Ambang
Batas Capres 2019
Margarito Kamis ;
Doktor Hukum Tata Negara;
Staf Pengajar FH Universitas Khairun Ternate
|
KORAN
SINDO, 30
Januari 2017
Presiden,
pemegang kekuasaan memerintah yang tidak lain merupakan kekuasaan
melaksanakan hukum, dalam sejarahnya acapkali termaknai laksana mutiara dari
surga. Daya godanya dahsyat. Kekuasaan ini diakui sedari asalnya dirancang
menurut logika pembagian kekuasaan model John Locke. Tetapi, sedari awal pula
kekuasaan ini tak terdefinisikan secara rigid, terutama jangkauannya. Tidak
hanya tak terdefinisikan secara rigid dalam konstitusi, cara mengisi jabatan
ini pun sama tak didefinisikan secara rigid.
Akibat
itu, ketentuan yang bersifat umum itu ditafsirkan dengan cara yang berbeda-beda.
Perbedaan kekuatan dan perimbangan kekuatan politik akhirnya muncul menjadi
faktor determinan. Adu jumlah, bukan adu derajat logisnya, logika suka atau
tidak itulah, yang menentukan hasil akhir. Tetapi, tentu tidak beralasan
menandai RUU Pemilu hasil rancangan pemerintah yang diajukan ke DPR, dan DPR
pun telah menyiapkan daftar isian masalahnya (DIM) berada dalam bingkai itu.
RUU
ini secara konstitusional harus dilihat sebagai konsekuensi putusan MK Nomor
14/PUU-XI/2014. Dalam sekelumit pertimbangannya halaman 85-86, mahkamah
mengharuskan pembentukan aturan baru sebagai dasar hukum pelaksanaan pilpres
dan pemilu anggota lembaga perwakilan secara serentak.
Apakah
pilpres bukan pemilu? Bila bukan pemilu, bagaimana memaknai rangkaian norma
“dipilih,” “langsung” oleh “rakyat” pada Pasal 6A ayat (1) dan norma
“pemilihan umum” pada Pasal 6A ayat (2) ayat (3) dan ayat (4) pasal ini?
Tidak mungkin norma-norma ini dimaknai lain selain pemilu. Hukumnya sifat
konstitusional pemilu pilpres bukan hasil interpretasi mahkamah, melainkan
pengaturan konstitusional yang diatur dalam Pasal 6A.
Pada
titik ini muncul dua konsekuensi. Pertama, hukum hasil interpretasi mahkamah
hanya meletakkan dasar hukum penyatuan penyelenggaraan dua pemilu, pilpres,
dan pemilu legislatif. Tidak lebih. Kedua, karena baik pilpres maupun pemilu
legislatif adalah pemilu, karena keduanya diatur secara tegas dalam dua pasal
yang berbeda, hukum dua pemilu ini sah dilaksanakan secara terpisah.
Apalagi,
dilihat dari sudut sistematika UUD 1945 pengaturan pilpres sebagai pemilu
berada pada Bab III yang bertitel Kekuasaan Pemerintahan Negara, sementara
ketentuan pemilu legislatif melalui pemilu diatur pada Bab VII yang bertitel
Dewan Perwakilan Rakyat. Semua pemilu ini didefinisikan pada Bab VIIB yang
bertitel Pemilu sebagai bab baru, dalam UUD 1945.
Tanpa
penyatuan penyelenggaraan pilpres dan pemilu legislatif sekalipun, pemilihan
presiden tetap menyandang sifat konstitusional sebagai pemilu. Sifat itu
disematkan sendiri oleh Pasal 6A untuk pilpres dan pileg pada Pasal 19 ayat
(1). Konsekuensinya secara konstitusional pemilu presiden sah diselenggarakan
secara terpisah dari pemilu anggota legislatif.
Inkonstitusional
Kotak-kotak
pemilu, sepenggal kalimat yang digunakan dengan segala hormat saya pada
almarhum Kiai Slamet Effendy Yusuf, semoga Allah Subhanahu Wataala
merahmatinya, yang ditunjuk mahkamah sebagai original intent, bukan tanpa
kelemahan prinsipiil. Kelemahannya terletak pada penegasan Pak Slamet itu
bukan kesimpulan rapat atau rumusan akhir rapat pleno, melainkan tanggapan
atas keberatan Pak Cecep Hidayat dari FKKI atas dimasukkannya pilpres dalam
rumusan itu.
Kata
Pak Cecep, mengapa pilpres dimasukkan dalam rumusan itu, lalu dijawab oleh
Pak Slamet yang memimpin pleno itu. Dalam jawabannya, Pak Slamet menyatakan,
“Saya tidak tahu siapa yang harus menjawab, tapi saya mencoba menjelaskan
karena saya ikut dalam proses perumusannya.” Kata Pak Slamet selanjutnya:
“Jadi memang begini, memang ada pada konsep ini, secara keseluruhan itu
presiden nanti dalam pemilihan disebut langsung itu diadakan bersama ketika
memilih DPR, DPD, dan DPRD, kemudian paket presiden dan wakil presiden,
sehingga digambarkan nanti ada lima kotak.
Jadi
kotak untuk DPR, DPD, DPRD, presiden, dan wakil presiden.” Walau rumusan
akhirnya tetap sama dengan konsep ini, dalam perdebatan-perdebatan
selanjutnya sebelum dirumuskan menjadi Pasal 22E ayat (2) tidak terdapat
kesatuan pendapat mengenai diserentakannya pilpres dengan pileg. Rumusan ini,
beralasan diduga, dicapai melalui lobi antarfraksi.
Soalnya
apakah kehendak menyatukan pilpres dengan pileg juga menjadi materi lobi? Itu
sebabnya, rujukan penjelasan Pak Slamet pada rapat paripurna kelima Sidang Tahunan
MPR Tahun 2001 pada 4 November 2001 sebagai original intent Pasal 22E ayat
(2) bukan tanpa kelemahan. Nasi ini telanjur jadi bubur ayam. Putusan ini
telah dijadikan rujukan pemerintah mengajukan RUU Pemilu yang menyatukan
pilpres dan pileg ke DPR.
Hebatnya,
pemerintah memberlakukan ambang batas (presidential threshold), yang
tampaknya disandarkan pada pertimbangan hukum mahkamah pada angka 3.18
sebagai pijakannya. Dalam pertimbangan selanjutnya, mahkamah menggunakan
kalimat “persyaratan” dan “syarat” perolehan suara mengajukan pasangan capres
dan cawapres merupakan kewenangan pembentuk UU, dengan tetap mendasarkan pada
ketentuan UUD 1945.
Mahkamah,
entah bagaimana penalarannya, menyamakan nilai dan makna terminologi syarat
dengan terminologi tata cara. Dalam ilmu hukum, syarat adalah keadaan hukum
yang menentukan keabsahan hukum atas satu atau serangkaian tindakan hukum
yang ada atau bakal ada. Dalam hal keadaan hukum yang menjadi tempat
bersandarnya keabsahan tidak terpenuhi, secara hukum keadaan itu menjadi
penghalang atas sahnya tindakan itu.
Itu
sebabnya pelanggaran terhadap syarat mengakibatkan, demi hukum, batal dengan
sendirinya, bukan dapat dibatalkan. Masalahnya, UUD 1945 hanya menggunakan
terminologi “syarat” pada Pasal 6 ayat (2), tidak pada Pasal 6A juga Pasal
22E. Kehendak dalam Pasal 6 ayat (1) ditujukan pada orang (capres dan
cawapres), sedangkan ayat (2) lebih dikhususkan kepada capres dan cawapres
yang akan jadi presiden, disertai perintah kepada pembentuk UU mengatur
syarat tambahan yang ditujukan khusus kepada orang yang akan jadi presiden
dan wakil presiden, bukan parpol.
Bagaimana
dengan Pasal 6A? Unsur hukum dalam norma Pasal 6A ayat (1) ayat (2), ayat
(3), ayat (4), dan ayat (5) jelas;
(i)hanya
partai politik yang dapat mengusulkan capres dan cawapres;
(ii)waktu
pengusulan menjadi capres dan cawapres harus dilakukan sebelum pemilu;
(iii)capres
dan wapres yang berpasangan yang memperoleh suara dalam pemilu itu,
sedikitnya 20% di setiap provinsi dan seterusnya yang dilantik jadi presiden;
(iv)bila
tak tercapai, harus pasangan calon yang memperoleh suara terbesar pertama dan
kedua, masuk ke putaran kedua;
(iv)perintah
kepada pembentuk UU mengatur “tata cara” pelaksanaan pemilu.
Norma
pada ayat (1) sampai ayat (4) Pasal 6A, semua berkualifikasi syarat, bukan
tata cara. Hanyapartaipolitikyangikutpemilu sajalah yang menjadi satusatunya
keadaan hukum yang harus dipenuhi parpol mengusulkan capres dan wapres. Hak
parpol mengusulkan capres dan cawapres muncul, demi hukum, saat parpol
terdaftar sebagai peserta pemilu.
Karena
telah diserentakan penyelenggaraannya, secara konstitusional Pemilu 2019
adalah peristiwa hukum yang isinya memilih presiden dan wapres serta anggota
DPR, DPD, dan DPRD. Bila pembentuk UU, atas nama kebijakan hukum terbuka,
sebagaimana jalan pikiran mahkamah, sembari bersandar pada Pasal 22E ayat
(6), menghidupkan presidential threshold, aturan itu jelas inkonstitusional.
Mengapa?
Ayat (6) Pasal 22E UUD 1945 ini tidak secara khusus mengatur syarat atau tata
cara yang harus dibuat dalam UU Pemilu. Di sisi lain, Pasal 6 ayat (2) dan
Pasal 6A berisi norma yang berkualifikasi syarat dan perintah membentuk UU
tentang tata cara pemilihan umum presiden dan wakil presiden.
Praktis
soal syarat capres dan jadi presiden serta hak parpol mengusulkan capres dan
wapres, serta keabsahan capres dan cawapres terpilih, sepenuhnya tunduk pada
Pasal 6 dan 6A, bukan Pasal 22E UUD 1945. Itu sebabnya perintah Pasal 22E
ayat (6) harus dimaknai ditujukan kepada pembentuk UU mengatur syarat dan
tata cara seseorang dapat ikut pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta tata
cara penyelenggaraannya, bukan syarat parpol mengusulkan capres dan cawapres.
Tetapi,
bila pemerintah dan DPR bersikeras menghidupkan presidential threshold,
dengan konsekuensi sebagian parpol kehilangan hak mengusulkan capres dan
cawapres, soal hukumnya yang muncul adalah Pemilu 2019 itu disebut pemilu
apa? Tidakkah mahkamah telah memaknai pemilu dalam Pasal 23E ayat (2) terdiri
atas lima kotak sehingga harus diserentakan penyelenggaraannya? Di sinilah
letak inkonstitusionalnya gagasan presidential threshold. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar