Korporatisme
Negara
Hendardi ;
Ketua Badan Pengurus Setara Institute,
Jakarta
|
KOMPAS, 02 Februari 2017
Majelis
Ulama Indonesia secara generik merupakan organisasi kemasyarakatan yang
dibentuk oleh para ulama pada 26 Juli 1975. Tetapi, dalam perjalanannya, MUI
memiliki peranan strategis, khususnya dalam hal-hal yang berkaitan dengan
kehidupan keagamaan.
Karena
posisinya yang demikian, secara sosiologis MUI sering menjadi variabel
penentu dalam hal-hal yang berhubungan dengan agama dan kemudian dirujuk oleh
elemen negara. Karena itu, meski MUI lembaga kemasyarakatan, tetapi secara
politik lebih tepat disebut organisasi korporatis negara.
Sebagai
organisasi korporatis negara, pada masa Orde Baru MUI berfungsi secara
mengagumkan dalam mencegah berbagai hegemoni kelas dan perlawanan terhadap
penguasa saat itu. MUI menjadi pengendali gerakan politik kelompok Islam
politik yang membahayakan kekuasaan Soeharto.
Korporatisme
Korporatisme
adalah upaya ganda untuk menghubungkan negara/pemerintah dan masyarakat,
yaitu penegaraan (statization) berbagai kegiatan organisasi kemasyarakatan
(Philippe Schmitter, 1974). Dalam konsep korporatisme terkandung dua makna:
korporatisme negara dan korporatisme masyarakat.
Korporatisme
negara adalah hasil penegaraan berbagai kegiatan organisasi kemasyarakatan,
sedangkan korporatisme masyarakat merupakan hasil penswastaan beberapa urusan
kenegaraan. Korporatisme masyarakat banyak terjadi pada sektor ekonomi dan
pengadaan pelayanan publik seiring perubahan konsep bernegara.
Dalam
konteks MUI, sebagai lembaga korporatis, pada praktiknya banyak urusan
kemasyarakatan yang kemudian mengalami proses penegaraan, yang memanifes
dalam bentuk fatwa-fatwa MUI yang sebenarnya berlaku secara internal bagi
umat Islam yang sepakat dengan fatwa MUI. Tetapi, dengan tangan negara, fatwa
tersebut kemudian mengikat secara umum bagi seluruh umat Islam. Atau bahkan
dalam kasus tertentu mengikat semua orang, termasuk mereka yang tidak
beragama Islam.
Di
sinilah kemudian urusan-urusan kemasyarakatan menjadi urusan negara. Fatwa
halal sebuah produk makanan/obat, fatwa keabsahan transaksi keuangan syariah,
dan lain-lain adalah beberapa contoh yang bisa disebutkan. Penegaraan itu
lalu dilegitimasi melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah, UU No 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal, yang di dalamnya
memberikan kewenangan besar dan strategis kepada MUI.
Dalam
konstruksi hukum tata negara, sulit mencari argumen mengapa MUI yang
merupakan lembaga kemasyarakatan diberi mandat oleh UU yang merupakan produk
formal lembaga negara (yang dalam hal ini oleh pemerintah dan DPR sebagai
pemegang otoritas legislasi). Jika merujuk teori organ-organ negara atau
teori delegasi dan atribusi kewenangan, misalnya, maka sulit dibenarkan juga
karena MUI bukanlah lembaga negara/pemerintahan.
Karena
itu, kehadiran MUI dalam banyak urusan yang kemudian dilegitimasi oleh
perundang-undangan hanya dapat dijelaskan dengan menggunakan konsep
korporatisme di atas. Korporatisme sendiri adalah konsep dalam ilmu politik
yang memandang kebersamaan dalam mengelola negara merupakan orientasi yang
perlu dikedepankan untuk menjaga politik koeksistensi dalam suatu negara.
Pergeseran peran
Jika
di masa Orde Baru lebih menjalankan peran penjinak dan pengendali Islam
politik, maka pada masa pasca reformasi MUI telah menjadi organ ulama yang
menjalankan peran sebagai kelompok Islam politik yang melakukan
statization/penegaraan banyak urusan masyarakat menjadi urusan negara. Dua UU
yang disebutkan di atas, UU Perbankan Syariah dan UU Jaminan Produk Halal,
adalah contoh bagaimana Islam politik telah memberikan pengaruh besar untuk
memperoleh legitimasi peranan meskipun MUI adalah organ swasta.
Dalam
konteks kerukunan dan kebebasan beragama/berkeyakinan, MUI juga telah menjadi
pengadil yang tidak bisa dibanding untuk memvonis sesat tidaknya suatu aliran
keagamaan/penafsiran keagamaan tertentu; atau memvonis tindakan seseorang
yang dianggap menodai atau tidak menodai. Fatwa-fatwa MUI ini kemudian jadi
konsideran, bahkan dasar hukum bagi pembentukan peraturan seperti SKB terkait
pembatasan Ahmadiyah, SKB terkait Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar). Adopsi
fatwa MUI menjadi konsideran sebuah produk hukum pemerintah ini, sekali lagi,
hanya bisa dibenarkan dalam konteks politik dan sosiologis, yakni karena MUI
telah menjadi lembaga korporatis negara yang berpengaruh meskipun tidak ada
justifikasi dalam ketatanegaraan.
Apakah
fatwa-fatwa itu berkontribusi pada kemajemukan? Secara normatif MUI dapat
membela bahwa langkahnya merupakan bagian tak terpisahkan dari keyakinan
keagamaan, yakni melindungi umat Islam dari segala ancaman pendangkalan
akidah dan keimanan. Di sinilah MUI sesungguhnya memiliki hak dan kebebasan
untuk berpendapat dan berekspresi.
Tetapi,
dalam banyak kasus pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan, fatwa-fatwa
MUI ini jadi sumber legitimasi kekerasan. Atas nama membela fatwa dan
keyakinan keagamaan, masyarakat yang tidak sepenuhnya memahami fatwa MUI
kemudian menjadi suprastruktur penegak fatwa MUI. Sementara MUI sendiri tidak
memiliki perangkat pengendali atas dampak yang ditimbulkan dari fatwa-fatwa
yang dikeluarkannya.
Salah organ negara
Mengacu
pada pemaparan di atas, tampak jelas sesungguhnya bukan salah MUI
mengeluarkan fatwa, melainkan organ-organ negara itulah yang bertindak keliru
menjadikan fatwa-fatwa MUI sebagai dasar bertindak dan konsideran pembentukan
peraturan perundang-undangan. Sebagai entitas merdeka, MUI memiliki hak dan
kebebasan. Tetapi, tindakan negaralah yang dalam paham konstitusionalisme
dibatasi oleh UUD 1945, semestinya tidak bertindak kecuali sesuai hukum dan
perundang-undangan.
Apakah
fatwa-fatwa itu bisa dirujuk dalam pembentukan UU? Sebagaimana diketahui,
dalam membentuk UU, otoritas legislasi dapat menggunakan dua sumber hukum.
Sumber hukum formal ialah UUD 1945 dan/atau UU serta peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi. Sementara sumber hukum materiil adalah
segala keyakinan, pandangan, norma, kebiasaan, dan lain-lain, yang hidup dan
berkembang pada suatu masyarakat, agama, atau komunitas dengan sistem nilai
tertentu.
Dengan
demikian, jika hendak mengadopsi pandangan-pandangan keagamaan MUI, maka
ruang itu tersedia saat proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Pada
proses legislasi itulah kontestasi gagasan mendapatkan tempat untuk
diperdebatkan.
Meskipun
secara politik adopsi berbagai sistem nilai itu dimungkinkan, UU No 12/2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan memberikan garis batas yang
jelas bahwa semua produk hukum di Republik Indonesia tidak boleh melanggar
asas dan prinsip-prinsip dasar berbangsa dan bernegara, sebutlah seperti
kemajemukan, pengayoman, kemanusiaan, dan hak asasi manusia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar