Investasi
Usia Dini
Elfindri ;
Profesor Ekonomi SDM dan
Direktur Center for Human and
SDGs, Universitas Andalas
|
KORAN
SINDO, 01
Februari 2017
Jika
kita ingin memilih mana di antara prioritas pembangunan yang mesti
didahulukan, apakah membangun fisik, manusia, atau ekonomi? Maka, literatur
ekonomi untuk negara sedang berkembang cenderung menjawab.
Dahulukanlah
pembangunan manusia ketimbang memaksakan pembangunan fisik dan ekonomi.
Pembangunan fisik selain memerlukan pembiayaan besar, dinikmati oleh mereka
yang berada, dan memerlukan biaya penyusutan yang juga besar. Sementara untuk
membangun manusia, akan berdampak eksternalitas yang positif, berupa manfaat
sosial “social benefit“ dan individu “individual benefit“.
Kenapa?
Karena, pembangunan manusia akan terpenuhinya keadilan, memperkuat manusia
untuk menghadapi tekanan eksternal agar tetap bisa eksis dalam hidup, dan
mampu menjaga lingkungan. Tentunya pembangunan manusia itu diyakini dengan
cara investasi yang diarahkan untuk pencapaian gizi dan kesehatan seimbang,
investasi untuk kognitif, psikomotorik, karakter, dan mampu hidup
berdampingan “to live together“, serta investasi learning by doing. Semua
investasi ini mesti dilaksanakan semasa tahapan daur hidup manusia.
Memastikan
antara satu tahapan berjalan dan pindah pada tahapan selanjutnya yang lebih
mantap. James Heckman, peraih Nobel Ekonomi, pada 2008 telah menemukan
simulasi investasi. Di antara daur hidup manusia, investasi manusia semasa
usai 0-3 tahun memberikan tingkat pengembalian investasi tertinggi, kemudian
disusul oleh investasi kesehatan, gizi, dan prasekolah untuk usia 4-5 tahun,
dan masa sekolah 7-24 tahun. Cukup bagi kita bukti bahwa investasi usia dini
tidak terelakkan. Investasi kesehatan dan gizi, investasi untuk akses
prapendidikan usia dini (pra- PAUD) dan usia sekolah.
Capaian Gizi
Penulis
baru saja mengulang kembali penelitian bagaimana capaian status gizi balita
di dua kecamatan, Bonjol dan Kamang, di Sumatera Barat. Penelitian pertama
pada 1991 dan diulang kembali pada desa-desa yang sama pada 2016. Hasil
kajian penulis menemukan angka kurang gizi September 2016 di dua kecamatan
itu sebesar 18% untuk kategori status gizi buruk (3% di bawah -3 SD) dan
kurang (16% di bawah -2 SD).
Angka
ini telah jauh menurun dibandingkan dengan kondisi pada 1991, pada kisaran
29%. Artinya, dalam dua puluh tahun pembangunan, angka kurang gizi buruk dan
sedang dapat ditekan sebesar 11% poin. Data yang penulis kumpulkan tidak
banyak berbeda dengan data yang dikumpulkan untuk 480 kabupaten di Indonesia
oleh Departemen Kesehatan Nasional. Data kurang gizi anak balita masih
ditemukan sekitar 18.7%, sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan yang
ditemukan di dua kecamatan.
Upaya
untuk memahami penurunan angka kurang gizi jelas disebabkan manfaat laju
pertumbuhan ekonomi selama lebih kurang dua puluh tahun terakhir, kemajuan
pendidikan ibu, kemajuan teknologi kesehatan, perbaikan tingkah laku
reproduksi dan hidup bersih masyarakat, serta semakin baiknya konsumsi gizi
ibu hamil dan anak balita. Tentu masih ada agenda besar, mengingat anak-anak
yang masih dalam rentang gizi buruk dan kurang masih cukup besar.
Secara
nasional, perkiraan kami menemukan sekitar 4,2 juta anak di Indonesia, dari
22 juta anak usia 0-4 tahun mesti mendapatkan perhatian khusus. Agar, proses
investasi dini untuk kelompok anak ini akan membuahkan hasil, berupa kesiapan
untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik.
Integrasi BOS dan PMT-AS
Gizi
inklusif menjadi agenda tersendiri pada masa yang akan datang. Prioritas
untuk mencapai sasaran program kesehatan dan gizi pada 1000 hari pertama
tidak saja dapat mengandalkan pada pengembangan sistem layanan kesehatan dan
gizi (pengaruh teknologi) yang ada. Namun, juga pada perbaikan tingkah laku
hidup bersih dan kemampuan untuk mengombinasikan pangan agar keperluan kalori
sejalandenganpemenuhan zat gizi mikro; protein dan vitamin.
Upaya-upaya
untuk mengampanyekan hidup bersih dan siap menjarangkan kelahiran melalui
Keluarga Berencana (KB) adalahsalahsatuinstrumen proses investasi anak.
Selain itu, yang paling memungkinkan adalah diperlukan kesadaran bagi
pemerintah daerah dan masyarakat untuk mewujudkan capaian gizi yang baik
adalah kondisi awal investasi dini untuk anak-anak Indonesia. Masalah gizi
tidak saja pada usia 0-5 tahun, tetapi juga pada usia sekolah dasar.
Instrumen
kebijakan pemerintah melalui dinas pendidikan dan kesehatan secara sinergi
dapat diwujudkan dengan mengintegrasikan program Bantuan Operasional Sekolah
(BOS), yang di dalamnya termasuk pada pemenuhan sekitar 25% dari keperluan
kalori dan protein anak-anak. Program Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS)
adalah masih relevan untuk mewujudkan agar kesehatan anakanak bisa terjamin,
selain dari kebersihan mereka dan lingkungan tempat mereka bermain.
Betapa
di negara maju program PMT-AS masih relevan dijadikan sebagai salah satu
instrumen kebijakan di sekolah. Jika di negara maju, pemenuhan gizi anak
melalui siswa membiasakan untuk membawa ransumnya dari rumah dan dimakan di
sekolah. Bentuk kesadaran ini datang dari sistem yang dibangun.
Untuk
Indonesia, alangkah banyak manfaatnya anak-anak (kalau mungkin selektif)
dapat memperoleh kesempatan ini selama mereka mendapatkan pendidikan.
Prioritas dapat diwujudkan pada kelompok masyarakat yang tinggi risiko tidak
terlayani oleh program pembangunan selama ini, alias kelompok inklusif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar