia yang berhubungan dengan ide dan pemikiran, afektif
berkaitan dengan sisi emosi dan rasa, konatif berkaitan langsung aksi dan perilaku
itu sendiri. Dengan kata lain, kognitif berkaitan dengan otak, afektif
berkaitan dengan hati, dan konatif berkaitan dengan tindakan. Nahdliyin 1.0
adalah warga NU yang ritual keagamaannya mengikuti tradisi keagamaan yang
biasa dijalankan oleh warga NU seperti tahlilan, maulid, qunut, dan
sebagainya.
Nahdliyin
2.0 adalah warga NU yang ritual keagamaan dan pandangan keagamaannya
mengikuti yang digariskan oleh NU. Nahdliyin 3.0 adalah mereka yang ritual,
pemikiran, spirit, dan hatinya selalu bersama NU. Seorang Nahdliyin yang
pikiran, spirit, dan hatinya melekat kuat terhadap NU, tidak sekadar
ritualnya, akan menjadi pembela dan menjadi benteng yang kuat bagi NU.
Pada
era kekinian di mana pertarungan wacana semakin terbuka sosok Nahdliyin
semacam ini semakin dibutuhkan NU. Inilah sosok Nahdliyin Paripurna. Jadi
nanti ketika seseorang ditanya apakah Anda warga NU? Orang tersebut tidak
akan menjawab, ”Saya merasa warga NU”, tapi dia akan menjawab ”Saya yakin
warga NU”. Semoga. SelamatHarlah Ke-91 Nahdlatul Ulama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar