Lampu
Kuning Kebijakan Kelautan dan Perikanan
Ichsan Firdaus ;
Anggota Komisi IV DPR RI;
Pengurus Masyarakat Perikanan
Nusantara Periode 2016-2020
|
KORAN
SINDO, 30
Januari 2017
Nawacita
pertama menyatakan “menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap
bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara, melalui politik
luar negeri bebas aktif, keamanan nasional yang tepercaya, dan pembangunan
pertahanan negara Tri Matra terpadu yang dilandasi kepentingan nasional dan
memperkuat jati diri sebagai negara maritim”.
Bentuk
keseriusan pemerintah dalam mengembalikan jati diri bangsa sebagai negara
maritim ditunjukkan dengan membangun visi Poros Maritim Dunia (PMD) salah satu
upayanya adalah membangun kelautan dan perikanan. Sudah dua tahun berjalan,
visi besar pemerintah sepertinya akan menemukan momentumnya dengan melihat
gebrakan- gebrakan kebijakan yang berani, membanggakan, sekaligus
mengkhawatirkan.
Ketegasan
dan keberanian menjadi modal utama dalam mendobrak stagnasi pembangunan
perikanan yang selama ini lebih banyak digelayuti oleh persoalan struktural.
Dunia perikanan masa lalu diwarnai oleh lemahnya visi kelautan pemimpin
nasional, buruknya tata kelola perizinan, lemahnya penegakan hukum di laut,
sampai persoalan hubungan yang bersifat eksploitatif dalam pola kerja sama
nelayan dan pemilik kapal.
Membangun
kelautan dan perikanan adalah bagian dari upaya menjemput takdir geografis
sebagai negara maritim dan negara kepulauan terbesar di dunia. Mengembalikan
jati diri negara maritim adalah persoalan menjaga martabat bangsa dengan
memperjelas kedaulatan (sovereignty), kewenangan (sovereign right), dan
kepentingan ( national interest ) kita di wilayah perairan Indonesia dan
sekitarnya.
Belum
lagi, keharusan untuk melawan kutukan sumber daya alam jika tidak mampu
memanfaatkan dengan baik, berupa potensi besar sumber daya ikan yang saat ini
naik menjadi 9 juta ton; potensi besar 14.572 pulau-pulau kecil yang
mempunyai peran ekonomi, ekologis, dan geopolitik; potensi budi daya
perikanan (laut, payau, darat); potensi industri pengolahan, bioteknologi
kelautan, dan pariwisata bahari; serta potensi ekonomi lainnya yang
disinyalir mencapai USD1,33 triliun per tahun.
Dari Kontroversi Menuju
Optimisme
Beberapa
indikator makro menunjukkan optimisme pembangunan perikanan dan kelautan
Indonesia. Pertumbuhan PDB perikanan 2016 mencapai 9,5%, produksi perikanan
mencapai 29,40 juta ton, ekspor hasil perikanan mencapai USD7,62 miliar
(meskipun sempat turun pada periode Juni 2016 ke angka USD2,09 miliar),
konsumsi ikan naik menjadi 47,12 kg/kapita (2016) dari tahun sebelumnya yang
hanya 41,11 kg/kapita (2015), luas kawasan konservasi 18,7 juta ha, dan nilai
tukar nelayan (NTN) naik menjadi 112 (2016) dari tahun sebelumnya yang hanya
110 (2015).
Keberpihakan
terhadap kedaulatan laut Indonesia juga ditunjukkan dengan upaya
penanggulangan praktik illegal, unreported, unregulated fishing (IUU
Fishing). Upaya tersebut dilakukan baik melalui penangkapan kapal maupun penenggelaman
kapal asing yang saat ini sudah mencapai ratusan kapal asing berhasil diusir
dari perairan Indonesia.
Gebrakan
kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sepertinya membalikkan
rumus lama pembangunan perikanan dan kelautan yang biasa didominasi oleh
orientasi mengejar pertumbuhan ekonomi melalui optimalisasi rezim produksi
perikanan dengan tujuan kesejahteraan nelayan. Susi Pudjiastuti membalikkan
logika umum tersebut dengan membangun perikanan dan kelautan melalui
penegakan kedaulatan dan kelestarian lingkungan serta mencegah berbagai
praktik perampasan ruang laut dan sumber dayanya (ocean grabbing).
Sejak
memimpin pada 2014 sampai 2017 ini, KKP masih berfokus pada upaya pengurangan
praktik IUU Fishing yang merugikan negara sampai Rp300 triliun per tahun.
Penerbitan Permen KP No 56/Permen KP/2014 tentang penghentian sementara
(moratorium) perizinan usaha perikanan tangkap di wilayah pengelolaan
perikanan Negara Republik Indonesia, Permen KP No 57/2014 tentang larangan
transshipment untuk ke luar negeri menjadi bukti keseriusan itu.
Ibarat
petir di siang bolong, dua kebijakan yang datangnya tiba-tiba tersebut
memukul sektor perikanan tangkap serta usaha pengolahan hasil perikanan
dengan berkurangnya bahan baku ikan. Pada awal 2015, MKP kembali mengeluarkan
Permen KP No 01/Permen KP/2015 tentang penangkapan lobster, kepiting dan
rajungan serta Permen KP No 02/Permen KP/ 2015 tentang larangan penggunaan
alat penangkapan ikan pukat hela (trawl) dan pukat tarik (seine nets) di
wilayah pengelolaan perikanan Negara RI.
Efek
serupa dengan dua kebijakan sebelumnya, penerbitan dua permen KP ini pula
menimbulkan protes dari pihak pembudi daya lobster dan penangkap kepiting
serta rajungan. Selama kurang lebih dua tahun memimpin KKP, gebrakan MKP
menggaung keluar dan memicu acungan jempol dari berbagai pihak.
Namun,
apakah sebanding dengan biaya yang dikeluarkan untuk pemberantasan praktik
tersebut serta dampak yang diakibatkan dari kebijakan-kebijakan tersebut?
Harus diakui, miliaran rupiah yang dikeluarkan untuk membiaya Satgas 115
dengan didukung oleh operasi kapal pengawas 35 buah telah membuat kapal-kapal
asing takut masuk ke Indonesia. Selama periode Oktober 2014- April 2016
sebanyak 176 kapal asing yang ditenggelamkan dan ratusan kapal sudah
ditangkap.
Waspada, Lampu Kuning
Kebijakan
Kebijakan
MKP selama ini terlihat lebih berfokus pada upaya untuk mewujudkan kedaulatan
Indonesia di laut. Namun, berbagai kebijakan kontroversial tersebut cukup
mengguncang dunia perikanan, khususnya perikanan tangkap. Total ekspor secara
nasional sempat turun 15% dari USD4,64 pada 2014 menjadi USD3,94 miliar pada
2015 dan terus menurun sampai Juni 2016 yang baru mencapai USD2,09 miliar
(BPS, diolah oleh Ditjen PDSPKP, 2016).
Namun,
bersyukur, pada akhir 2016 ekspor perikanan mengalami kenaikan sebesar 4,96%.
Sebagian dampak dari kebijakan- kebijakan MKP, terjadi kelangkaan bahan baku
bagi industri perikanan seperti yang dialami beberapa unit pengolahan ikan
(UPI) di Bitung yang selama ini dikenal sebagai Kota Industri Perikanan.
Dampak
dari berkurangnya bahan baku yang mengakibatkan tutupnya UPI bukan hanya di
Bitung, tapi juga terjadi di Makassar, Bali, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Pada tahap ini pembangunan kelautan dan perikanan dapat dikatakan sudah
mencapai “lampu kuning“ dan berpotensi menuju “lampu merah“ bagi kebangkitan
industri perikanan dan kelautan nasional.
KKP
menjawabnya dengan pembangunan industri perikanan nasional melalui
pembangunansentra kelautandanperikanan terpadu (SKPT) berbasis kawasan di
pulau-pulau terluar yang saat ini dilakukan di 12 lokasi dengan alokasi
anggaran sebesar Rp771,83 miliar, sentra modernisasi perikanan di lima
kawasan perikanan dengan alokasi anggaran Rp415,16 miliar, serta sentra
kelautan dan perikanan lainnya.Setidaknya ada beberapa interpretasi menyikapi
respons publik dan pemerintah terhadap status lampu kuning kebijakan
pembangunan kelautan dan perikanan tersebut.
Pertama,
publik mengapresiasi sangat baik kinerja KKP bersamasama aparat hukum dalam
menanggulangi praktik illegal fishing.
Visi
kedaulatan punya harapan untuk terwujud. Pertanyaannya, mungkinkah sistem
penegakan hukum tersebut akan bertahan lama?
Kedua,
solusi pascapelarangan kapal cantrang kurang optimal dan berpotensi
memperpanjang garis kemiskinan nelayan jika tidak cepat diselesaikan.
Menurut
KKP, dari 5.576 kapal cantrang yang teridentifikasi, baru 2.091 unit alat
tangkap cantrang telah diganti atau 37,5%. Lalu, bagaimana nasib 3.685 unit
cantrang dan ABK yang berada di dalamnya?
Ketiga,
pascamoratorium KKP dan pengusiran kapal-kapal asing, bagaimana pemerintah
dan pelaku usaha memanfaatkan surplus produksi dan kekosongan laut kita.
Setidaknya
untuk mengisi WPP 714, 718, 711 yang selama ini dikenal sebagai lumbung ikan
dan arena fishing ground kapal-kapal asing. Effort besar dan berani yang
sudah dilakukan dalam menjaga martabat bangsa di sektor hulu perikanan ini
akan menjadi mubazir jika pelaku usaha tidak memanfaatkannya. Pemerintah
menargetkan 1322 kapal terbangun sepanjang 2016, tetapi baru 725 kapal (55%)
yang terbangun (81 kapal telah didistribusikan, dan 125 kapal siap
dikirimkan).
Keempat,
lemahnya respons kementerian/lembaga lain pascapenerbitan Instruksi Presiden
(Inpres) No 7/2016 tentang percepatan pembangunan industri perikanan nasional
yang harus menjadi modal besar bagi kebangkitan pembangunan kelautan dan
perikanan nasional.
Inpres
ini menunjukkan bahwa KKP tidak bisa berjalan sendiri. Presiden harus mampu
menggerakkan kementerian dan lembaga lain untuk membangun Indonesian
Fisheries Incorporated (IFI). KKP sebagai nakhoda utama harus mampu membangun
komunikasi dan lobi yang lebih intensif baik di jajaran kabinet untuk
mengajak lebih serius kementerian/lembaga lainnya dalam mendukung inpres ini
maupun kepada sektor perbankan, BUMN, swasta perikanan, dan pemerintah daerah
untuk terlibat.
Perlu
gerakan ofensif dan bukan defensif serta membutuhkan pendekatan yang inklusif
dan bukan eksklusif. KKP perlu juga menggarap lebih optimal sektor budi daya
perikanan, jasa kelautan, optimalisasi potensi pulau-pulau kecil, dan
implementasi teknologi dan hasil- hasil penelitian perikanan.
Kelima,
mayoritas publik menyangsikan visi PMD yang terkesan menjadi jargon dan
semangat pada awal pemerintahan.
Memang,
Presiden telah membangunkan kita sebagai bangsa maritim dari tidur
panjangnya. Namun, bukan juga membiarkan konsep besar tersebut tanpa arah
yang jelas. Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman bahkan sampai dibentuk
untuk menunjukkan betapa pentingnya visi ini diwujudkan.
Kebijakan
dan program terkait perikanan, kelautan, dan maritim selama ini belum menjadi
mainstreaming dan ideologi publik yang menggerakkan. Jangan sampai rezim ini
dikenal sebagai produsen ide dan jargon, tapi lemah dalam implementasi. Lampu
kuning kebijakan kelautan dan perikanan menjadi pembatas bagi masa depan
pembangunan kelautan dan perikanan.
Perlu
dialog yang intensif semua stakeholder perikanan, pemerintah bersinergi
dengan swasta perikanan, perguruan tinggi ikut mengawal dan mengarahkan,
nelayan dan masyarakat perikanan harus terus bekerja dan mendukung program
pemerintah karena tantangan perikanan ke depan tentu tidak ringan.
Dinamika
global bergerak cepat, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), AFTA, dan Regional
Comprehensive Economic Partnership (RCEP) serta perubahan arah persaingan
global dengan terpilihnya Trump di AS, ekspansi China melalui upayanya
menguasai Laut China Selatan atau masifnya China dalam menguasai perdagangan
internasional, menguatnya kembali Uni Eropa, dan banyak aliansi ekonomi
global yang membutuhkan perhatian serius pembangunan kelautan dan perikanan.
Jika
sinergi stakeholder perikanan ini tidak berjalan dengan baik, lampu kuning
kebijakan kelautan dan perikanan akan berubah menjadi lampu merah dan itu
artinya kemunduran bagi kelautan dan perikanan nasional. Dialog dan
komunikasi guna membangun kesamaan langkah dan gerak perlu terus dilakukan
oleh semua pihak karena pemerintah tidak mungkin bisa bekerja sendirian dalam
menjemput takdir negara maritim ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar