Membuka
Peran BUMD Migas
Junaidi Albab Setiawan ;
Advokat; Pengamat Hukum Migas
|
KOMPAS, 02 Februari 2017
Keseriusan
pemerintah mengangkat harkat badan usaha milik daerah migas dalam kegiatan
usaha hulu migas patut dihargai. Pemerintah secara resmi telah menerbitkan
aturan tentang ketentuan penawaran hak partisipasi (participating interest)
sebesar 10 persen pada wilayah kerja migas melalui Peraturan Menteri (Permen)
ESDM Nomor 37 Tahun 2016. Kebijakan ini sudah lama ditunggu oleh kalangan
daerah penghasil.
Permen
ini telah memberikan fondasi bagi keterlibatan BUMD migas secara adil dan
proporsional. Isu-isu strategis menyangkut partisipasi daerah penghasil dalam
kegiatan usaha hulu, seperti batasan kepemilikan saham, prosedur penawaran,
dan permodalan, terakomodasi secara komprehensif, setidaknya telah diberikan
pintu masuk untuk pengaturan lebih lanjut sesuai kebutuhan lapangan ke depan.
Pemberian
hak partisipasi daerah penghasil migas ini adalah kewajiban konstitusional
negara karena kekayaan alam yang bersumber dari bumi Indonesia dan menguasai
hajat hidup rakyat langsung dikuasai oleh negara dan hanya dipergunakan untuk
mewujudkan kemakmuran rakyat. Dikuasai oleh negara selama ini pengertiannya
begitu sentralistis dan sempit sebatas pemerintah pusat, perusahaan negara,
Pertamina, BP Migas, SKK Migas, dan BPH Migas. Pendek kata, segala sesuatu
yang ada di level pemerintahan pusat. Dengan demikian, timbul pertanyaan, di
mana posisi daerah penghasil tempat proyek hulu migas? Apakah cukup menjadi
penonton dan menunggu saja jatah imbal balik melalui dana alokasi umum (DAU)
dan dana alokasi khusus (DAK) atau bentuk subsidi lainnya.
Pengertian
dipergunakan untuk "sebesar-besar kemakmuran rakyat" yang
diamanatkan konstitusi seharusnya tak sentralistis. Kemakmuran rakyat itu
bukan monopoli pusat, melainkan bersifat adil dan merata kepada seluruh
rakyat secara proporsional, kuncinya adalah pada kata
"proporsionalitas". Dengan demikian, tak salah dan bukan
diskriminatif jika pemerintah berusaha memberi peran lebih kepada BUMD migas
daerah penghasil. Hak partisipasi kepada daerah penghasil ini justru suatu
keharusan karena daerah penghasillah yang langsung terpapar berbagai
aktivitas eksplorasi dan eksploitasi.
Daerah
penghasil menanggung risiko langsung dari berbagai ekses kegiatan, pencemaran
lingkungan, penurunan kualitas alam, serta menyaksikan SDA yang berada di
wilayahnya terus dikuras setiap hari. Karena kegiatan usaha hulu migas pada
dasarnya kegiatan bisnis untuk mendapatkan komoditas berupa migas, maka BUMD
adalah wahana usaha yang mewakili kepentingan daerah, dibentuk oleh daerah,
dan diharapkan hasilnya pun akan langsung dapat dirasakan oleh masyarakat di
daerah penghasil.
Memastikan misi sampai
Konsepsi
UU Migas menetapkan bahwa migas adalah komoditas yang dikuasai langsung oleh
negara dengan tujuan semaksimal mungkin mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Negara dalam hal ini diwakili pemerintah dan pemerintah terdiri dari
pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Maka, badan usaha yang paling relevan
adalah BUMN dan BUMD.
Sekalipun
BUMN dan BUMD entitas bisnis yang bertugas mengejar keuntungan, pemiliknya
adalah negara untuk BUMN atau pemda untuk BUMD sehingga keuntungan sebagai
hasil akhir usaha dapat dipastikan berada dalam kekuasaan negara atau pemda
yang menaungi dan bertanggung jawab langsung terhadap pemenuhan hajat hidup
rakyat. Maka, pemberian peran lebih kepada BUMD migas dalam peraturan ini
harus dijaga dan dikawal agar tepat sasaran.
Maka,
yang cukup penting untuk dicatat dari ketentuan ini adalah satu BUMD migas
hanya dapat mengurus satu hak partisipasi. Ketentuan baru ini terlihat lebih
fokus dan tegas ingin memastikan bahwa misi mengusung pemerataan
kesejahteraan ini seluruhnya harus sampai kepada yang berhak, yakni BUMD
migas yang didirikan daerah penghasil, dan dengan tegas sekaligus menutup
keterlibatan swasta dalam kepemilikan saham.
Hak
partisipasi ini hanya diberikan kepada BUMD yang 100 persen dimiliki daerah
atau perseroan daerah yang seluruhnya milik daerah atau setidaknya 99 persen
milik daerah dan 1 persen oleh pihak yang terafiliasi dengan pemda. Selama
ini, karena ketiadaan dana untuk mengambil hak partisipasi, pemda acap kali
menggandeng swasta sebagai penyandang dana dan akibatnya pemberian hak
partisipasi justru tak tepat sasaran dan cenderung dikuasai swasta pemilik
modal.
Dengan
ketentuan baru ini, maka mulai saat ini kepala daerah dituntut memberikan
perhatian serius dan mulai melibatkan para ahli yang relevan, tak lagi secara
serampangan memilih pengurus-pengurus BUMD migas yang bukan ahlinya. Selama
ini, kecenderungan umum BUMD diisi kroni-kroni kepala daerah yang sering kali
mengabaikan kualifikasi dan kompetensi. Jika pemda tak segera mengubah cara
pandang dengan menyesuaikan paradigma baru yang diusung Permen ESDM ini,
niscaya akan gagal memanfaatkan peluang emas yang memang baru akan bisa
dinikmati daerah dalam kurun waktu lama ke depan ini.
Apa
yang bisa dilakukan daerah dalam waktu dekat ini adalah pertama, bergabung
dan memanfaatkan organisasi terkait yang sudah ada, seperti Asosiasi Daerah
Penghasil Migas (ADPM). Asosiasi ini penting untuk wahana komunikasi, tukar
informasi antardaerah penghasil. Selain itu, asosiasi ini juga dapat menyewa
ahli dan menginisiasi pelatihan-pelatihan yang diperlukan oleh BUMD migas dan
kepala daerah serta satuan kerja perangkat daerah (SKPD) terkait untuk terus
meng-update pengetahuan dan informasi. Dengan berbagai informasi yang masuk
dari BUMD migas dan pemerintah daerah penghasil kepada ADPM, ADPM dapat
sekaligus melakukan survei-survei untuk mengevaluasi tingkat kemajuan dan
keberhasilan dari kebijakan pemerintah ini.
Kedua,
meningkatkan kualitas SDM. Bisnis migas adalah bisnis khusus (lex specialis). Oleh karena itulah
perlu UU tersendiri, seperti halnya bisnis perbankan. Sebagai pembanding,
dalam dunia perbankan selama ini semua provinsi memiliki Bank Pembangunan
Daerah (BPD), seperti Bank Jatim, Bank Sumsel Babel, dan Bank Papua. Bisnis
perbankan tersebut juga dijalankan oleh BUMD yang didirikan pemerintah provinsi
dengan pemegang saham pemerintah kabupaten dan kota yang dilingkupi.
Agen pemerataan
pembangunan
Untuk
kebutuhan itu, daerah berhasil menyiapkan tenaga kerja perbankan yang
profesional dan mampu mengikuti aturan tata kelola yang baik (GCG). Dengan mengambil
perbandingan itu, dengan melihat kekhususan bisnis hulu migas yang
membutuhkan teknologi tinggi, keahlian khusus, permodalan yang mahal, dan
memerlukan jangka waktu lama, maka bisnis migas yang juga memiliki UU
tersendiri harus tidak kalah dengan bisnis perbankan yang juga dijalankan
oleh BUMD daerah.
Untuk
menghindari instabilitas dan eksploitasi terhadap BUMD Migas oleh elite
daerah, sebagaimana sedang tren dalam dunia politik sekarang ini, perlu
ditentukan syarat yang ketat bagi seseorang untuk bisa menjadi pengurus BUMD
migas. Perlu diatur bahwa penunjukan pengurus BUMD tak menjadi domain mutlak
kepala daerah. Terhadap calon pengurus perlu dilakukan uji kelayakan dan
kepatutan (fit and proper test)
untuk memastikan kemampuan calon pengurus dalam mengurus. Uji ini sebaiknya
dilakukan Kementerian ESDM dan SKK Migas agar BUMD migas tak diurus oleh
orang yang tak profesional. Hal ini juga telah diterapkan dengan baik pada
BUMD perbankan yang mensyaratkan pengurusnya lulus uji kelayakan dan kepatutan
dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Jika
perlu, ditambah ketentuan bahwa untuk pemberhentian dan penggantian pengurus
di tengah masa jabatan, hanya dapat dilakukan setelah berkonsultasi dengan
SKK Migas dan Kementerian ESDM. Uji kompetensi juga perlu ditinjau setiap
kurun waktu tertentu untuk memantau perkembangan kemampuan dan mengevaluasi
kegiatan yang sudah dilakukan.
Keterkaitan
BUMD migas sebagai entitas bisnis dengan Kemendagri yang selama ini cenderung
membingungkan sebaiknya dibatasi sekadar hubungan konsultatif dan bukan
koordinatif. Peran Kemendagri lebih pada peran sinkronisasi antardaerah,
otonomi daerah, dan penentuan bagi hasil untuk hak partisipasi suatu wilayah
kerja yang meliputi dua atau lebih daerah yang saling beririsan.
Pintu
telah dibuka oleh pemerintah dan kepercayaan sepenuhnya telah diberikan
kepada BUMD migas. Esensi pembangunan adalah pemerataan kesejahteraan ke
seluruh rakyat. Di sinilah BUMD migas diberi peran sebagai agen pemerataan
pembangunan itu. BUMD yang berhasil akan berhasil pula menjadikan daerah
penghasil sebagai pusat pertumbuhan baru di setiap kawasan keberadaannya.
Kini,
tergantung apakah daerah penghasil mampu menangkap pesan itu dan mampu
memanfaatkan peluang yang diberikan untuk secara langsung terlibat dalam kegiatan
usaha hulu migas di wilayahnya. Peluang itu sepenuhnya bertujuan untuk
membagi kesejahteraan kepada masyarakat daerah penghasil melalui BUMD.
Peluang
itu hanya dapat dicapai jika daerah penghasil mau terus belajar untuk
membangun diri dan mampu menyiapkan SDM yang profesional, mampu menyingkirkan
ego politik dan kekuasaan dari para elite daerah dengan lebih mengutamakan
kepentingan rakyat dalam jangka panjang. Jika tidak, selamanya daerah
penghasil hanya akan menjadi penonton yang terus didikte karena dianggap
sekadar obyek dari hiruk-pikuknya pembangunan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar