Sabtu, 01 Mei 2021

 

Anatomi Tekanan Sosial, Sebuah Refleksi Kritis

Reza A.A Wattimena ;  Peneliti Bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur

KOMPAS, 30 April 2021

 

 

                                                           

Tak ada yang sungguh asli dalam hidup kita. Tubuh kita peroleh dari makanan yang kita makan, dan minuman yang kita minum. Pikiran kita peroleh dari hubungan kita dengan dunia sosial yang terjadi setiap saat. Namun, ada kalanya, secuil kebebasan tampil ke depan.

 

Kita bisa sadar, dan memilih dalam hidup kita. Kita bisa belajar tentang berbagai hal baru secara sadar. Kita bisa membentuk cara berpikir dan kebiasaan hidup baru secara sadar. Di dalam dunia yang tak pernah asli, kita bisa mengambil keputusan yang memutus pola, dan mengubah kebiasaan.

 

Namun, di Indonesia, kesadaran untuk memilih ini kerap berhadapan dengan konservatisme agama maupun tradisi.  Pandangan baru tak jarang dianggap melawan tradisi, tetapi juga diancam dengan hukuman api neraka. Ketakutan dan hukuman semu, yang berpijak diatas tradisi maupun agama konservatif, mampu menghambat kesadaran untuk memilih bangsa ini.

 

Filsafat Kerumunan

 

Perkembangan filsafat penuh dengan kajian terhadap hal ini. Ada lima hal yang bisa diperhatikan. Pertama, Soren Kierkegaard, pemikir Denmark, menyebut ini sebagai hidup yang tak otentik. Orang menyerahkan pilihannya pada tradisi dan agama, tanpa kesadaran yang penuh. Orang kehilangan hidupnya sendiri, dan menjadi manusia palsu yang jauh dari otentisitas.

 

Dua, Martin Heidegger, pemikir Jerman, melihat ini sebagai fenomena Das Man. Manusia kehilangan orientasi nilainya. Manusia kehilangan keberaniannya untuk berpikir kritis dan mandiri. Ia menjadi manusia sehari-hari yang tunduk patuh pada aturan-aturan kaku tradisi maupun agama. Ia menjadi manusia yang kehilangan kemanusiaannya.

 

Tiga, juga menurut Heidegger, ini berakar pada sebab yang lebih dalam, yakni ketidakberpikiran (Gedankenglosigkeit). Orang bisa cerdas, dan memiliki pendidikan yang tinggi. Namun, jika ia tak berani menggunakan pemikirannya secara kritis, ia menjadi mahluk yang tak berpikir. Ia hanya mampu berpikir secara teknis, menjalankan perintah dan mengikuti tradisi secara buta.

 

Empat, konsep mental kerumunan dari Elias Canetti, pemikir Bulgaria, kiranya bisa memberikan pencerahan. Di dalam kerumunan, orang kehilangan jati dirinya. Ia mengambil pola pikir dan kebiasaan kelompoknya, sambil mengorbankan otentisitasnya. Ia pun menjadi massa yang kerap kehilangan akal sehat, serta mampu bersikap jahat terhadap orang maupun mahluk hidup lain.

 

Lima, di dalam teori-teori sosial, hal ini disebut juga sebagai konformisme sosial. Artinya, orang bersikap dengan mengikuti orang lain, atau kelompoknya, tanpa sadar. Orang bersikap patuh buta terhadap tekanan sosial kelompoknya, atau orang lain. Dalam jangka waktu tertentu, ia kehilangan kemampuan untuk mempertimbangkan berbagai hal secara kritis dan mandiri.

 

Sikap kritis

 

Dalam hal ini, ada lima hal yang perlu diperhatikan. Yang pertama adalah minimnya sikap kritis. Orang malas mempertanyakan kebiasaaan masyarakat sekitarnya. Ia memilih untuk hanyut buta dalam gelombang konservatisme tradisi dan agama yang kerap berlawanan dengan akal sehat.

 

Dua, sikap kritis tak berkembang, karena orang takut. Di dalam masyarakat terbelakang, pertanyaan dianggap berbahaya. Sikap kritis dianggap sebagai musuh yang mesti dibasmi. Dalam jangka waktu tertentu, sikap patuh buta menjadi budaya, dan masyarakat pun terjebak dalam kebodohan maupun kemiskinan.

 

Tiga, jika takut tak hadir, kerinduan ganjil lainnya yang hadir, yakni kerinduan untuk dijajah. Di dalam pribadi yang lemah, kemandirian adalah upaya berat. Sikap kritis membutuhkan daya upaya yang menguras energi batin. Maka, orang dengan pribadi lemah cenderung rela untuk dijajah dan ditipu oleh tekanan kelompoknya.

 

Empat, di dalam ketidakpastian, orang berpegang pada apa yang sudah ada. Inilah yang kiranya terjadi di masyarakat. Kegagalan pemerintah untuk menciptakan keadilan, kemakmuran dan kecerdasan bagi warganya menciptakan suasana ketidakpastian yang mencekam. Ini ditambah dengan berkembangnya radikalisme agama maupun pandemik yang tak kunjung usai. Di dalam keadaan krisis semacam ini, orang cenderung rela menyerahkan kebebasan maupun sikap kritisnya kepada tradisi maupun agama yang sudah ada.

 

Lima, seringkali dalam kehidupan bersama di masyarakat kita tak pernah sungguh boleh menjadi diri sendiri. Kita harus mengikuti teladan orang tertentu, tanpa sikap kritis. Biasanya, nilai agama yang konservatif ataupun kekayaan material belaka, sering hasil korupsi atau memperbodoh banyak orang) menjadi tolok ukur utama. Di dalam masyarakat serba palsu semacam ini, orang sulit untuk jujur pada dirinya sendiri, dan menjadi pribadi yang otentik.

 

Hidup yang hanya sekejap mata

 

Di hadapan semua itu, satu-satunya yang merawat kebebasan maupun kewarasan kita sebagai manusia adalah sikap kritis. Tak heran, kemampuan berpikir kritis dipandang sebagai kecerdasan terpenting di abad 21 ini. Wujud nyatanya adalah orang tak lagi sekedar ikut kecenderungan kelompoknya. Ia menelaah secara sadar dengan akal sehat dan nurani yang jernih, sebelum memercayai ataupun mengikuti pola hidup tertentu.

 

Ia berani bertanya. Ia berani mempertanyakan berbagai kebiasaan yang ada. Ia tak mudah terpukau oleh slogan-slogan yang tampak luhur namun menyembunyikan kepentingan pragmatis atau ideologis tertentu yang mengemuka di ruang publik. Ia melihat semuanya dengan kaca mata akal sehat dan hati nurani, sebelum mengambil keputusan lebih jauh.

 

Di dalam sejarah, orang-orang semacam itu kerap disalahpahami. Mereka dikucilkan, dan bahkan dihukum mati. Namun, sejarah justru berkembang, karena para pemikir kritis ini. Merekalah tokoh-tokoh besar yang namanya kerap kita baca di berbagai buku sejarah.

Di bumi ini, hidup hanya sekejap mata. Sebagai manusia, usia tubuh kita pendek sekali, jika dibandingkan dengan usia bumi, tata surya maupun alam semesta. Apakah kita ingin menjalani hidup tanpa sikap kritis di tengah arus deras kepalsuan serta kepatuhan buta pada masyarakat? Apakah kita ingin hidup di dalam ketakutan, akibat tekanan sosial yang tak sepenuhnya menjadikan kita pribadi yang otentik? Ini yang mesti sungguh kita renungkan. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar